Adrian tengah membereskan barang-barang miliknya ketika mendengar ketukan pelan di depan pintu kamarnya. Dahinya mengernyit heran, harusnya Jo langsung masuk saja. Tak biasanya Jo mempedulikan sopan santun begini.
"Masuk aja bang!" teriak Adrian namun tak ada sahutan dari luar sana.
Kepalanya lantas menoleh ke arah pintu yang terbuka perlahan dan Adrian terpaku begitu melihat siapa yang datang. Gadis itu melangkah dengan hati-hati. Seulas senyum canggung terbit di bibir berwarna coral miliknya.
"Aku denger kamu sakit," sapanya.
"Udah sembuh sebenernya. Aku pulang hari ini." Adrian menjawab lalu beralih kembali pada hal yang dikerjakannya tadi. Ia sempat melirik gadis itu yang mengangguk sebagai respon atas jawabannya.
"What do you want?" Adrian merasa tak perlu basa basi lagi. Gadis itu tak mungkin sengaja datang untuk menjenguknya.
Gadis itu berjalan mendekat, meletakkan sekotak coklat favorit Adrian di atas ranjang. Jelas gadis itu masih mengingat apa saja yang disukainya.
"Aku minta maaf," ujar sang gadis pelan. "for everything."
Adrian menghela napas. Iris madunya menatap tajam sang gadis. "That won't change anything." Katakanlah ia kejam tapi Adrian sudah tak peduli dengan apapun yang diinginkan gadis ini sekarang. Adrian juga ogah berurusan dengannya lagi.
"I know," jawab gadis yang pernah menjalin hubungan dengannya dan sempat mengisi kenangan manis dalam ingatannya dulu. Sekarang Adrian tak sudi mengingat apapun yang terjadi di antara mereka. "Kamu boleh menyebutku tidak tahu malu tapi... Aku ingin menagih janjimu."
Adrian terkekeh pelan. Setelah semua yang terjadi, jelas Cindy tidak tahu malu.
"Kamu pernah bilang kamu akan mengabulkan permintaanku sebagai kompensasi." Cindy melanjutkan.
Adrian mendengus pelan. "Kamu ingin meminta pengampunan untuk kakakmu?" tebaknya. Tante Resty sudah meminta itu lebih dulu pada opa, ayah bahkan Clara. Tante Resty bahkan mencoba berulangkali untuk menemuinya namun gagal. Clara tak membiarkannya dan Adrian tak pernah merasa perlu memenuhi permintaan wanita itu.
"Aku juga terlibat. Aku yang mengirim pesan itu ke ponsel Mia." Satu tangan Adrian mengepal, ia berusaha keras untuk tidak terbawa emosi. Bukan hanya karena pengakuan Cindy tapi juga karena mendengar nama itu disebut. Mia... Adrian merindukan gadis dengan bola mata bulat nan polos itu. Ini bahkan belum dua puluh empat jam sejak hatinya dipatahkan dengan amat kejam. Apa dia bisa bertahan? Kenapa dia mengabulkan keinginan Mia kemarin? Kenapa dia membiarkan Mia pergi? Hanya karena ia tak tega melihat Mia yang nampak begitu tertekan dan putus asa. Ingin sekali Adrian menuruti kata hati, meminta atau memaksa Mia tetap tinggal namun ia justru mengalah. Bodoh sekali. Sekarang menyesal pun tak ada guna.
"Jeff melindungiku, dia sama sekali tak menyebut soal aku. Dia memintaku diam." Penjelasan Cindy memecah lamunan singkatnya.
"You told me." Gadis di hadapannya terkesiap. Raut wajahnya ragu atau mungkin takut.
"Kamu boleh laporin aku," lirihnya pelan.
"You know Cin... Syukurlah cuma aku yang terluka dalam insiden kemarin. Itu membuatku lebih mudah untuk memaafkanmu."
Diluar dugaan, Cindy malah tertawa. Entah dimana letak lucunya.
"Aku iri padanya," ucapnya kemudian. "You seems really care for her. Kamu belain dia, kamu lindungin dia, kamu rela ngelakuin apa aja buat dia. Nyawanya bahkan lebih berharga dari nyawamu." Cindy tertawa lagi tapi raut wajahnya terlihat sendu. Ada luka disana, kesedihan juga kekecewaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...