4. Not Really A Bad Day

116 4 0
                                    

Lucu. Gadis itu benar-benar lucu. Awalnya gadis itu terlihat tegang dan kaku saat melihatnya. Adrian berusaha mencairkan suasana dengan memasang senyumnya lalu gadis itu berubah kikuk. Saat Adrian melambaikan tangan ke arahnya, gadis itu hampir membalas sapaannya, kalau saja pengganggu ini tidak datang dan merusak momennya. Padahal reaksi Mia sudah cukup bagus tadi. Ini sudah lebih dari tiga bulan tapi perkembangan di antara mereka tidak berjalan lancar seperti yang dia harapkan. Susah sekali meruntuhkan tembok itu. Bisa-bisa sampai satu semester Mia masih menganggapnya bagai orang asing. Sungguh, Adrian seperti tengah melakukan pendekatan dengan seorang perempuan. Pantas, Eric jadi salah paham. Kedua gadis yang saling melempar tatapan sinis di hadapannya ini juga salah paham.

"Anak-anak sekarang tuh berani dan gak ada sopan santunnya ya." Luna berkata dengan nada menyindir. Mulai deh dramanya.

"Tom barusan denger suara gak sih?" Adrian berusaha menahan senyumnya ketika Ivonne yang jelas-jelas tengah disindir Luna berbisik di telinga sahabatnya. Tidak bisa disebut berbisik juga karena gadis itu bicara cukup keras sebenarnya. Ivonne memang berani.

"Heh! Gue ngomong sama lo." Luna langsung terpancing, seperti biasanya.

"Oh ya ampun kak. Kaget! Kirain kakak ngomong sama kak Eric atau kak Adrian gitu," dalih Ivonne. Luna melotot, wajahnya berubah seram karena menahan kesal.

"Udah... Udah jangan pada ribut. Makan aja." Eric menengahi. Kebetulan makanan pesanan mereka sudah datang. "Ngapain lo kesini? Katanya ada ujian?" Eric bertanya padanya.

"Please... gak usah dibahas. Ntar gue gak nafsu makan." Ujian memang makanan sehari-hari anak FK. Dikit-dikit ujian. Rasanya otak Adrian jadi panas karena menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar, entah itu sendiri atau kelompok. Ini baru ujian tertulis belum lab dan OSCE.

Tenang, dia menjalaninya dengan senang hati kok. Ini memang jurusan yang dipilihnya. Cita-citanya agar bisa seperti mum. Masuk jurusan ini tidak mudah. Oh bukan, bukan karena ujian masuknya yang sulit, otak Adrian cukup encer untuk hal itu tapi izin dan restu dari ayahnya.

Berbeda dengan keinginannya untuk mengikuti jejak almarhumah sang ibu yang memang berprofesi sebagai dokter, sang ayah ingin dia menjadi penerus Arthadinata Group. Dia anak laki-laki satu-satunya Surya Arthadinata. Tidak mungkin menyerahkan urusan itu pada Clara, kakaknya yang kelak akan menikah dan mengikuti suaminya. Padahal menurutnya Clara mampu. Selama ini Clara yang menghandle bisnis keluarga, mendampingi ayahnya. Toh masih ada Eric juga, putra dari adik ayahnya. Eric lebih berbakat darinya.

Dia memberontak. Sejak dulu hingga sekarang bagi Surya, Adrian adalah putranya yang pembangkang. Berandal kecil yang merepotkan.

"Masih ada ujian lagi?"

"Masih. Habis ini gue balik kok, gak bisa lama-lama." Adrian menjelaskan sembari sibuk menyuapkan mie ayam ke mulutnya. Dia memang sengaja meluangkan waktu sebentar hari ini. Besok-besok mungkin dia tidak akan bisa kemari dulu.

Eric mendengus lalu terkekeh pelan. "Kelakuan lo makin aneh aja. Serius sama gue, lo punya misi apa?"

Kadang Adrian ingin jujur. Dia ingin menceritakan masalah dan kesulitannya ini pada Eric tapi dia bingung harus mulai dari mana. Apa Eric masih mengingat kejadian itu?

"Gue seneng kok lo makan siang disini." Luna tiba-tiba menyela. "Lo selalu menyempatkan diri buat mampir ke sini padahal gue tahu lo sibuk banget. Sweet banget gak sih." Perkataannya langsung diamini teman-teman setia yang selalu mengekorinya kemana-mana.

Adrian meringis. Lama-lama misinya bisa salah sasaran. Target misinya malah duduk jauh di meja yang berbeda, makan sendirian dengan tenang ditemani segelas teh hangat. Eh tumben. Biasanya Mia memilih jus stroberi.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang