Mia melihat sekeliling kamarnya, memastikan sekali lagi tidak ada yang tertinggal. Dia sudah mengemas barang-barangnya dan membereskan tempat tidurnya.
Sepertinya sudah semua, gumamnya dalam hati.
Pesta tahun baru sudah usai. Semalam mereka berenam menghabiskan malam pergantian tahun di villa ini. Pesta barbeque, menyalakan kembang api, memainkan game absurd dan tertawa bersama. Tadinya mereka berniat terjaga sampai pagi tapi ternyata tak sampai pukul dua pagi mereka semua sudah teler. Mungkin efek lelah karena sedari siang mereka juga sudah berenang dan bermain. Hanya menginap dua hari satu malam karena itu batas toleransi yang diberikan papi. Mia terpaksa menurut dan teman-temannya tak keberatan. Mungkin sebenarnya keberatan tapi tak ada yang berani membantah.
"Jadi mau ke tempat tante lo dulu?" Nina melongok ke dalam kamar dan bertanya.
"Jadi, kalau kalian gak keberatan. Cuma sebentar kok."
"Ya enggaklah Mi. Gue juga pengen kenal sama tante lo."
Mia tersenyum. Dia beruntung teman-temannya juga tidak keberatan mampir ke rumah tante Prita sebelum kembali ke Jakarta. Mia cuma ingin menyerahkan beberapa titipan mami sekalian silaturahmi. Dulu Mia tidak berani menginjak rumah tantenya. Semua yang ada disana mengingatkannya pada masa lalu. Butuh waktu lima tahun untuk mengatasi rasa takutnya. Dia sudah baik-baik saja sekarang kecuali kalau dia melewati taman itu.
Taman bermain tempat kecelakaan dua belas tahun yang lalu terjadi, tak jauh dari rumah tantenya. Papi biasa mengambil jalan memutar tapi Tommy tidak. Tommy tidak tahu dan Mia lupa memberitahunya. Mia terkejut ketika Tommy justru membelokan arah mobilnya tepat ketika netra Mia menangkap penampakan taman menakutkan itu. Tommy mau kemana? Ini bukan jalan menuju rumah tantenya.
"Harusnya kita lurus aja," tegur Mia. Kalau Tommy ingin memutar agar tak melewati taman, jalan yang diambil Tommy tetap salah.
"Mampir ke tempat lain sebentar sebelum ke tempat tante lo Mi. Sebentar aja. Gue penasaran." Ivonne yang menjawab. Matanya berbinar dan senyum terukir di wajahnya. Ada yang membuat Ivonne merasa sangat senang.
"Kemana?" tanya Mia yang mulai ikut penasaran.
"Villanya kak Adrian." Ivonne menjawab malu-malu.
Mia melongo. Ia yang duduk di depan menoleh ke arah Tommy, mengkonfirmasi.
"Sori Mi. Kalau gak diturutin ntar dia nangis sepanjang jalan. Repot gak ada tukang balon disini," terang Tommy.
"Enak aja! Siapa yang nangis," gerutu Ivonne kesal.
Mia terkekeh. "Iya... Iya. Eddie bilang villanya besar. Kalian pernah kesana ya?"
"Belom pernah sih. Eddie cuma lihat dari foto dan cerita Eric tapi tetap bagusan villa gue dong." Tommy memuji diri sendiri, tak mau kalah.
Ivonne dan Tommy masih saling mengejek sementara Mia teralihkan pada jalan yang dilewati mobil mereka. Jalan ini... Mia kenal jalan ini. Memang banyak yang berubah dari yang terakhir ia ingat tapi perasaan familiar ini tidak bisa ditepisnya. Mia yakin pernah melewati jalan ini. Bukan cuma sekali tapi berkali-kali. Tanpa sadar Mia mencengkram kaos yang dipakainya. Sesak itu kembali.
Jantungnya berdetak semakin cepat ketika Tommy menghentikan mobilnya tepat di sebuah rumah besar berpagar hitam tinggi. Rumah dengan halaman luas dan tanaman rimbun. Rumah berlantai dua dengan cat putih dan bergaya klasik modern. Netra hitam Mia teralihkan pada satu titik di pojok halaman itu. Ada yang hilang disana, sesuatu yang harusnya ada.
Ivonne sudah turun dari mobil, tak sabar melihat rumah itu lebih dekat. Eddie dan Nina di mobil berbeda yang dikendarai Bobby juga ikut turun, menyusul Ivonne. Tommy menoleh ke arahnya dan menatap cemas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...