Rasanya seperti tengah berjalan ke tiang gantungan. Mia harus bertindak sebelum semuanya terlambat. Apa sebaiknya dia pulang saja ya? Tapi bagaimana dengan Ivonne? Mia tidak mau Ivonne kecewa lantaran ia meninggalkan acara sekali seumur hidup sang sahabat begitu saja. Apalagi disini Mia punya tugas sebagai bridesmaid, seharusnya dia menemani dan membantu sang pengantin wanita sampai pestanya usai. Tapi lagi, bagaimana dengan Adrian? Mia belum sanggup berinteraksi dengan mantan kekasihnya itu. Mia malu dan juga takut.
"Enggak Kayla, gak boleh main ini. Sini kasih ibu." Terdengar suara Nina yang sepertinya tengah mendisiplinkan putri semata wayangnya. "Ini punya tante Mia, nanti tante Mia marah lho kalau kamu mainin ini." Tanpa menoleh dan merespon, tangan Mia bergerak sendiri menerima benda entah apa yang diberikan Nina.
Pikiran Mia tambah kalut, jantungnya memompa cepat. Tak ada waktu lagi, ia harus membuat keputusan. Gadis itu berdiri secepat kilat, tak menghiraukan rasa sakit di pergelangan kakinya, Mia melangkah cepat. Kabur adalah keputusannya. Soal Ivonne bisa ia pikirkan alasannya nanti. Namun terkadang segala sesuatunya belum tentu berjalan sesuai keinginan. Baru juga beberapa langkah, tubuh Mia oleng.
Sepatu sialan! Kalau bukan demi Ivonne, Mia tidak akan mau memakai heels menyusahkan ini.
Bagaimana bisa ia mengalami kesialan sampai dua kali gara-gara hal yang sama, di tempat yang sama pula.
Oh, ini memalukan! Dia pasti akan jadi bahan tertawaan, lebih buruk, perbincangan orang-orang yang tak punya kerjaan. Mia membayangkan dirinya yang terjatuh dalam posisi yang tak estetik lalu suara pekikan dan tawa mengiri aksinya.
Eh tunggu, dia tidak jatuh. Seseorang menangkapnya. Tunggu lagi, ini bukan adegan asing, rasanya dulu dia juga pernah mengalami ini.
Tubuh Mia menegang kala indera penciumnya menangkap aroma yang familiar, sesuatu yang mungkin tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.
Mint! Holly shit! I'm dead!
"Kalau lagi keseleo itu jangan banyak gerak." Oh, Tuhan boleh tidak Mia pingsan saja? "Ouch, what's this?" Tangannya tahu-tahu sudah ditarik ke atas, mata Mia membelalak melihat sebuah garpu ada dalam genggamannya.
Kok bisa? Kayla! Nina!
Wajah Mia merah padam.
"Astaga! Lo bisa gak sih gak ngasih yang aneh-aneh ke Mia." Tommy mengomel pada Nina. Entah darimana Tommy bisa tahu. "Untung cuma garpu, bukan Swiss army lo. Kalo mau nostalgia cari momen yang laen lah."
Oh, please... Bisa tidak bagian Swiss army itu dilupakan? Jangan dibahas lagi. Apalagi di depan...
Tawa renyah menyapa telinga Mia kemudian. Oh, Mia merindukan tawa ini.
"Come on, ayo duduk. Aku periksa kaki kamu."
Aih, bagaimana bisa Adrian bersikap sesantai ini? Seolah tak ada yang pernah terjadi di antara mereka. Jantung Mia saja tidak santai.
*****
Waktu rasanya lambat berjalan, suara di sekitar Mia mendadak tak terdengar. Mia terlalu sibuk dengan pikirannya, terlalu sibuk mengatur napas dan detak jantungnya agar tetap stabil. Sulit. Wangi mint yang terus menerus menggoda hidungnya hampir membuatnya lupa diri. Mia sampai menggigit bagian dalam bibirnya dan mengepalkan kedua tangannya. Matanya sibuk melirik kesana kemari, tapi sesekali mencuri pandang pada orang yang tengah berlutut di depannya. Sensasi rasa dingin pada pergelangan kakinya membuat nyaman, sesekali Mia berjengit kala tangan Adrian tak sengaja menyentuh kakinya.
"Gak terlalu buruk tapi sebaiknya jangan dipakai banyak gerak dulu buat sementara," Adrian berkata seraya mendongakkan kepala. Mia terkesiap ketika kedua netra mereka bertemu. Dalam sepersekian detik, Mia merasa tersesat ke dalam bola mata sewarna madu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Ficção AdolescenteTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...