"Gue cuma ngaku suka. Gue gak ada rencana buat deketin apalagi jadiin dia pacar."
"Gue cuma pengen lindungin dia, nebus kesalahan gue, hapus mimpi buruk dia dan bikin dia bahagia. Kalau dia bahagianya sama lo, ya udah."
"Putuskan hubunganmu dan jauhi dia. Itu hal pertama yang harus kamu lakukan."
"Kamu lupa apa yang kamu lakukan di masa lalu terhadap keluarga saya? Perlu saya ingetin lagi? Sampai kapan pun saya gak akan kasih izin kamu dekat-dekat sama anak saya. Saya gak mau berurusan lagi sama kamu, apalagi sama keluarga kamu."
"Aku beneran sayang sama kamu. Not as a friend."
Aaargh! Adrian mengacak rambutnya frustasi. Otaknya penuh sampai kepalanya pening. Suara-suara bergantian muncul dalam benaknya. Perjanjian, pengakuan. Kenapa Adrian jadi labil begini?
Adrian selalu mengira kalau Rey, Fendi, Gatra bahkan Eric adalah cowok paling brengsek dan bajingan yang pernah ia kenal. Nyatanya dirinya pun tak ada bedanya dengan mereka. Bagaimana bisa ia mengakui perasaan pada Mia di saat ia tengah menjalin hubungan dengan Cindy? Meskipun hubungannya palsu tapi semua orang tahunya mereka sepasang kekasih bahkan pasangan serasi.
Oh Tuhan... Bagaimana bisa dia asal bicara tanpa memikirkan akibatnya? Bukan berarti dia menyesali pengakuannya. Adrian tak menyesal. Dia memang menyukai Mia. Dia sayang Mia. Adrian tak tahan memendam lebih lama perasaannya. Otak dan hatinya selalu tertuju pada Mia. Lama-lama dia bisa gila.
Mendengar Mia menangis di telepon saja sudah membuatnya kehilangan kewarasan. Panik, cemas setengah mati. Hampir saja ia ingin mendatangi Mia kalau tidak ingat pada Hermawan yang bisa dipastikan akan segera mengusirnya. Mungkin Adrian bakal ditembak dengan senapan angin itu, bukan dipukul lagi. Tidak. Adrian tidak takut pada Hermawan. Adrian hanya takut mendatangkan masalah bagi Mia.
Masalah. Itu dia. Adrian lupa kalau masalah akan tetap menghampiri Mia. Kali ini datangnya dari keluarganya sendiri. Apa yang akan dilakukan opa atau ayahnya kalau tahu yang dilakukannya kemarin malam?
Mia tak merespon apa-apa. Sambungan teleponnya terputus tiba-tiba. Adrian mencoba menghubungi gadis itu tapi tak diangkat. Belakangan ponsel Mia malah mati. Kenapa Adrian merasa Mia menghindarinya?
Bodohnya Adrian. Mia pasti takut karena Adrian bicara sembarangan. Logika saja mana ada laki-laki yang sudah punya kekasih mengutarakan perasaan pada gadis lain. Mia pasti berpikir Adrian cowok brengsek, bajingan, playboy, spesies yang harus dijauhi kalau perlu dimusnahkan dari muka bumi. Mungkin Mia menganggapnya menjijikan. Mia tidak akan mau mengenalnya lagi, tak akan mau berteman lagi.
Adrian memang brengsek. Adrian pengecut. Adrian tak bisa menepati janji. Janji pada ayahnya pun janji pada Hermawan. Dia pernah bilang akan melindungi Mia, melakukan apapun untuk Mia, ingin Mia bahagia tanpa mengharapkan apa-apa. Sekarang Adrian justru berharap perasaannya terbalas.
Kacau. Semuanya kacau. Rumit bagai benang kusut. Adrian tak tahu harus apa. Untuk pertama kalinya, Adrian yang biasanya penuh rencana kini tak memiliki rencana.
"I told her," ujar Adrian sore itu. Dia harus menceritakan ini pada seseorang, tak lagi bisa menanggungnya sendirian setelah berhari-hari lamanya.
"Told her what?" Bobby bertanya meski tangannya tengah sibuk mengotak-atik motornya, entah apa yang rusak.
"I told her that I love her."
Kunci inggris yang dipegang Bobby terjatuh. Pemuda dua puluh tahun itu melongo seperti orang bodoh.
"Lo nembak Mia?" pekik terkejut terdengar dari belakangnya. Eddie yang muncul dengan nampan berisi sebotol air es dan tiga gelas kosong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...