47. His Cousin

84 2 0
                                    

Mia merentangkan tangan kanannya ke atas sejauh yang ia bisa. Kakinya berjinjit, hanya bertumpu pada jari-jarinya. Tubuhnya sedikit oleng tapi ia tak peduli. Manik kelamnya terfokus pada buku tebal yang diincarnya. Susah sekali. Kenapa buku yang dibutuhkannya harus diletakkan di atas sih? Kenapa pula dia sependek ini?

Napas kasar terdengar dihembuskan, Mia lelah karena usahanya beberapa menit yang lalu sia-sia. Bibirnya cemberut, ia menggerutu sendiri lalu kembali mencoba. Sedikit lagi. Mia baru ingin melompat ketika sebuah tangan tiba-tiba muncul dan meraih buku yang diinginkannya. Baru saja Mia ingin protes kalau perlu mengomel tapi buku itu malah diulurkan padanya.

"Kalau gak nyampe kenapa gak panggil petugasnya aja sih. Loncat-loncat gitu bahaya, yang ada lo malah jatoh terus terkilir atau benjol."

Mata bulat Mia mengerjap. Tak percaya kalau seseorang yang tak terduga baru saja membantunya sekaligus menceramahinya.

"Bilang apa?"

"Makasih kak."

Eric tersenyum kecil lalu berlalu begitu saja. Tak mau memusingkan kejadian tak terduga tadi, Mia bergegas menuju salah satu meja kosong. Tugasnya sudah menanti untuk dikerjakan.

"De, lo ngikutin gue ya?"

Mia hampir saja terlonjak dari kursinya. Eric terkekeh ketika Mia menolehkan kepalanya. Siapa sangka kalau Eric ternyata duduk tepat di sebelah kubikel yang Mia pilih. Laki-laki itu dengan santai malah melambaikan tangannya seraya menaikkan sebelah alisnya. Mia bergidik melihatnya. Dia jadi takut, menduga-duga apa yang diinginkan seniornya itu.

"Eh, mau kemana?" Eric menegur lagi begitu Mia beranjak. Tentu saja Mia hendak pindah tempat duduk. Dia perlu ketenangan dan rasa nyaman. Dua hal itu tidak akan didapatkan kalau Eric ada di sebelahnya. "Disini aja. Gue gak bakal ganggu lo. Tugas gue juga banyak."

Mia kembali duduk, tak kuasa menolak. Takut. Memorinya memutar kejadian di kantin minggu lalu, dimana Eric mengamuk dan memarahinya. Setelah kejadian itu Mia tak pernah berinteraksi dengan Eric. Mereka mungkin beberapa kali berpapasan tapi hanya itu. Tak ada kata sapaan apalagi senyuman yang biasa Eric berikan. Makanya aneh melihat sekarang Eric kembali menyapa seolah tak ada yang terjadi.

"Kak Eric... Udah gak marah?" Mia memukul mulutnya sendiri usai tanya itu terlontar keluar. Berani banget kamu Mi!

"Kenapa gue harus marah?" Laki-laki penyuka warna hitam itu malah balik bertanya usai meloloskan kekehan pelan sebelumnya.

Mia hanya bisa menunduk dalam, tak berani menjawab. Desahan pelan malah terdengar dari sebelahnya.

"Gue minta maaf." Mata Mia mengerjap, dahinya mengernyit bingung. Mia pasti salah dengar. "Gue minta maaf karena udah marah-marah dan kasar sama lo waktu itu. Maafin gue ya?"

Anggukan kepala diberikan Mia sebagai jawaban.

"Lupain semua yang gue bilang. Gue lagi kerasukan setan kayaknya. Semua yang gue bilang itu... Gak bener."

Mia mengangguk lagi.

"Lo jangan cuma ngangguk-ngangguk doang. Ngomong dong! Gue berasa ngoceh sendirian."

"I-iya kak." Duh! Mia takut Eric marah lagi. Meski Eric selalu terlihat ramah, kadang suka usil dan bercanda, Eric juga orang yang gampang tersinggung. Tidak segarang Gatra yang selalu terlihat ingin makan orang atau Bobby yang selalu jutek tapi bagi Mia, Eric tetap menyeramkan. Mia harus berhati-hati.

"Gue heran... Adrian kok bisa tahu dan paham apa yang lo mau. Lo ngomong aja irit. Lo natap orang yang ngomong sama lo juga enggak. Sepupu gue punya bakat cenayang kayaknya.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang