Malu setengah mati. Itu yang Mia rasakan saat ini. Kemana perginya rasa sedih dan frustasi yang membelenggunya beberapa hari belakangan ini? Bagaimana dengan rasa takutnya? Perasaan bersalahnya? Semua itu menguap atau mungkin terpinggirkan, terlupakan dalam hitungan detik sesaat setelah ia sadar dan membuka matanya.
Oh, awalnya ia masih merasa takut. Takut karena berada di ruang yang sama dalam jarak dekat dengan orang yang harusnya ia jauhi. Takut kehadirannya akan membawa ketidakberuntungan lagi. Takut kalau ia benar-benar bisa menghilangkan nyawa seseorang tanpa menyentuhnya sama sekali. Namun rasa takut itu sirna kala ia mendengar kata-kata yang keluar dari bibir pucat itu. Semuanya berfokus padanya, keadaannya, perasaannya, kenyamanannya. Kini yang tersisa hanyalah sesak, sedih hingga air matanya tanpa sadar mengalir. Isakan pelan pun berubah semakin deras seperti hujan yang ia terobos tadi saat pikirannya tidak waras.
Mia memang tidak waras, memutuskan untuk datang ke villa yang dulu sempat membuat Ivonne penasaran setengah mati, mengabaikan semuanya termasuk reaksi orang tuanya nanti. Pikirannya hanya satu, bertemu Adrian seperti yang selalu ia harapkan selama beberapa hari ini. Memastikan Adrian baik-baik saja meski saat mereka bertemu tadi pagi Adrian tampak baik. Mungkin Mia juga ingin bicara, menyampaikan sesuatu yang mengganjal pikiran dan benaknya selama ini. Mungkin Mia juga membutuhkan Adrian karena Mia tak mampu menahan sesak ini seorang diri. Mami, papi, tante Prita, Kirana tak dapat membantunya. Pun Ivonne, Nina atau Tommy. Meski ini berlawanan dengan logikanya, hatinya mengatakan ia harus kesini.
Jadi disinilah Mia berada sekarang. Di villa milik keluarga Arthadinata. Tempat ia pertama kali bertemu Adrian. Ingatan itu masih sangat jelas. Anak laki-laki yang bermain bola sendirian di halaman luas villa ini lalu gadis kecil yang mengintip dari luar karena ketertarikannya. Bukan cuma tertarik pada permainan bola yang dimainkan si anak lelaki atau rumah bergaya eropa bak istana dalam dongeng yang diimpikannya, tapi juga tertarik pada senyum ceria dan hangat tatapan mata coklat terang si anak lelaki.
Rasa takut itu menguap begitu saja. Hanya dengan menatap netra sewarna madu di hadapannya. Raut wajah lega dan senyum tipis itu membuatnya merasa hangat seperti dulu, seperti biasanya. Tubuh Mia bergerak sendiri. Tangannya menahan lengan yang ingin menjauh lalu tanpa sungkan dan berpikir lagi, tubuhnya mendekat, mendekap, mencari kenyamanan dan ketenangan yang selama ini tak bisa ia dapatkan dari pelukan mami atau papi.
Entah berapa lama waktu berlalu. Mereka hanya saling berpelukan, melepas penat, rasa sakit juga rindu tanpa sepatah kata. Air mata Mia masih mengalir deras. Ia menangis disana sembari hidungnya menghirup rakus aroma mint yang ia rindukan. Sesak itu perlahan terobati. Mia merasa lebih baik.
Tapi... Sekarang ia merasa sangat malu. Kalau bisa rasanya ia ingin berlari pulang saja tapi Mia bahkan tak bisa menggerakkan tubuhnya. Badannya terasa kaku karena terus diperhatikan. Sesekali Adrian tersenyum. Sesekali juga cowok itu mengambilkan apapun yang dibutuhkan Mia. Saus, garam, gelas, bahkan memotong daging steak yang disediakan untuk santap malam mereka. Mia tak menyangka kalau bi Euis, pengurus rumah ini menyediakan masakan ala barat ketimbang masakan sunda yang sering dimasak tante Prita dan mami di rumah.
Cream soup, baked potato, steak dan puding stroberi alih-alih puding coklat. Bagaimana bisa wanita itu menyiapkan semua ini dalam waktu singkat. Daging steak ini berukuran besar dan sepertinya dari kualitas terbaik. Mia yakin dia akan kekenyangan meski tidak makan nasi. Apalagi Mia tak pernah makan benar sejak beberapa hari kemarin, ia jadi seperti melampiaskan semuanya malam ini. Layaknya orang yang baru buka puasa dan di depannya terhidang banyak makanan enak.
Oh ini juga alasannya merasa malu, selain karena ia menggunakan sendok dan garpu untuk makan steak. Mia bukannya tidak tahu caranya atau terbiasa makan dengan cara itu. Ia hanya menghindari benda tajam dalam genggaman tangan kanan Adrian saat ini. Tubuhnya masih sering merasa menggigil tiap melihat benda itu. Menyedihkan! Makin banyak saja hal yang ia takuti kini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Teen FictionTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...