32 – DON’T DOUBT HIS FEELINGS
***
SETELAH SAMPAI di New York pukul setengah tiga siang, sore harinya Nicholas menelepon Vannesya, mengatakan jika kakeknya mengajak mereka bermain golf bersama. Dan di sinilah Vannesya berada, lapangan golf mewah yang hanya bisa disewa oleh kalangan-kalangan atas.
Dikatakan mewah, karena dari arah lapangan bisa melihat view laut yang indah. Jarak antara lapangan golf dan pantai terdekat memang agak jauh, akan tetapi letak lapangan yang berada di dataran tinggi membuat pemandangan lautan yang indah bisa dilihat dari lapangan sini. Hal yang membuat banyak kaum elite tertarik untuk datang dan menyewa lapangan golf tersebut untuk dijadikan tempat bersantai dan berkumpul di akhir pekan.Kata Nicholas, lapangan golf mewah tersebut adalah milik William Willson. Awalnya hanya merupakan arena atau tempat bermain golf yang dibuat oleh William khusus untuk keluarga serta kerabat atau teman terdekatnya. Akan tetapi, selama lima tahun terakhir, lapangan golf ini dibuka untuk umum. Dan di beberapa tempat direnovasi kembali agar lebih menarik. Di lokasi yang sama juga dibuat restaurant yang langsung mengarah pada pemandangan laut.
Sesampainya Vannesya dan Nicholas di sana, ternyata yang menunggu mereka bukan hanya William Willson, melainkan ada Nicole dan Jake yang juga berada di lapangan golf. Mengenakan pakaian sporti berupa rok lipit putih sebatas paha dengan aksen hitam tepat di ujung bawah, kaos putih berkerah, topi, serta sepatu kets—yang semuanya berwarna putih dan bermerek Nike—Vannesya disambut ramah oleh William yang baru saja memukul bola golf.
Pria tua yang masih sangat berwibawa itu memeluk Vannesya dengan hangat. Vannesya menyambutnya dengan agak canggung. Akan tetapi dengan pembawaannya yang tenang, tidak terlihat kalau wanita muda ini merasa gabir dengan perlakuan William Willson kepadanya.
“Apa kabar, Kakek?” tanya Vannesya, setelah William melepas pelukan mereka. Vannesya bukan hanya bertanya demi basa-basi semata, tapi ia benar-benar ingin menanyakan kabar dari pria tua yang berstatus sebagai kakek Nicholas ini.
“Seperti yang kau lihat, baik dan sehat.” William tersenyum lembut. “Bagaimana liburanmu dengan Nick? Apa dia membuatmu bahagia?”
Awalnya Vannesya merasa terkejut karena William tahu ia dan Nicholas baru saja pulang dari California. Tapi setelah mengingat kembali jika mereka berangkat ke sana dan pulang menggunakan pesawat jet pribadi milik keluarga Willson, itu bukan lagi hal yang mengejutkan. “Aku bahagia, Kek. Cucu Kakek memperlakukan aku dengan sangat baik.” Karena pembawaan William yang tenang dan hangat, Vannesya tidak lagi merasa canggung. Sikap William kepadanya hampir sama dengan sikap Dalton—kakeknya.
“Baguslah. Akan sangat sia-sia, jika aku membiarkannya menggunakan fasilitasku, tapi dia tidak bisa membuatmu bahagia.”
Nicholas yang mendengar sindiran kakeknya, merotasi bola matanya dengan malas. Ia mengambil tas jinjing Vannesya, kemudian meletakkannya di atas meja. “Kakek bicara seolah-olah aku adalah pria yang tidak bertanggung jawab. Lagipula, daripada bertanya apa Vannesya bahagia selama di California, apa Kakek tidak penasaran jika saat ini kami masih lelah dan langsung diajak bermain golf? Ayolah, Kek, ini bahkan baru satu jam setelah kami sampai di New York.”
KAMU SEDANG MEMBACA
ENVELOVE [COMPLETE]
Teen FictionKarena kasus bullying, Vannesya Morris dipindahkan ayahnya ke New York. Vannesya mengira kehidupan barunya di Negeri Paman Sam tersebut akan membawa perubahan yang signifikan. Menjadi anak sekolahan yang baik dan tidak peduli dengan kehidupan New Yo...