Senyuman lebar menyambut Adrian begitu ia membuka pintu unit apartemennya.
"Akhirnya pulang juga. Betah banget sih disana." Eric langsung memeluk Adrian erat, terlalu erat hingga Adrian hampir tak bisa bernapas. "Jangan tinggalin gue sendirian lagi bro." Eric sepertinya benar-benar merasa kehilangan ketika Adrian tinggal di rumah sebulan kemarin.
"Bukannya lo seneng sendirian? Lo kan jadi bebas mau ngapain aja." Adrian menyeringai sembari mengangkat sebelah alisnya usai mengurai pelukan sepupunya.
"Gue kesepian tahu di rumah sendiri." Eric mengadu, menggerutu lebih tepatnya.
"Gara-gara siapa?"
"Gara-gara lo lah. Lo bikin perjanjian konyol sama om Surya."
Adrian memutar bola matanya. "Gara-gara siapa gue sampe bikin perjanjian konyol?"
"Mia?" Eric nyengir dengan polosnya. Adrian pura-pura melengos kesal. "Iya... Iya gara-gara gue. Puas lo?" Wajah Eric berubah masam seketika, membuat kekehan pelan Adrian pun lolos. Eric mendengus kemudian, sepertinya sadar kalau tadi Adrian cuma pura-pura marah.
Apa yang terjadi kemarin sudah tak penting lagi bagi Adrian. Sudah lewat, tak perlu menyalahkan Eric atau Clara, tak perlu juga menyesali keputusannya. Sekarang Adrian hanya bisa bersyukur dirinya bisa kembali ke apartemen. Dengan dalih apartemen Eric lebih dekat ke kampus dan kantor, ia diizinkan. Lagipula menghabiskan liburan semester di rumah itu bencana, membosankan. Toh Adrian akan tetap mengisi liburannya dengan bekerja, entah itu urusan kantor, Kafe atau Grey.
"Mia itu bukan siapa-siapa lo tapi lo rela ngorbanin hidup lo sendiri buat dia." Eric mengulurkan sebotol air dingin yang diambilnya dari lemari pendingin.
"Apaan sih?! Gue masih hidup, baik-baik aja. Apanya yang ngorbanin hidup? Kesannya kayak hidup gue udah ancur atau gue udah kasih nyawa gue buat dia." Adrian terkekeh geli, mengambil gelas dari rak cuci piring lalu mengisinya dengan air dingin dari botol yang tadi diberikan Eric. Dingin dari air es segera saja menyegarkan tenggorokannya yang kering.
"Sangkal terus! Kayak lo yang lagi denial sama perasaan lo sendiri."
Adrian menggelengkan kepalanya, terkekeh lagi.
"Lo amnesia kayaknya. Lo lupa pernah jadi tameng hidup buat dia?" Eric melirik ke arah pinggang kanan Adrian, mengingatkan Adrian pada insiden di gudang tua. "Gak sadar lo kalau nyawa lo bisa aja melayang saat itu."
Adrian berdecak. "Ya elah diungkit lagi. Kan gue udah bilang niat gue gak gitu. Apes aja gue."
"Apes melulu lo kalau sama dia. Ngeri gue lama-lama."
Adrian cuma tertawa menanggapinya.
"Jangan ketawa melulu lo. Gue serius nih! Hati-hati Yan... Feeling gue gak enak."
Adrian menghela napas pelan. "Tahun berapa ini Ric? Masih aja lo percaya sama yang begituan."
"Coba hitung, ada berapa bekas luka di badan lo gara-gara dia?" Eric menyilangkan kedua tangannya di depan dada, menatap serius ke arahnya.
Sialnya, otak Adrian secara otomatis mulai menghitung di dalam hati. Kening kanannya, pinggang kanannya, tangan kanannya dan sisi kiri perutnya. Empat. Okay... That's creepy.
"Empat!" Eric memperlihatkan keempat jarinya. "Nyawa lo tinggal lima berarti. Jaga baik-baik!" Lagi-lagi Eric menyamakannya dengan seekor kucing yang konon memiliki sembilan nyawa.
"Astaga! Nyawa gue cuma satu kali."
"Bener, tapi udah berulangkali nyaris hilang."
Adrian tergelak, mengingat sekilas kebiasaan buruknya dulu yang suka terlibat dan menyerempet bahaya. Babak belur dan terluka sudah biasa, membuat Clara panik dan marah-marah sesudahnya juga bukan hal baru. Adrian tidak bertindak sembarangan lagi sekarang. Dia berubah, memperbaiki hidupnya. Insiden kemarin pengecualian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Three Words
Ficção AdolescenteTrauma di masa lalu membuat Amelia Renata (Mia) menghindari apapun yang berhubungan dengan darah. Cairan merah mengerikan itu selalu membuatnya panik dan ketakutan. Maka ketika Adrian Arthadinata masuk dalam lingkaran pertemanannya, Mia berusaha men...