27. His Promise

108 2 0
                                    

Mia menatap laptopnya tanpa minat. Buku dan alat tulis berserakan di sekitarnya. Matanya melirik buku yang kebanyakan teksnya sudah distabilo warna jingga. Dia harus merangkum isi buku ini tapi ketikannya tak bertambah sejak tadi.

Ini hari sabtu, hari libur. Biasanya Mia mengisi waktu liburnya dengan bersantai, memakan cemilan favorit sembari menonton kartun di televisi. Sekarang, lihatlah dirinya. Mia hanya mendekam di kamar sejak pagi. Dia cuma turun untuk sarapan lalu kembali ke kamar dengan dalih mengerjakan tugas padahal tak ada satu tugas pun yang ia kerjakan sejak tadi. Otaknya tidak bisa diajak berpikir.

Berdiam diri di kamar adalah alasan agar tak bertemu mami atau papi. Papi pasti tengah berkebun yang merupakan hobinya sejak dulu. Mami mungkin menonton televisi atau mencoba resep terbaru. Mia tidak mau ditanya-tanya karena sejak kemarin Mia menangkap sinyal kalau kedua orangtuanya berniat menginterogasi tapi menahan diri lantaran melihat wajah suramnya. Bagaimana tidak suram kalau masih terbayang dirinya nyaris membunuh orang. Rahasia itu masih tersimpan rapat. Tak ada yang tahu meski Mia tak tahan untuk menceritakannya. Ia takut perbuatan jahatnya terbongkar tapi menyimpan rahasia seperti ini juga menyiksa. Selain itu, Mia tak terbiasa berbohong apalagi pada orangtuanya. Mia merasa tak enak.

Satu ketukan di pintu kamarnya membuyarkan lamunan Mia.

"Ya...?" Mia menjawab dengan lesu.

Pintu terbuka dan menampilkan dua wajah familiar yang tersenyum ceria.

"Surprise....!!" seru kedua gadis itu berbarengan.

Mia tersenyum tipis menyembunyikan kaget dan perasaan was-was.

"Lo gak seneng lihat kita?" tuding Ivonne sembari pura-pura cemberut.

"Seneng kok," dusta Mia.

Satu sisi Mia senang sahabatnya mampir ke rumahnya, biasanya juga seperti itu. Tapi di sisi lain Mia cemas dengan pertanyaan yang mungkin akan terlontar dan tak bisa ia jawab.

Nina mengulurkan tangan padanya yang disambut kernyitan di dahi Mia.

"Kasih selamat buat gue," katanya. "Gue menang!!" pekiknya terlampau senang. Nina bahkan sempat berjingkrak sendiri. Ivonne juga ikutan.

"Selamat Na." Mia menyambut uluran tangan itu.

"Mana?"

"A-apa?" Mia kebingungan karena Nina tak kunjung menarik tangannya, seolah tengah minta sesuatu.

Napas Mia tercekat saat menyadari apa yang diminta Nina.

"Swiss army gue. Balikin. Gue menang kan."

Mia memalingkan wajah. Alasan apa yang harus ia berikan. Benda kesayangan Nina itu tak ada padanya. Mia tidak akan sanggup melihat benda itu lagi. Mia bahkan tak sudi memegang benda itu. Benda yang membuatnya celaka. Bukan. Benda yang membuat Adrian celaka. Bodohnya Mia.

Mia menggeleng ragu.

"Apa maksudnya? Lo... Lo gak ngilangin swiss army gue kan?" tuduh Nina, wajahnya cemas. Wajar, swiss army itu benda kesayangan Nina.

"Ada kok tapi... Gak ada sama aku," lirih Mia.

"Lah? Dimana?"

Jemari Mia saling memilin gelisah. Dia harus jawab apa. Haruskah Mia berbohong lagi? Ditariknya satu tarikan napas panjang lalu...

"Sama kak Ian." Mia menggigit bibirnya sendiri. Dia terlalu jujur. Mia tak bisa menemukan alasan lain yang masuk akal.

"Kok bisa?" Satu pertanyaan akan menimbulkan pertanyaan lain. Mia tambah kebingungan.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang