65 - DON'T BOTHER HER

13.8K 850 60
                                    

65 – DON’T BOTHER HER

“SYA….”

“Hello, Vannesya!”

Vannesya mengerjab, kembali menatap ponselnya yang ia sanggah di depan kaca meja riasnya. Meringis ketika mendapati orang yang ada di balik panggilan video call sana memandanginya dengan sengit.

Pukul satu dini hari tidak membuat Vannesya mengantuk ketika berbicara dengan Gerald—orang yang saat ini masih menatapnya dengan tatapan yang sama, namun kali ini ada campuran raut keheranan di mata Gerald. Karena untuk panggilan yang ketiga, atau bahkan mungkin yang keempat, Vannesya tidak juga merespon. Padahal dia telah berbicara panjang lebar.

Pukul satu dini hari di New York sama dengan pukul satu siang di Jakarta, Gerald mungkin mengira jika Vannesya melamun karena mengantuk. Tapi, dia telah mengenal Vannesya di sepanjang usianya hingga saat ini, sehingga Gerald tahu tingkah diam Vannesya yang cenderung melamun sekarang bukan karena wanita muda itu sedang mengantuk, melainkan ada yang mengganggu pikiran sahabatnya ini—ya, sahabat. Karena hari di mana Vannesya pamit untuk pindah ke Benua Amerika sana, Vannesya kembali menjadi sahabatnya.

Siapa yang bilang jika dua orang berjenis kelamin berbeda tidak bisa menjadi sahabat tanpa melibatkan perasaan?

Nyatanya Gerald dan Vannesya bisa demikian. Mereka telah mengenal dari bayi, mempunyai usia yang sama, lantas menjadi sahabat tanpa melibatkan perasaan romantisme. Meskipun Vannesya pernah memusuhi Gerald karena suatu kesalahpahaman, tapi kini mereka kembali menjadi dua orang yang saling berbagi cerita.

Karena dari dulu, sebelum ia mengenal Sisil, Vannesya suka bercerita apa saja kepada Gerald. Orang-orang menamainya dengan ‘curhat.’

“Ya? Sorry, sorry. Tadi lo ngomong apa?”

Di seberang sana, Gerald menghela napas pendek, mendengar jawaban Vannesya yang sudah bisa dia tebak. Vannesya tidak memperhatikan apa yang dia katakan. “Are you okey?” Daripada mengulang kembali apa yang dia katakan tadi, Gerald memilih untuk menanyakan hal yang berkaitan dengan perasaan sahabatnya.

Helaan napas panjang lolos dari mulut Vannesya. “Gue udah tahu di mana dia, Ger.”

Vannesya memang tidak menyebut satu nama secara spesifik, namun dari cara wanita itu mengatakannya dengan durja yang getir, otak Gerald segera memikirkan satu nama. Yang tanpa mereka berdua sebut, baik Vannesya dan Gerald sama-sama tahu siapa orang yang dimaksud. Maka Gerald hanya meresponnya dengan dua kata. “Di mana?”

“He is die. He is died, Ger. Mati dalam artian benar-benar meninggal.”

“Wait, wait. Tunggu dulu.” Ucapan Vannesya yang dikatakannya dengan penuh sentimen itu, membuat Gerald sampai harus mengangkat sebelah tangannya di depan layar HP agar Vannesya berhenti bicara.

Gerald memang tidak terlalu menyukai si dia yang kata Vannesya telah mati itu. Tapi—tentu saja, hal ini cukup membuatnya terkejut. Si dia yang sampai membuat Vannesya memusuhinya ini adalah orang yang dulu—entah sampai sekarang—teramat spesial bagi Vannesya. Cinta pertama dalam jangka waktu lama akan selalu membekas, Gerald telah merasakannya.

“Ceritakan dari awal. Why? Maksud gue—lo tahu dari mana? I mean, lo udah lama, kan, nggak pernah tahu lagi kabar dia. Terus, lo tahu dari mana kalau dia udah—ehm, mati?”

Vannesya menatap Gerald sesaat. Sahabatnya ini adalah saksi di mana ia patah hati karena seorang pria. Bahkan Gerald, turut andil dalam hal patah hati itu. Meskipun tidak dilakukannya secara langsung, dan tidak ada maksud untuk menyakitinya, Gerald tidak suka ia menjalin hubungan dengan si dia.

Ah, bahkan hatinya pun kini begitu enggan menyebut nama itu. Grey William, yang ternyata bernama asli Romeo Grey Willson.

Mengalirlah cerita Vannesya mengenai Romeo. Ia menceritakan semuanya kepada Gerald dari awal. Mengenai siapa Grey sebenarnya, apa tujuan pria itu datang ke perusahaan ayahnya sebagai karyawan magang, sampai cerita kepada Nicholas yang masih saja meninggalkan bekas pedih di hatinya ketika ia mengingatnya kembali.

ENVELOVE [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang