Adrian benar-benar butuh pelampiasan sekarang. Rasa kesal dan frustasi sudah mencapai ubun-ubun, dia tak bisa menahannya lagi. Tak bisa lagi tersenyum ataupun pura-pura bahagia tak ada yang terjadi padahal batinnya berteriak dan pikirannya lebih kusut dari benang kusut.
Sialan! Ia meninju samsak di hadapannya untuk yang ke sekian kali.
Wajah sendu dan tersiksa itu kembali terlintas. Isak tangis dan tubuh yang gemetar dalam pelukannya tak akan mungkin pernah bisa Adrian lupakan. Adrian benci tiap kali harus melihat Mia seperti itu. Apalagi kalau dirinya yang menjadi penyebabnya.
"Kak Ian kenapa gak bilang?" suara lirih Mia masih terngiang di telinganya. "Kak Ian bilang kita harus saling jujur, harus saling terbuka. Aku cerita semuanya sama kakak tapi kakak gak ngelakuin hal yang sama."
Wajah kecewa dan sedih Mia kini menari di pelupuk matanya. Adrian bukannya tidak mau tapi dia memang tidak bisa. Mia tidak tahu betapa pontang pantingnya ia mengurusi masalah yang mencuat gara-gara perbuatan konyol Jeff dan Katrin. Hujatan yang tak kunjung reda di media sosialnya, tuntutan agar dia segera memberi klarifikasi, kemarahan opa dan ayah, tindakan nekad yang harus dilakukannya demi melindungi orang yang menurutnya berharga, konsekuensi yang harus diterimanya karena pembangkangannya. Berat. Mia tidak perlu tahu. Adrian tak mau menambah beban pikiran gadis itu.
"Kak Ian gak percaya sama aku?"
Bukan. Sama sekali bukan itu. Adrian hanya ingin melindungi Mia. Tidakkah gadis itu mengerti? Mia hanya perlu diam dan berada di sampingnya. Mia hanya perlu tersenyum, tertawa dan menjalani hari-harinya. Mia tak perlu memikirkan semua keruwetan ini.
Bugh! Tinjunya melayang lagi. Napas Adrian terengah saat tenaganya mulai terkuras habis. Dahinya disandarkan pada benda yang menjadi sasaran kemarahannya sejak tadi. Penyesalan merambat batinnya.
"Mi, please jangan bikin aku tambah pusing dengan sikap kamu yang kayak gini. Jangan ngerengek terus, stop crying. Kamu cuma perlu diem. Aku bisa atasi ini. Kamu gak perlu ikut campur."
Tekanan bertubi-tubi ditambah kelelahan telah membuatnya meluapkan emosi pada orang yang justru paling ingin ia lindungi. Adrian menyadarinya usai melihat raut wajah syok Mia. Kalimat gadis itu selanjutnya memukul tepat di ulu hati. Sakit.
"Aku cuma khawatir. Aku gak mau kakak nanggung semuanya sendirian. Kakak bilang kita akan hadapi ini sama-sama kan? Aku gak mungkin diam dan tutup mata sementara kakak kesusahan sendirian. Kalau kak Ian pikir sikap aku, kata-kata aku ngeganggu dan bikin kakak makin pusing, aku.... Aku akan diam seperti yang kak Ian mau. Aku gak akan ganggu."
Adrian menyakiti hati Mia dan gadis itu tak mau bicara lagi padanya semenjak itu. Puluhan pesan dan panggilan diabaikan. Mia hanya mencemaskannya. Mia hanya ingin Adrian bercerita, membagi keluh kesah seperti yang selama ini gadis itu lakukan dengannya.
Adrian tak bisa melakukannya. Adrian tak mau Mia ikut merasa sedih, ikut susah. Adrian tidak mau Mia tersakiti. Nyatanya Mia tetap sedih, tetap terluka. Semuanya jadi serba salah. Adrian tak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah.
Bagaimana bisa ia membuktikan ucapan dan kesungguhannya pada Hermawan kalau belum apa-apa ia sudah merusak semuanya.
"Lo tuh belum sembuh bener. Jangan paksa fisik lo kayak gini Yan." Eric tiba-tiba muncul dan kembali menasehatinya.
Beberapa hari ini Adrian memang mengabaikan dirinya sendiri. Sering, saat di malam hari nyeri pada rusuknya terasa menyiksa, mengganggunya untuk beristirahat. Terkadang Adrian meminum pereda sakit tapi ia tak mau terus menerus bergantung pada obat itu.
"Luka di perut lo gimana? Gak berdarah lagi kan?"
Adrian menggeleng. Sejujurnya dia tak peduli. Kemarin, lukanya yang sudah mulai mengering memang kembali terbuka dan berdarah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...