6. Responsibility

133 2 0
                                    

Entah apa yang ada di pikiran Adrian hingga ia berinisiatif mengantar Mia pulang. Rasanya aneh saja kalau mereka mengucapkan selamat tinggal lalu pulang begitu saja ke rumah masing-masing setelah berbincang cukup lama.

Akhirnya keinginan Adrian terpenuhi. Dia bisa berbicara dengan Mia tanpa gadis itu menghindar atau lari lagi, meski sebagian besar dia yang bicara. Gadis itu tetap irit bicara dan memilih menjadi pendengar saja. Tetap saja ini kemajuan yang baik. Pelan-pelan saja. Adrian yakin bisa membuka hati Mia suatu hari nanti.

Hatchback merah itu melaju, hampir sampai di tempat tujuan. Mia menunjukkan arah ke rumahnya meski Adrian tahu pasti di mana letaknya. Adrian harus tetap pura-pura tidak tahu kan.

"Disini aja kak." Mia meminta berhenti ketika Adrian hampir membelokkan arah mobilnya.

Dahinya mengerut bingung. Rumah Mia masih masuk ke dalam lagi. Kenapa gadis itu meminta berhenti disini?

"Rumah kamu yang mana?" tanyanya pura-pura tidak tahu.

"Masih kesana lagi kak." Mia terdengar ragu. "tapi gak apa-apa disini aja."

"Lho kenapa? Jalannya cukup lebar kok. Mobilku bisa masuk." Ini komplek perumahan tentu saja jalannya lebar. Bukan pemukiman elite seperti rumah Ivonne tapi rumah-rumah disini tidak buruk. Rumah Mia bahkan terlihat nyaman, dua lantai dengan carport yang cukup untuk satu mobil dan taman mini yang dihiasi beberapa bunga. Adrian pernah mengintip rumah itu beberapa waktu lalu.

"Itu..." Mia agak gugup. "Papi aku galak kak." Gadis itu sedikit meringis.

Ah I see. Emang galak sih apalagi sama gue.

"Aku antar sampai depan rumah aja." Adrian tersenyum menenangkan.

Tenang? Bullshit. Nyatanya jantungnya sudah dag dig dug tak karuan. Bagaimana dia bisa tenang? Menyetujui usul Mia untuk menurunkan gadis itu disini saja sesungguhnya pilihan yang paling baik tapi itu melawan hati nuraninya. Rasanya tidak enak saja menurunkan seorang perempuan di tengah jalan. Bukankah dia yang menawarkan diri untuk mengantar Mia pulang? Dia harus bertanggung jawab.

Tanggung jawab? Adrian rasanya ingin menertawakan dirinya sendiri. Kemana perginya rasa tanggung jawab itu dua belas tahun yang lalu? Waktu itu dia memilih lari tapi kali ini tidak. Dia sudah berjanji dia akan bertanggung jawab dan menyelesaikan semuanya meski terlambat. Apapun yang terjadi Adrian tidak akan mundur.

Mia tak membantah lagi ketika Adrian menggiring mobilnya mendekati rumah gadis itu. Sudah terlambat juga untuk menghentikannya, mungkin begitu menurut Mia. Gadis itu terlihat gelisah, matanya melirik kanan dan kiri seolah takut ketahuan.

Lucu. Harusnya Adrian yang panik bukan Mia. Adrian berdoa semoga dirinya tidak bertemu om Hermawan. Jangan sekarang. Adrian tidak mau rencananya sampai gagal.

"Makasih ya kak." Mia tergesa membuka pintu mobilnya. "Kakak buruan pergi, papi kayaknya udah pulang." Gadis itu menunjuk avanza hitam yang terparkir di dalam garasi rumah.

Adrian hanya mengangguk. Netra coklatnya melirik ke dalam dan mendapati seorang pria paruh baya berdiri di ambang pintu rumah, memperhatikan keluar dengan penuh rasa ingin tahu. Normalnya sebagai tamu, ia turun dan menyapa lalu pamit baik-baik tapi dia tak mungkin melakukannya. Jadi Adrian hanya membunyikan klaksonnya pelan ketika Mia melambaikan tangan ke arahnya. Mazda 2 miliknya pun melenggang pergi.

******

Adrian tersenyum kecut ketika tiba di unit apartemennya dan mendapati seseorang yang ia kenal tapi paling malas ia temui ada di dalamnya. Eric tidak terlihat, mungkin belum pulang.

"Ayah menunggumu," ujar pria berusia lima puluhan itu dingin.

"Ayah mau ngapain?" Adrian menatap datar pria di hadapannya.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang