Mia menarik napas panjang beriringan dengan langkah kakinya. Lewat hidungnya dia bisa mencium aroma pinus dan antiseptik. Dominasi warna putih terlihat di sekeliling lorong yang dilewatinya. Orang-orang berlalu lalang tapi gadis itu hanya menundukkan kepalanya. Mami meraih tangannya, menggenggam erat dan tersenyum padanya.
"Gak apa-apa Mia," ujarnya meyakinkan.
Mia mengulang kalimat itu di dalam hati, menarik napas sekali lagi dan menghembuskannya perlahan. Oh Tuhan dia benci rumah sakit. Mia terpaksa mengunjungi tempat ini lagi lantaran gangguan mimpi buruknya semakin parah, membuatnya hampir tidak bisa tidur setiap malam.
Minggu depan adalah jadwal ujian tengah semesternya. Mia harus fokus pada ujiannya. Mia tidak akan bisa belajar dengan baik kalau kurang tidur dan terus dilanda cemas. Aneh sekali kenapa bayangan masa lalunya terus menghantui padahal dia tidak melihat darah. Apa karena interaksinya dengan Adrian semakin sering? Sebaik apapun Adrian tetap saja laki-laki itu mengingatkan Mia pada mimpi buruknya. Adrian tidak sering mengunjungi fakultas ekonomi belakangan ini, mungkin sibuk. Namun Adrian mulai mengiriminya pesan. Awalnya hanya sapa yang tidak digubris Mia lalu pertanyaan ingin tahu, random dan aneh. Seperti kamu lagi apa? Kuliah apa? How's your day? Aneh bukan. Kenapa Mia harus laporan sama Adrian. Adrian kan bukan mami atau papi.
Mia sampai di ruang tunggu poliklinik. Matanya melirik poliklinik kejiwaan dari jauh. Beberapa pasien duduk menunggu untuk dipanggil. Mia sengaja duduk agak jauh dari ruang praktek dokter Hanna. Ia tidak mau orang tahu dirinya adalah pasien sakit jiwa.
Dokter Hanna atau tante Hanna biasa Mia memanggilnya adalah psikiater yang pernah menanganinya dulu. Tante Hanna adalah teman kuliah tante Prita, adik dari papi. Tante Prita yang merekomendasikan dokter Hanna pada kedua orangtuanya. Tante Prita juga seorang dokter, dokter umum yang bekerja di sebuah rumah sakit milik pemerintah di Bandung.
Awalnya Mia merasa canggung. Mia saja tidak mampu bercerita di hadapan mami dan tante Prita, apalagi kalau harus membeberkan semuanya di depan orang asing. Namun, dokter Hanna berpembawaan hangat dan sabar. Tanpa sadar Mia bercerita terlalu banyak.
"Pergi! Pergi! Teriakan seorang laki-laki kecil kembali menggema di telinganya.
"Dia yang dorong aku yah. Aku takut, aku udah minta berhenti tapi dia gak mau."
Mia menutup telinganya. Tanpa sadar ia menggelengkan kepalanya. Dalam otaknya terus muncul sekelebat kenangan yang tak mau ia ingat. Anak laki-laki yang dianggapnya pahlawan karena telah menyelamatkannya saat terjatuh justru memutar balikan fakta. Mia mencemaskannya karena anak itu sempat tak sadarkan diri selama dua hari. Mia merasa bersalah, menganggap anak itu celaka karena ulahnya. Mia ingin bertemu dengannya, menghibur dan memastikan pahlawannya baik-baik saja.
Namun, apa yang Mia dapat? Tatapan dingin anak laki-laki itu. Kalimat pengusiran yang keluar dari mulutnya. Caci maki dan penghakiman dari keluarganya. Mami dan papi tentu membelanya saat itu. Mia pun sempat membela diri tapi pembelaan dirinya tidak didengar. Tak ada yang percaya padanya. Semua orang lebih mempercayai cerita bohong anak itu. Tentu saja karena kepala anak itu terluka sementara Mia tidak terluka sedikit pun. Tanpa mereka tahu hati sang gadis kecil terluka. Luka batinnya semakin besar ketika papi yang berupaya melawan dan membersihkan namanya justru diseret ke penjara. Nama baik keluarganya hancur, Mia mendapat cibiran dari sekitarnya. Mereka terusir dari rumah pada akhirnya.
"Gak apa-apa.. Gak apa-apa Mia." mami memeluk dirinya. Mia tidak sadar sudah menangis pilu, menjadi pusat perhatian orang-orang disini. Ini memalukan.
"Maaf mi." Mia menghapus cepat air mata yang masih mengalir di kedua pipinya. "Aku tadi.." Mia tak sanggup meneruskan. Tetap saja, sulit rasanya untuk jujur mengungkap apa yang ia rasakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/188054235-288-k180603.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...