56. End Game

114 2 0
                                    

"Masih belom ada kabar?"

"Belom Yan. Gue udah cek beberapa tempat, juga bertanya pada beberapa kerabat dan temannya. Nihil."

Sialan! Adrian mengumpat dalam hati. Kemana perempuan sinting itu pergi? Apa dia benar-benar pergi dan tidak akan mengganggu lagi? Atau dia tengah merencanakan sesuatu yang akan mengejutkan semua orang? Katrin tidak bisa di tebak. Tidak, bukan tidak bisa. Adrian yang terlalu meremehkan gadis itu. Harusnya Adrian tidak gegabah. Harusnya Adrian bisa memprediksi ini.

Katrin menghilang usai Adrian dan Eric melabraknya. Gadis itu tak bisa berkelit begitu Adrian memperlihatkan semua buktinya termasuk paket mengerikan yang dikirim Katrin pada Mia. Sebalnya, Katrin sama sekali tak merasa bersalah. Lebih tepatnya gadis itu merasa tak ada yang salah dengan tindakannya.

"Gue hanya melindungi orang yang gue sayang." Itu alasan Katrin. Eric. Laki-laki yang menurut gadis itu adalah belahan jiwanya, segalanya, hidupnya. Katrin tak mau kehilangan Eric dan tak sudi membagi Eric dengan orang lain.

Stella tidak berbohong kala mengatakan Katrin memiliki sifat posesif dan obsesif. Gadis itu pernah terlibat masalah karena mengancam dan mencelakai orang lantaran cemburu berlebihan. Katrin pernah terobsesi pada seseorang sebelum Eric hingga membuat hidup orang itu dan sekelilingnya tak nyaman. Katrin nyaris berurusan dengan hukum karena tindakan berlebihannya itu. Pengaruh dan uang ayahnya juga usianya yang masih dibawah umur kala itu mampu menyelamatkannya.

Itu bukan satu-satunya bagian mengerikan dari seorang Katrin. Gadis itu mampu mempengaruhi dan menghasut orang lain demi meraih keinginannya. Dia bisa membujuk Gina dan Cindy untuk membantunya dengan dalih kepentingan yang sama. Coba tebak, insiden ciuman itu adalah ide Katrin. Katrin pula yang memfoto, merekam dan menyebarkannya. Katrin yang mengirimi pesan beracun ke ponsel Mia. Katrin pula yang menyiapkan surat-surat kaleng. Gina hanyalah kurirnya. Gadis itu luar biasa, dalam hal buruk tentu saja.

Adrian tak lagi mengenali Katrin kemarin. Gadis itu seperti dua orang yang berbeda, tak seperti Katrin yang Adrian kenal sebelumnya. Tatapan meremehkannya, senyum sinisnya berbanding terbalik dengan kata-katanya yang tenang seolah yang dilakukannya hal yang wajar. Gadis itu seperti orang yang tak waras.

"Kabarin gue terus bang. Gue gak bisa tenang sebelum dia ditemukan."

"Ok. Lo tenang aja Yan. Dia gak bakal bisa macem-macem sama lo."

Tidak. Bukan padanya tapi pada Eric atau gadis yang dianggap Katrin adalah duri dalam dagingnya. Gadis yang harus disingkirkan demi melindungi laki-laki yang ia cinta. Pesan pada ponsel maupun surat sebagian besar berisi caci maki, sisanya adalah ancaman untuk menakut-nakuti tapi kiriman paket itu berbeda. Ini ancaman serius. Adrian tidak akan tenang sebelum mendapatkan gadis itu dalam jangkauannya atau kalau perlu menyeretnya ke jalur hukum.

"Lo udah siap?" Eric muncul di pintu kamarnya dalam balutan setelan formal berwarna hitam.

"Lo takut gue kabur?" Adrian pun dalam balutan setelan formal yang sama. Bedanya, Adrian memilih menggunakan kemeja merah tanpa dasi dibalik jas hitamnya sedang Eric memilih turtle neck long sleeve berwarna senada dengan jasnya. Malam ini ada perjamuan penting yang harus mereka hadiri.

"Emang lo mau kabur?"

Adrian terkekeh pelan. "Lo ditugasin buat jagain gue ya?"

"Lo jawab pertanyaan pake pertanyaan." Eric berdecak kesal yang disambut cengiran Adrian. "Gue di pihak lo tapi tebakan lo bener sih, kak Clara udah wanti-wanti gue sejak kemaren. Nih barusan dia chat lagi. Kalau sampai lo mangkir, dia bakal kirim Felix buat jemput lo."

Adrian mendengus. Terbayang dalam benaknya sosok tinggi besar dan kaku itu. Orang kepercayaan sekaligus pengawal pribadi Clara. Wajah yang sama sekali tidak ramah, seperti patung batu yang diberi nyawa kalau kata Jo.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang