23. Nightmare

147 1 0
                                    

Dibacanya pelan-pelan ya, kalau bisa jangan lagi sendirian.

Jangan sambil makan atau minum nanti keselek 😁

Kalau gak kuat, pegangan...

♥️♥️♥️♥️

"Sssh..! Mia mendesis pelan ketika tanpa sengaja jarinya tergores saat membuka kaleng susu coklat yang baru saja diberikan Ivonne.

Mia membeku. Sekitarnya terasa hening meski sebenarnya ramai. Ia seperti bisa mendengar jantungnya sendiri yang berdetak sangat cepat. Hidungnya seolah mencium bau anyir darah padahal ini cuma setetes. Setetes cairan merah yang mengalir perlahan, Mia menahan napas, matanya ingin berpaling tapi tidak bisa.

Bola mata hitam pekat itu mengerjap saat sesuatu berwarna putih menutup jarinya yang terluka. Tisu. Jemari lain menekan jarinya yang tergores dengan lembut.

"Gak apa-apa Mi. Ada gue." Ivonne tersenyum padanya. "Lain kali biar gue yang buka aja ya."

Mia tersenyum kecil pada sahabatnya. "Thanks," sahutnya. "Aku bisa buka sendiri kok. Tadi tuh kurang hati-hati aja."

"Iya. Lain kali lebih hati-hati ya."

Rasa hangat seketika meliputi benak Mia. Ivonne membantunya, memahami kelemahannya, tidak menghakiminya. Beberapa orang yang tak paham mungkin akan mengatakan dia berlebihan. Ini cuma luka kecil, bukan apa-apa. Tapi luka sekecil apapun kalau itu berdarah berdampak besar bagi Mia.

"See... You're a strong girl. I'm proud of you." Ivonne membesarkan hatinya.

Detak jantungnya kembali teratur. Napasnya pun tak terasa sesak. Dulu saat tangannya tergores pisau ia kehilangan kesadaran, padahal lukanya juga tidak terlalu dalam. Mami lebih panik melihatnya yang pingsan ketimbang melihat darah yang mengalir dari tangannya. Mia bisa mengatasi ini. Senyum mengembang dari bibirnya. Tadi siang dia juga berhasil menonton pertandingan Nina. Untungnya tak ada insiden yang ia khawatirkan selama jalannya pertandingan.

Bicara soal pertandingan karate, ia juga menyaksikan Adrian berlaga tadi. Matanya hampir tak berkedip lantaran terpana melihat sosok itu. Sesekali bayangan perkelahian dalam gedung tua itu terlintas membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Adrian memang jago bela diri. Laki-laki itu berhasil mendapat skor tinggi dan melenggang ke babak final yang akan diselenggarakan besok. Nina juga berhasil dan Mia harus menepati janjinya pada Nina, memberi dukungan sampai selesai. Itu artinya dia juga bisa melihat Adrian bertanding lagi besok. Entah kenapa ia tak sabar. Ini pertama kalinya Mia menantikan sebuah pertandingan olahraga, bela diri pula. Mia yakin Adrian akan menang lagi.

"Lo takut darah tapi suka baca detektif conan. Sampai sekarang gue gak habis pikir, kok bisa?" Mia sedikit kaget mendengar celoteh Nina di sampingnya. Ia tak sadar Nina sudah kembali dari toilet dan malah membahas soal phobia dan kesukaannya pada cerita misteri. Mia pasti melamun tadi.

"Self healing Na," jawabnya. "Awalnya takut tapi... Malah ketagihan, seru."

"Gambarnya kadang serem lho."

"Iya sih tapi itu cuma gambar. Di film juga gitu. Itu cuma akting. Palsu. Aku pernah beli darah palsu buat self healing, aku gak takut."

"Wow." Nina memandang takjub.

"Tapi tetep takut yang asli," cicit Mia.

Nina dan Ivonne terkekeh.

Aneh Mia bisa tahu mana yang asli dan mana yang palsu hanya dengan melihat. Pernah ada yang mengerjainya tapi gagal karena Mia tahu itu palsu.

"Udah gue bilang lo tuh aslinya pemberani."

Tidak. Mia itu penakut. Darah cuma salah satunya. Mia takut pada lingkungan baru. Mia tak berani berkata tidak. Mia tidak bisa mengungkapkan keinginan atau pendapatnya. Mia selalu memilih mengalah, lebih sering melarikan diri. Mia lemah.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang