PROLOG

254 5 0
                                    

Everyone makes mistakes in life, but that doesn't mean they have to pay for them the rest of their life. Sometimes good people make bad choices. It doesn't mean they're bad. It means they're human
-unknown-

Mia menggigit kuat bibirnya, kedua tangannya mengepal. Ia ingin sekali memejamkan matanya atau menulikan telinganya tapi ia tidak bisa. Pemandangan horor di depannya tak bisa ia abaikan, erang kesakitan itu membuat tubuhnya gemetar. Dalam hati Mia terus merapal doa, memohon pertolongan, meminta kekuatan.

Mia harus melakukan sesuatu, ia tidak boleh diam saja sementara sahabat terbaiknya tengah disiksa di hadapannya. Tommy terlihat mengenaskan. Laki-laki itu hanya bisa meringkuk ketika dua pria jahat menendang dan memukulinya dengan brutal.

Mia takut, sangat takut. Tadi ia sempat berteriak, berharap ada orang di luar sana yang mendengar teriakannya tapi sebuah tamparan menciutkan keberaniannya. Pipinya terasa perih, lengannya pun terasa sakit lantaran pria ketiga dari gerombolan preman brengsek ini mencekal lengannya teramat kuat.

"Jangan sakiti teman saya bang. Saya bakal kasih apapun yang abang minta," pinta Tommy disela-sela rintihannya.

Mia menangis tanpa suara mendengar permohonan sahabatnya. Dalam keadaan tak berdaya seperti itu, Tommy masih memikirkan keselamatannya.

"Katanya lo anak orang kaya tapi cuma ada seratus ribu di dompet lo... Cuiih," salah satu preman yang memiliki luka mengerikan di wajahnya mengejek dan meludah sembarangan.

"Abang bisa ambil motor saya atau jam tangan saya. Terserah," tawar Tommy pasrah.

Mia tahu Tommy tidak pernah membawa uang banyak. Tommy lebih suka membayar dengan debit atau credit card, tentu saja hanya ada selembar uang berwarna merah itu di dompetnya. Ini kebodohan mereka, kesialan mereka. Motor yang dikendarai Tommy mogok dan mereka malah bertemu manusia-manusia bajingan ini.

Tadinya salah satu dari preman itu menawarkan bantuan. Meski sempat curiga tapi Mia dan Tommy tak punya pilihan lain. Mereka tersasar di tempat asing dan sepi dari lalu lalang orang. Mereka berharap pada si penolong yang ternyata adalah iblis berwujud manusia.

"Temen lo manis juga lama-lama gue lihat," celetuk salah satu pria yang tak jua melepaskan tangan kotor dan berkeringatnya dari lengan Mia.

Jantung Mia mencelos, ia sadar kini para pria lain tengah menatap ke arahnya. Mereka sepertinya sudah bosan pada pemuda yang kini terkapar tak berdaya. Mereka ingin mainan yang lebih menarik padahal penampilan Mia sama sekali tak menarik. Mia bertubuh mungil dengan wajah polos yang tak pernah tersentuh make up dan rambut yang dikepang dua bagai anak kecil.

"Masih kecil sih tapi imut." Pria tak tahu malu itu tertawa setelah dengan kurang ajarnya mencolek dagu Mia.

"Jangan bang. Jangan ganggu dia." Permintaan Tommy disambut tendangan sekali lagi. Entah sudah berapa kali laki-laki itu menerima tendangan dan pukulan. Mia ngilu membayangkannya. Ia hanya bisa menggelengkan kepalanya sembari menangis.

"Gue jadi suka lihat lo nangis," ujar pria brengsek didekatnya lagi. "Ayo nangis yang kenceng! mohon dan minta sama gue supaya gue mau lepasin lo tapi... Gue gak bakal lepasin lo ha ha ha." Derai tawanya memekakan telinga Mia.

"Tolong... Tolong!" Mia berteriak. Dia benci pria di sampingnya ini. Dia juga benci pada dua pria lain yang telah menyakiti Tommy.

"Diam!!" Bentakan dan tamparan menyambut Mia. Gadis itu sampai jatuh terduduk. Ia meringis, tubuhnya makin gemetar ketika sebuah bisikan mengerikan mampir di telinganya.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang