42. When It Rains, It Pours

107 1 0
                                    

Adrian memijat keningnya, satu tangannya yang lain mengetuk-ngetuk meja di hadapannya. Ia mendesah pelan.

"Kasih aja," putusnya kemudian.

"Harganya jauh di atas harga pasar Yan. Ini pemerasan namanya." Jo mendebat keputusannya.

"Lo bilang ada tiga penawar lagi kan? Gue harus dapetin rumah ini bang."

"Gue bakal nego lagi. Si bapak udah oke, sayang istrinya banyak maunya."

Adrian terkekeh pelan. Tipikal ibu-ibu, biasanya memang begitu. "Kasih gue kabar baik."

"Siap tuan muda." Jo mengangkat tangan kanannya sejajar dengan dahi, memberi hormat.

"Don't call me like that. Geli gue bang." Jo hanya tertawa mendengar protes keberatannya. Beberapa bawahan ayahnya suka memanggilnya dengan sebutan itu. Yang lain memilih 'mas' atau 'den'. Adrian tak suka Jovan seperti mereka. Jovan biasa ber lo-gue padanya dan menyapanya dengan nama tanpa embel-embel kecuali di depan orang lain.

"Jangan ditekuk gitu muka lo. Kayak gak ada gairah hidup aja." Jo malah menyindirnya sekarang.

Adrian merenggangkan tubuhnya. Netra coklatnya menatap kosong ke arah luar jendela Orange Cafe. "Hidup gue lagi berantakan banget bang." Ia terkekeh lagi, menertawakan masalahnya. "Gue kayak robot, gak tau apa yang sebenernya gue lakuin. Yah... Ngikutin alurnya aja."

"Lo udah punya planning kan?"

Adrian mengangguk pelan. "Tapi kadang gue gak yakin. Menurut lo gue bisa menang dari ayah, dari opa?"

"Sulit." Adrian mendengus. Harusnya Jo menghiburnya dengan kata-kata manis, bukan menamparnya dengan kenyataan pahit. "Konsekuensinya gede."

"Dan bukan cuma gue yang harus nanggung." Otak Adrian rasanya panas memikirkan jalan keluar dari semua keruwetan ini. "Gue harus bisa lindungin dia saat gue ambil keputusan nanti."

"Lo pasti bisa." Adrian tersenyum kecil. Harus bisa. "So... Rumah itu atas nama dia?"

"Yup... Itu miliknya. Gue mau balikin apa yang udah gue rampas."

Sebentar lagi. Sebentar lagi rumah mungil yang terletak di Bandung itu akan jadi miliknya. Ralat. Milik Mia. Rumah yang dulunya di rampas paksa oleh ayahnya. Adrian sudah bilang kan akan membayar lunas hutangnya. Jo tentu tahu cerita dirinya dan Mia. Jo yang pertama menyelidiki soal Mia. Jo yang selama ini membantu menjalankan semua rencananya.

"Ada mata-mata di Cipta Anugerah. Mereka bakal hancurin perusahaan itu dari dalem Yan, sebelum merebutnya."

Adrian meminum perlahan kopi yang dipesannya. Gayanya tenang padahal hatinya gundah gulana, otaknya penuh.

"Always the dirty tricks." Senang sekali opa dan ayahnya menggunakan cara licik untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

"Hermawan mungkin akan disingkirkan."

"Gue harus kerja rodi kayaknya. Gila! Mau nebus dosa aja kudu punya duit sekarung."

Jo tergelak. "Lo kan banyak duit."

"Gak sebanyak ayah, bang. Apalagi opa."

"Bentar lagi lo jadi artis."

"Kayaknya gue mesti prepare dari sekarang. Gue punya firasat, gue bakalan ditendang dari rumah begitu semua ini kelar. Jadi gembel gue ntar."

Jo terbahak lagi.

"Jangan ketawa mulu lo bang. Bantuin gue mikir."

Bagaimana tidak mumet, masalah datang beruntun. When it rains, it pours. Dimulai dari kedatangan Mia di pesta ulang tahun sang kakek. Kebodohan Tommy lalu kecerobohan Mia hingga sampai jatuh ke kolam renang. Adrian merasa nyawanya nyaris melayang saat melihat wajah pucat Mia apalagi ketika gadis itu tak bernapas. Adrian pikir ia tak pernah takut apapun kecuali Tuhan. Nyatanya membayangkan tak lagi bisa melihat atau memeluk Mia membuatnya merasakan ketakutan luar biasa. Gadis itu benar-benar sudah menjadi kelemahannya.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang