"Aku maafin kakak, kali ini beneran."
Adrian tertawa, meringis kemudian karena jahitan di perutnya tertarik saat ia tergelak. Ia menarik napas panjang sesudahnya. Apa yang sebenarnya ada di pikiran Mia? Memintanya untuk tidak pergi, ingin jadi temannya lagi dan memaafkannya. Mia pernah bilang belum bisa melupakan kesalahan yang dibuat Adrian. Mia masih marah, masih kecewa. Gadis itu bahkan masih irit bicara. Jadi kenapa? Oh sepertinya Adrian tahu kenapa.
"Mia," ujarnya hati-hati. "You don't have to do this. Time is on your side. Pikir dulu baik-baik."
"Aku udah mikir."
"Mi, aku fitnah kamu, papi kamu. Aku bikin kamu trauma. Aku bunuh adik dan nenek kamu." Tenggorokan Adrian rasanya tercekik usai mengucapkan kalimat itu. "Papi kamu benar, satu permintaan maaf gak cukup. Kesalahanku terlalu besar, bahkan tikaman di perutku mungkin juga gak cukup." Adrian terkekeh sendiri, kembali menertawakan nasib buruknya.
"Kamu gak tiba-tiba maafin aku karena kejadian ini kan?"
Mia menunduk, membuat Adrian yakin perubahan sikap Mia karena insiden konyol semalam. Mia pasti takut pada konsekuensi yang akan diterima hingga menawarkan win win solution seperti ini. Saling memaafkan, impas dan lupakan semuanya.
"It's two different things Mia. Gak ada hubungannya. Kamu gak perlu maafin aku hanya karena kamu juga ingin dimaafkan. Aku udah bilang kan aku gak nyalahin kamu. Kamu gak salah."
"Bukan... itu kak."
Adrian mengernyit. Masa sih?
"Then what? Why?"
"Blighted ovum."
"Huh?"
"Kak Ian pasti tahu apa itu blighted ovum."
"Ya I know what it is," sahut Adrian cepat, sedikit merasa kesal. Kenapa tiba-tiba malah bahas penyakit.
"Mami keguguran karena blighted ovum bukan karena kakak, janinnya emang gak berkembang kak, embrionya--"
"Gak ada." Adrian paham apa maksud Mia. Rosa keguguran karena janinnya memang tidak berkembang, kelainan kromosom bukan karena faktor psikologis. Adrian tak membunuh janin itu. Haruskah ia merasa lega?
"Nini udah lama sakit jantung, bukan salah kakak juga."
"Nini kamu pasti terpukul waktu denger papi kamu di penjara."
"Kalaupun bukan karena kabar papi, nini akan tetap meninggal kak. Takdir. Kematian itu pasti, gak bisa diubah."
Adrian tak bisa menyangkal. Mia benar. Tak seharusnya ia menyalahkan diri atas sesuatu yang tak bisa ia cegah.
"Jangan terus merasa bersalah kak. Rasa bersalah itu gak enak. Aku tahu rasanya. Maaf ya kak. Aku jahat banget sama kakak. Kata-kata aku yang kemaren pasti udah nyakitin kakak."
"Mi...." Fokus Adrian hanya pada kalimat 'aku tahu rasanya'. Empati. Mia memaafkannya karena memahami apa yang Adrian rasakan. Alih-alih merasa senang karena Mia mengerti dan mungkin bersedia memberinya kesempatan untuk memperbaiki, Adrian justru merasakan sesal. Tidak seharusnya Mia merasa tersiksa seperti yang dirasakannya. "Masih ingat permintaanku semalam?"
Mia mengangguk.
"Kamu janji akan melakukannya kan?"
Anggukan lagi, meski sedikit ragu.
"Kamu pernah bilang memberi maaf untuk berdamai. Damai dengan orang yang berbuat salah, damai dengan diri sendiri." Adrian meraih tangan mungil dan pucat di hadapannya. "I forgive you Mia. Ini saatnya kamu berdamai dengan diri kamu sendiri." Satu tangannya yang bebas meraih wajah pucat yang sejak tadi menunduk, mengangkat sedikit dagunya agar mata mereka saling bertemu.
![](https://img.wattpad.com/cover/188054235-288-k180603.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Fiksi RemajaTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...