17. A Hug From A Friend

92 1 0
                                    

"Mia udah makan mi."

"Pecel ayam. Enak."

"Gosok gigi sebelum tidur, berdoa sebelum tidur. Mia inget mi."

"Iya... Iya... Ya udah ya mi. Mia mau belajar lagi. Dada... Assalamualaikum."

Mia menutup ponselnya dan menghembuskan napas pelan. Dasar mami! Wejangannya banyak banget. Kayak Mia anak TK saja mesti diingatkan berulangkali. Mami selalu menganggap Mia anak kecil padahal Mia sudah tujuh belas jalan delapan belas sekarang.

"Diizinin kan?" Ivonne menegurnya.

"Iya boleh." Mia menyunggingkan senyum.

Senyum yang terlihat aneh karena kontras dengan wajahnya yang pucat dan matanya yang bengkak. Mia melihat pantulan dirinya yang menyedihkan pada kaca rias di kamar bernuansa biru laut ini.

Ivonne mengelus pundaknya." You're such a strong girl. You'll be okay," ucapnya. "Gue ke bawah bentar ya. Anggap aja rumah sendiri. Ada novel dan komik di rak situ kalau lo bosen." Ivonne menunjuk rak buku berisi koleksi bacaannya di pojok ruangan.

Mia beranjak menuju rak itu begitu Ivonne keluar kamar. Diperhatikannya buku-buku disana tapi tak ada satupun yang menarik sampai ia membaca judul buku yang tak asing. Mia mengambil buku bersampul biru itu, warna favorit Ivonne. Ini novel yang pernah dibacanya di salah satu aplikasi baca. Novel itu sudah terbit rupanya. Mia tak terlalu suka endingnya karena berakhir sedih. Tokoh utama cowoknya mati karena melindungi tokoh utama ceweknya. Mirisnya si tokoh utama cewek saat itu juga tengah melindungi sahabatnya. Ya si cewek memiliki perasaan pada sahabatnya. Namun si tokoh utama cowok juga mencintai si cewek dan rela melakukan apapun untuknya. Si cewek belakangan sadar kalau ia juga mencintai si cowok tapi terlambat si cowok sudah pergi untuk selamanya.

Mia meletakan kembali novel itu, bergidik sendiri kemudian. Adegan dalam novel itu sama dengan yang terjadi padanya lebih dari dua tahun yang lalu. Gudang tua, diancam dan dikerumuni penjahat. Sama seperti tokoh utama cewek dalam novel itu, Mia juga melindungi sahabatnya dan orang yang menyelamatkan mereka juga sama-sama terluka. Bedanya, orang yang menyelamatkan Mia dan Tommy tidak mati.

Mia menggelengkan kepalanya, berusaha menepis bayangan Adrian dari otaknya. Ia menutup matanya namun lagi-lagi netra sewarna madu itu yang ia lihat. Tatapan cemas dan luka. Rasa bersalah dalam raut wajahnya. Adrian terlihat tersiksa dalam benak Mia.

Maaf Mia... Aku benar-benar minta maaf.

Ada rasa iba yang terus disangkal Mia. Hati Mia memang selemah itu. Ia tak bisa marah atau membenci seseorang berlama-lama apalagi kalau orang itu meminta maaf dan menunjukkan penyesalannya. Tapi kesalahan Adrian tidak kecil. Bagaimana dengan traumanya? Adrian sudah menorehkan luka pada batinnya. Bagaimana dengan adiknya yang tak jadi lahir ke dunia? Bagaimana dengan nini yang begitu sedih saat tahu kasus yang menimpa putranya? Nini yang terkena serangan jantung dan akirnya meninggal. Mia kehilangan dua orang tersayangnya. Semua itu gara-gara Adrian. Andai saja Adrian berkata jujur dan tidak memutar balikan fakta.

Lalu sekarang seenaknya saja laki-laki itu datang meminta maaf. Apa dengan maaf adiknya bisa kembali? Apa dengan maaf nini juga bisa hidup lagi? Bagaimana dengan nama baik papi? Selamanya papi akan dicap sebagai orang yang pernah masuk penjara. Bagaimana dengan mimpi buruknya selama ini? Ketakutan dan kecemasannya? Serangan paniknya? Enak saja! Mia tidak akan pernah memaafkan Adrian.

Sayangnya Mia juga sempat merasa bersalah pada Adrian. Dulu saat tahu penolongnya sampai gegar otak karena menyelamatkannya, Mia berpikir akan melakukan apapun sebagai ucapan terima kasih. Tapi Adrian malah mengusir dan memfitnahnya. Jahat sekali. Adrian tidak pantas menerima ucapan terima kasih. Mia tidak perlu merasa bersalah, meski Adrian menolongnya lagi, mengorbankan dirinya sekali lagi.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang