67 – CALLA LILY
***
SEBENARNYA TUJUAN Vannesya setelah ia pulang ke rumah Catalina Morris adalah langsung naik ke lantai dua. Beristirahat. Hal yang ia lalui hari ini terasa melelahkan baginya, pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian impulsif yang dia lakukan kepada Nicholas tadi. Perkataan panjang lebar yang dikatakan Dylan sebelum ia pulang menambah beban di otaknya.
Selama Vannesya mengenal Dylan, bisa dihitung pakai jari berapa kali ia berbicara dengan Dylan. Dylan yang selama berbicara dengannya tidak mengeluarkan banyak kalimat, namun tadi, Dylan benar-benar bicara panjang lebar. Dan sekalinya pria itu bicara panjang, kalimat demi kalimat yang dia utarakan, benar-benar menapuk sisi terdalam dari perasaan Vannesya yang coba ia tutupi.
“Bukan Nick yang menipu perasaannya kepadamu. Tapi kau yang menipu perasaanmu sendiri.”
“Kenali hatimu, Vannesya.”Dylan benar.
Vannesya bukan tipe orang yang tidak mau menerima masukkan. Perkataan Dylan kepadanya tadi, sedikit banyak ia membenarkan. Akan tetapi, tetap saja, Vannesya belum bisa menerima Nicholas. Marah kepada Nicholas itu sudah pasti. Kecewa kepada pria itu apalagi.
Dylan memang benar, tapi perkataan Dylan belum bisa membuatnya memaafkan Nicholas. Sisi terdalam di hatinya masih melawan, membenarkan bahwa apa yang ia lakukan saat ini sudah benar—menjauh dari Nicholas.
Satu kalimat panjang yang selalu ia tanamkan—jika Nicholas tidak berakhir mencintainya, ‘balas dendam’ itu pasti akan tetap terjadi. Dan lagi, Vannesya merasa sangsi, mempercayai Nicholas mencintai ia sebagai ‘Vannesya’ bukan karena pria itu yang melihatnya mirip dengan Juliet.
Kehadiran seseorang yang menghadirkannya ke dunia ini buat langkah Vannesya memelan ketika ia sampai di rumah Catalina Morris. Edward Morris—ayahnya yang duduk di ruang tamu, buat ia yakin bahwa sebentar lagi akan ada satu masalah yang akan menambah satu perkara lagi yang memusingkan otaknya.
Sungguh, setiap kali berhadapan dengan ayahnya sendiri, bukannya merasa bahagia dengan saling memeluk seperti anak perempuan lain kepada ayahnya, Vannesya merasa setiap kali ia bertemu dengan Edward Morris akan ada satu beban lagi yang harus ia galas.
Mencoba untuk bersikap sopan—karena bagaimanapun, Edward adalah ayahnya—Vannesya memilih untuk menyapa Edward. Meskipun sapaannya ia lakukan dengan sambil lalu, tetap berjalan sembari mengatakan, “Sore, Dad.”
Akan tetapi, Edward melakukan hal sebaliknya. Dia tidak membiarkan Vannesya pergi begitu saja. “Bagaimana? Sudah tahu kebodohanmu?”
Tiga langkah lagi menuju tangga, Vannesya berhenti jalan. Memutar badan, menghadap ayahnya yang kini tersenyum ganjil kepadanya.
Tidak perlu bertanya kenapa Edward tiba-tiba ada di New York, Dalton—kakeknya sudah beberapa hari ini sakit, dan tidak mau dirawat di rumah sakit. Dan ayahnya datang pasti untuk ikut membujuk agar kakeknya mau dibawa ke rumah sakit. Daripada anak kandungnya—Edrick, Dalton memang lebih dekat dengan Edward. Mungkin saja ayahnya ini bisa membujuk kakeknya agar mau dibawa ke rumah sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
ENVELOVE [COMPLETE]
Teen FictionKarena kasus bullying, Vannesya Morris dipindahkan ayahnya ke New York. Vannesya mengira kehidupan barunya di Negeri Paman Sam tersebut akan membawa perubahan yang signifikan. Menjadi anak sekolahan yang baik dan tidak peduli dengan kehidupan New Yo...