5. A Wounded Boy

123 4 0
                                    

Mia tengah berada di dalam kamarnya. Sebuah bantal besar bergambar hello kitty dan berwarna merah muda menutup wajahnya.

"Aaargh!" Dia berteriak untuk yang kesekian kali. Otaknya memutar kejadian tadi siang. Dia merasa sangat malu.

Ya Allah harus disembunyikan dimana wajahnya kini.

Kenapa harus ada insiden konyol dan memalukan seperti itu? Kenapa sifat cerobohnya selalu kumat di waktu yang tak terduga?

Tapi sebenarnya daripada rasa malu, Mia lebih merasa tidak enak. Bukan, tepatnya ia merasa bersalah.

Netra beningnya melirik tangan kanannya yang sudah terbalut perban. Masih sedikit nyeri tapi sudah lebih baik. Luka bakarnya tidak terlalu luas, sepertinya tidak terlalu parah. Mia bahkan tidak menyadarinya di awal karena terlalu terkejut dan takut.

Luka di tangan Adrian sepertinya lebih parah. Teh panasnya memang hampir seluruhnya mengenai tangan laki-laki itu. Tak terbayang bagaimana rasanya. Terkena percikan sedikit air panas saja sudah sakit sekali tapi Adrian terlihat biasa saja, tak terlalu peduli malah. Laki-laki itu malah mengurusinya, mengabaikan dirinya sendiri.

Are you alright?

Mia jadi ingat kejadian dua tahun yang lalu. Saat itu Adrian justru bertanya apakah dia baik-baik saja padahal cowok itu yang terkena pisau dan tengah berdarah-darah. Benar-benar orang aneh.

Mia menggelengkan kepalanya. Jangan ingat bagian itu Mia, batinnya berulang kali. Mia tetap tidak bisa melupakan kejadian itu. Bayangan Adrian dan pinggangnya yang berlumur darah selalu saja terbayang. Senyum manis dan sikap baik laki-laki itu terhadapnya tetap tidak bisa menghapus ketakutannya. Lagipula bukan cuma itu bayangan yang terlintas di otaknya tiap kali melihat Adrian. Ada bayangan lain. Bayangan lain yang menimbulkan rasa lebih sesak. Mia takut berlama-lama berinteraksi dengan sang kakak senior bisa membuat serangan paniknya kambuh meski dia tak melihat darah sama sekali.

🤍🤍🤍

"Gak mau!" Mia kecil berteriak sembari menggelengkan kepalanya kuat.

"Gak apa-apa. Aman kok. Gitu aja takut." Anak laki-laki di depannya mengejek membuat si gadis kecil cemberut. "Coward!" Si bocah laki-laki mengatainya meski Mia tidak mengerti maksudnya.

"Tadi aja kamu mau jatuh. Papi bilang gak boleh kayak gitu. Bahaya. Kalau naik ayunan harus duduk yang manis." Anak perempuan berusia lima tahun itu menasehati, gayanya sudah seperti orang tua.

Si anak laki-laki kembali menaiki ayunannya, tetap dalam posisi berdiri. Anak itu sepertinya keras kepala. Nakal! Batin si gadis kecil.

"Dorong lagi," perintahnya.

"Gak mau."

"Kamu tuh dari tadi gak mau... Gak mau terus. Maunya apa sih?" Anak laki-laki berambut coklat yang baru dikenalnya beberapa menit yang lalu itu berubah jengkel.

Tiba-tiba netra coklat si anak laki-laki membulat, bibir merahnya membentuk seringai jahil. "Mau es krim lagi gak?" tanyanya. Dia merogoh sakunya dan mengeluarkan beberapa lembar uang.

Mia melongo. Uang jajan anak itu banyak sekali. Mami cuma mau memberinya selembar uang, itu saja tidak cukup untuk membeli es krim, cuma permen atau snack. Berapa es krim yang bisa Mia dapatkan dengan uang sebanyak itu ya?

"Aku traktir kamu es krim tapi kamu harus nurut sama aku." Kedua tangan anak laki-laki itu berkacak pinggang, tingkahnya seperti bos besar. Mungkin dia memang seorang bos. Anak itu tinggal di rumah besar yang mirip istana seperti di buku-buku dongeng yang pernah Mia baca. Seorang pangeran.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang