24. Karma

173 1 0
                                    

Bacanya pelan-pelan ya...

Tarik napas, buang...

Siapin hati, jangan emosi.... #eeh

♥️♥️♥️♥️

Tangan kanan Adrian mencengkram kuat kemudi. Kakinya menginjak gas dalam-dalam, melarikan hatchback merahnya seperti orang kesetanan. Tidak. Mereka tidak sedang dikejar. Adrian punya alasan lain. Pikirannya berusaha fokus ke jalan. Suara radio bisa ia abaikan tapi isak tangis pelan gadis di sebelahnya mengusik benaknya. Ia mengurangi kecepatan begitu menemukan jalan ramai. Napasnya terdengar cepat, peluh sebesar biji jagung mengalir turun dari pelipisnya. Sesekali ia menggigit bibirnya.

Shit! Adrian kembali merutuk.

Kemudinya oleng ketika ban mobilnya menabrak sesuatu. Sepertinya batu besar. Untung kanan dan kirinya tak ada kendaraan lain. Sulit menyetir dengan satu tangan saat pikirannya tengah bercabang. Adrian menarik napas dalam, suara hembusannya sampai terdengar dan membuat gadis di sebelahnya menoleh dengan raut cemas dan ketakutan. Adrian mengulas senyum meski mungkin senyumnya lebih terlihat seperti meringis.

Sial! Dia tak bisa menahannya lagi. Hatchback merah itu berbelok tiba-tiba lalu berhenti mendadak, menimbulkan suara berdecit yang mengerikan bagi penumpang di sebelahnya. Gadis itu berjengit kaget.

"Sorry," ujar Adrian dengan suara tercekat.

Beruntung ia berhasil menepikan mobil itu di halaman sebuah minimarket yang sudah tutup. Adrian kembali mengatur napas, berusaha menenangkan diri, mencoba untuk mengabaikan apa yang tengah dirasa tapi jelas tak mungkin. Rasanya benar-benar menyiksa. Kedua matanya terpejam sesaat, ia menggigit bibirnya kuat, mencoba bertahan seiring dengan napasnya yang makin cepat. Isak tangis di sampingnya makin tak terkendali. Pikirannya makin kalut. Mana yang lebih dulu harus ia lakukan? Mengurusi dirinya atau gadis itu?

Sedetik kemudian Adrian malah tertawa, tawa menyedihkan, mengejek nasibnya yang mengenaskan. Karma buruk masih mengejarnya. Haruskah ia merasa takut atau justru merasa senang? Mungkin ini bisa jadi salah satu cara untuk membayar semua kesalahannya. Netra coklatnya melirik ke bawah, pada tangan kiri yang sejak tadi berada di perutnya. Alasan ia hanya bisa menyetir dengan satu tangan.

Cairan merah yang amat ditakuti Mia merembes dari sela jemarinya, membasahi kaos kuningnya. Luka menganga ada di baliknya. Rasa sakit menjalar dari sana, membuatnya ingin mengerang atau berteriak sekalian tapi setengah mati di tahannya. Bukannya sok kuat, Adrian hanya tidak mau gadis di sebelahnya ketakutan. Ia kembali menghela napas.

"Tutup matamu," katanya pada Mia. "Tarik napas perlahan, hembuskan. Pikirkan sesuatu yang menyenangkan. Anything. Jangan lihat kemari," pintanya.

"It's gonna be okay." Suatu kebohongan karena dia sendiri sedang tidak baik-baik saja. Luka tusuk adalah luka serius, pendarahannya harus segera dihentikan. Adrian memilih mengurus dirinya dulu sebelum mengurus Mia.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang