Adrian menghembuskan napas kasar usai memarkir mobilnya. Netra coklatnya melirik mercy milik ayahnya yang sudah terparkir manis di garasi. Sialnya ada satu mobil lagi yang tak seharusnya berada disini. Ini jelas mimpi buruk.
"Opa disini?" tanya Adrian lesu pada satpam rumahnya.
"Tuan besar datang kira-kira sejam yang lalu."
Helaan napas kasar dihembuskannya lagi. Tamat sudah riwayatnya kali ini. Adrian yakin begitu dia membuka pintu utama, dia akan langsung digiring ke ruang kerja, siap buat disidang oleh dua pria paling menakutkan dalam keluarganya. Mendadak langkah kakinya terasa berat. Kalimat yang sudah ia susun buyar. Ia bahkan lupa apa saja yang sudah dikatakan Bobby di telepon padanya tadi.
Adrian memang bodoh. Harusnya dia bertanya pada pengacara keluarga atau om Haikal sekalian. Apa yang bisa diharapkan dari mahasiswa hukum semester empat? Mia yang masih berumur tujuh belas belum terhitung dewasa. Kasus pidana yang menjeratnya harusnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Masalahnya apa keluarganya mau? Ayahnya sangat keras kepala dan punya ego setinggi langit. Ayahnya tidak akan mau mengalah ditambah opa yang suka bertindak sesuka hati, sepertinya akan sulit.
Di saat seperti ini, sempat-sempatnya Adrian merasa kesal karena dilahirkan menjelang akhir tahun. Tahun ini usianya dua puluh tapi itu baru beberapa bulan lagi. Sembilan belas tahun usia yang tanggung, bukan anak-anak atau remaja tapi juga belum terhitung dewasa. Bobby bilang batas usia dewasa dalam hukum bervariasi, ada yang delapan belas, ada pula yang dua puluh satu tahun. Adrian harap usianya sudah termasuk cakap dalam hukum karena kalau ayahnya menolak permintaannya maka dia yang harus melakukannya sendiri dan dia tidak akan bisa melakukannya kalau belum cukup umur.
Damn!
"Aku pikir kamu gak bakalan pulang." Clara menyambutnya dengan kalimat sinis begitu Adrian melintasi ruang tamu. Wanita itu duduk santai dengan kaki yang disilangkan sementara di pangkuannya ada sebuah majalah fashion ternama. Mata sang kakak yang tadinya fokus ke bacaannya kini beralih padanya. Tatapannya setajam silet, membuat Adrian merinding seketika.
"Pulanglah, aku kan udah bilang gak bakal kabur." Yeaah. Kalau dia kabur masalahnya tidak akan selesai.
Clara mendengus. "Pacarmu kabur tuh." Dia menyindir. "Ninggalin kamu seorang diri buat beresin kekacauan yang udah dia buat." Senyum mengejek tercetak di bibir cerinya.
Adrian menghela napas.
"Maaf buat yang tadi." Adrian tidak mau ada pertengkaran lagi di antara mereka. Meski Clara galak dan kadang mengesalkan, Adrian menyayanginya. Mereka keluarga.
"Aku sedih sebenernya. Kita sedarah tapi kamu lebih belain orang baru yang statusnya cuma pacar," sindir Clara lagi, telak.
"Panic attack."
Dahi Clara berkerut.
"Dia kena serangan panik kak. Dia takut sama kakak. Aku harus jauhin dia dari kakak."
"Aku bukan monster!" Clara mendelik, jelas tersinggung.
"Bagi dia kita adalah monster. Mimpi buruknya selama dua belas tahun."
"What are you talking about?"
"Nanti kakak bakal tahu. Sekalian aja aku jelasin di depan dad dan... Opa." Adrian menelan ludah, merasa ngeri sendiri. Serius. Dia seperti tengah berjalan ke tiang gantungan.
Mulut Clara membuka, matanya terbeliak tak percaya lalu wanita itu terkekeh pelan. "Astaga!" - mendekat, Clara berjinjit dan menyentuh dahinya dengan punggung tangan kanan- "sedikit demam sih."
"Apa sih?" Adrian menjauhi tangan halus dan seputih pualam itu.
"Harusnya kamu gak balik kesini, ngumpet kek di rumah tante Sarah atau di rumah temen kamu tuh si Eddie, nginep berhari-hari di kamar kosnya Bobby terus tinggal cari-cari alasan deh." Clara menjabarkan kebiasaannya dulu. "Aneh lihat kamu kayak gini. Pasrah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...