31. Trust

141 1 1
                                    

Kedua netra beningnya mengerjap, menatap kendaraan yang berlalu lalang di hadapannya. Entah bagaimana caranya Mia bisa berada di sini, dalam hatchback merah kesayangan Adrian. Ingatan beberapa saat yang lalu terasa samar. Ingatan paling kuat adalah dirinya yang tengah berbincang bersama Adrian sembari menikmati es krim di kediaman Arthadinata.

Harusnya Mia tidak pergi kesana meski sangat ingin melihat keadaan Adrian yang katanya sedang sakit. Mia tak bisa mengabaikan Adrian. Mia masih merasa bersalah, merasa bertanggung jawab setidaknya sampai Adrian benar-benar sembuh. Tanpa berpikir dua kali, Mia menyetujui ajakan Eric, menjenguk Adrian di rumahnya. Apartemen milik kedua bersaudara itu adalah yang terlintas di benaknya. Siapa sangka Eric membawanya ke sebuah rumah mewah yang ternyata mansion Arthadinata.

Tentu saja Mia ketakutan, cemas akan bertemu Surya atau Clara Arthadinata. Kedua orang itu bagian dari mimpi buruknya selama bertahun-tahun. Adrian pengecualian karena rasa takut itu sudah sirna tak berbekas. Mia baru merasa lega saat Adrian mengatakan ayah dan kakaknya berada di kantor. Sialnya, Clara muncul tiba-tiba tepat dimana Mia tengah membahas kesalahan fatalnya.

Kenapa kamu nusuk adikku?

Minggir! Aku mau ngomong sama dia!

Jangan diam aja kamu. Tanggung jawab kamu!

Mia menggelengkan kepalanya seraya menutup kedua telinganya saat teriakan itu menggema kembali di kepalanya. Mungkin ingatan itu tidak sesamar yang ia kira.

Kamu yang bikin kepala adikku berdarah?

Awas ya, aku bilangin ayahku. Kamu pasti dihukum!

Kedua matanya memejam. Sebelah tangannya meremas kemeja yang dipakainya. Ingatan yang lain ikut datang. Mia kira dirinya sudah lupa, sudah baik-baik saja. Nyatanya tidak sama sekali.

"Mia... Kamu gak apa-apa?" Suara selembut beledu itu menyapa. Mata Mia terbuka, menoleh. Adrian menatapnya cemas.

Mia mengurai senyum tipis, menggeleng pelan. Adrian kembali pada kemudi. Hening. Sejak tadi mereka tak bicara. Adrian juga tidak menyetel radio seperti biasanya.

Tak lama, Adrian menghentikan mobilnya di pelataran parkir sebuah minimarket. Bukan minimarket yang sama seperti malam nahas itu tapi tetap saja membuat tubuh Mia menggigil. Mia ingin sekali memberi tahu Adrian kalau ia merasa tak nyaman. Ia ketakutan, cemas datang melingkupi benaknya. Namun, mulutnya seperti tak mau membuka. Mia mendadak tak bisa bicara.

Adrian keluar dari mobil, tidak masuk ke dalam minimarket melainkan menelepon entah siapa. Kelihatannya pembicaraan mereka cukup serius. Dahi laki-laki itu berkerut. Beberapa kali Adrian memijat keningnya dengan jemarinya. Adrian juga berulang kali terlihat menghela napas. Sesekali Adrian mengusap wajah pucatnya yang lagi-lagi tercetak memar kemerahan disana. Hasil berkelahi dengan para pengawal kakaknya. Perkelahian tak seimbang yang mungkin akan berakhir sia-sia kalau saja Eric tak muncul dan membantu.

Ah, Eric. Andai Eric tahu alasan Clara memerintahkan para bodyguardnya. Eric mungkin akan membiarkan sepupunya diseret dan dikurung di dalam kamarnya lalu Mia... tentu Mia akan berada di kantor polisi saat ini. Mia akhirnya ingat alasan dia bisa berada di mobil ini sekarang. Mereka melarikan diri, untuk sementara.

Jantung Mia hampir copot begitu mendapati Adrian tak lagi berada di tempatnya. Kemana dia? Mia tak mau ditinggal seorang diri. Ia takut orang-orang Clara menyusul kemari lalu menyeretnya ke tempat semestinya. Gadis itu baru menghembuskan napas lega ketika sosok yang ia cari terlihat lagi. Adrian kembali membawa dua kantong plastik, salah satunya jelas berisi minuman.

"Nih. Makan dulu."

Padahal mereka belum lama makan tapi Adrian sudah memberinya cemilan lagi. Kantong plastik itu berisi batagor. Adrian ternyata juga suka memakan makanan yang dijual di pinggir jalan. Dulu, Mia sempat mengira tuan muda kaya raya seperti Adrian akan sangat pemilih, angkuh dan berjarak dengan orang yang tak setara dengannya. Nyatanya, Adrian berteman dengan siapa saja. Kepopulerannya bukan hanya karena wajahnya tapi juga sikap hangatnya pada semua orang, mulai dari dosen, teman-teman bahkan penjual makanan di kantin hingga satpam kampus.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang