72. Here and Now (pt 1)

52 1 0
                                    

"Cocok mba, bagus kok."

"Masa sih? Muka gue jadi kusam deh. Gue tuh gak cocok pake warna pastel gini." Wanita yang tengah bercermin di sampingnya itu cemberut. "Lo enak Mel, kulit lo putih, badan lo mungil. Cocok pake apa aja."

Siapa bilang? Dirinya justru kadang kesulitan mencari pakaian. Kadang kepanjangan, kadang masih kebesaran. Jarang ada yang benar-benar pas. Apalagi mencari outfit buat bekerja. Kalau pakaian santai sih banyak tapi biasanya pakaian untuk remaja.

"Awet muda terus ya Mel. Gue dulu mikirnya lo mau magang lho, kirain anak SMK." Wanita yang telah menjadi rekannya selama dua tahun itu terkikik geli. Gadis yang dipanggil 'Mel' itu hanya tersenyum menanggapi. Yah, banyak yang menganggapnya begitu. Apa ini anugerah atau kutukan? Setelah bertahun-tahun berlalu, dirinya masih saja dianggap anak kecil. Masih ada saja yang bertanya 'sekolah dimana dek? Kelas berapa?'.

"Gue ambil ini ajalah." Sang wanita yang usianya di atas tiga puluh itu mengambil kemeja berwarna coklat muda. Lagi-lagi wanita itu lebih memilih warna-warna bumi, seperti yang selalu dipakainya selama ini.

"Mau kemana habis ini?" tanyanya usai membayar. Pusat perbelanjaan yang mereka kunjungi sore ini lumayan ramai, mungkin karena awal bulan.

"Toko buku mba." Gadis yang sekarang lebih suka dipanggil 'Mel' ketimbang 'Mi' itu menjawab.

"Pasti deh, kalo lo mah." Mel atau panjangnya Amelia menampilkan gigi putihnya yang berbaris rapi. Si mba sudah hapal betul kesukaannya.

"Udah mba belanjanya?" Dua wanita lain muncul.

"Udah nih." Si mba menunjukkan kantong belanjanya. "Mel mau ke toko buku katanya."

"Ya udah yuk, gue juga mau cari novel." ujar wanita satunya.

Mereka, empat wanita dengan usia tak sama melangkahkan kaki ke tempat kedua favorit di salah satu mal terbesar di Jakarta. Terkadang mereka suka mampir ke mal, mencoba kafe atau restoran baru usai bekerja terutama di awal bulan saat rekening mereka terisi penuh.

Hidup telah begitu baik pada Mia selama enam tahun ini. Patah hati, putus kuliah, meninggalkan rumah dan sahabat-sahabat terbaiknya, setahun pertama menjadi tahun yang berat bagi Mia dan keluarganya. Meninggalkan kenyamanan, rutinitas yang sudah melekat lalu menata kembali, mengulang semuanya dari awal tidaklah mudah. Papi membuka usaha bersama om Saka, suami tante Prita. Mami, dengan keahliannya membuat kue dan memasak juga ikut mencari uang sementara Mia harus beradaptasi lagi dengan kampus barunya. Yah untunglah dia tidak benar-benar putus kuliah. Mia bisa kembali mengenyam pendidikan tinggi meski bukan di kampus ternama dan sedikit terlambat selesai dibanding teman seangkatannya dulu.

Menetap di Bandung? Tidak. Papi mengubah rencananya. Mereka tinggal di pinggiran Jakarta, di rumah yang sempat dicicil papi dari hasil kerja kerasnya selama ini. Papi tak sudi tinggal di rumah yang bukan dibeli dari uangnya sendiri meski rumah itu adalah bekas rumah milik orang tuanya dulu. Papi juga tak masalah harus bolak balik Jakarta-Bandung demi mengurus bisnisnya. Rumah atas nama Mia yang sudah ditebus Adrian itu akhirnya didiamkan begitu saja. Oh, tentu Mia sangat kaget saat diberitahu kalau rumah yang dulunya sempat menjadi milik ceu Endah itu kini menjadi miliknya. Pemberian tak terduga itu menambah tumpukan rasa bersalahnya. Membuatnya gamang dan seringkali menyesali keputusan yang pernah diambilnya. Terlambat. Mia tak bisa kembali. Mia harus menerima konsekuensi dari ketidak beranian dan kebodohannya sendiri.

Aroma buku baru menyeruak ketika Mia menginjakkan kakinya ke dalam toko buku yang tak banyak berubah sejak jaman ia kuliah dulu. Mia selalu menyukai aromanya, seperti aroma terapi yang membuat rileks. Kenangan manis bersama lima sekawan berkelebat begitu saja, membuat Mia reflek menggelengkan kepala, mencegah serbuan emosi yang membuat sedih dan rindu merusak hari ini. Sementara itu ketiga rekannya sudah menghilang entah kemana, mungkin menuju spot favorit masing-masing.

Just Three Words  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang