52. Dead Meat

77 1 0
                                    

Adrian meremas kuat botol air mineral yang isinya tinggal sedikit tanpa sadar. Netra sewarna madunya tak lepas mengikuti tingkah laku sang pujaan hati yang gugup di seberang meja sana. Mulai dari makan terburu-buru yang membuat Adrian khawatir gadis itu akan tersedak sampai kedatangan Tommy yang kelakuannya membuat darah Adrian mendidih karena kesal.

Dengan santainya, sang keyboardist Grey mengikat rambut Mia yang tergerai dan terlihat mengganggu dengan karet rambut yang entah berasal dari mana. Mia sempat terpana dan membeku dengan perlakuan manis namun pahit di mata Adrian itu. Ingin rasanya Adrian melemparkan botol kosong yang isinya sekarang sudah habis ia tenggak ke arah sepasang sahabat itu.

Tidak. Tommy saja yang dia timpuk. Mia jangan. Adrian tidak akan pernah tega pada gadis itu. Botol kosong itu benar-benar dilemparnya. Bukan ke meja di seberang sana tapi ke tempat sampah. Pada akhirnya dia tak sebodoh itu untuk memancing keributan. Adrian tak punya alasan untuk marah pun tak punya hak untuk protes. Mia bukan siapa-siapanya.

"Sabar bro." Eric mengusap bahunya seolah tahu apa yang ia rasakan.

"Gue cabut!"

Lebih baik pergi daripada kekesalannya bertambah. Jangan sampai dia kehilangan kendali diri. Kalau bukan Eric yang merengek minta diantarkan uang karena lupa membawa dompet, Adrian tidak akan menginjakkan kakinya di fakultas ekonomi.

Baiklah, Adrian memang sengaja. Eric bisa saja mengambil uang itu ke fakultas kedokteran. Toh Eric yang butuh. Adrian yang menawarkan diri untuk mengantar. Dia cuma ingin melihat Mia tapi malah berakhir terbakar api cemburu.

Sialan!

"Udah puas liatinnya?"

Sialan lagi! Lebih baik tak usah dijawab. Malas.

"Samperin dong, jangan cuma dilihat dari jauh."

Adrian hanya tersenyum, lebih tepatnya menyeringai. Lalu dengan gerakan cepat, Adrian meraih gelas milik Eric dan meminum habis es teh manis itu tanpa bersisa.

"Gue haus," dalihnya lalu buru-buru kabur sebelum diamuk sang sepupu yang mulai mengeluarkan sumpah serapahnya. Gelak tawa teman-teman brengsek Eric mengiringi kepergian Adrian sesudahnya.

Langkah kaki Adrian terhenti begitu seorang gadis terlihat berjalan dari arah berlawanan. Dengan santai, Adrian memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana panjangnya sembari mengulas senyum yang bisa membuat para gadis terserang diabetes. Gadis itu langsung salah tingkah, menunduk menghindari tatapannya.

"Lo bakal lapor ke Clara kalau lo lihat gue disini?" tanyanya tanpa basa basi pada gadis itu.

"Eng-enggak kak," jawab gadis itu gugup. Kepalanya masih menunduk meski sang gadis sempat juga mencuri pandang.

"Laporin aja. Jalanin tugas lo seperti biasa. Jangan sampai Clara curiga tapi ingat lo di pihak gue."

"Iya kak."

"Alright! Have a nice day Vira."

Tak menuruti saran Jo agar Vira sang mata-mata Clara dibereskan, Adrian justru menjadikan Vira berada di pihaknya. Berhadapan langsung dengan Clara bukan pilihan cerdas tapi dia juga tak bisa membiarkan Vira begitu saja. Jadi, ini adalah jalan tengah yang bisa diambilnya. Sang mata-mata berkerja untuk dua pihak. Tentu saja Adrian adalah pihak yang utama. Dia punya cara sendiri untuk memaksa Vira, tak memakai uang seperti yang dilakukan Clara dan Vira tak bisa menolak.

"Oh gue lupa. Lo gak macem-macem lagi kan?" Adrian kembali mengingatkan saat posisinya dan gadis itu berdampingan.

Vira menggeleng cepat terlihat ketakutan, gadis itu tahu pasti apa yang bisa Adrian lakukan sekiranya dia berani mengganggu orang yang berusaha Adrian lindungi.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang