43. HARI KELAHIRAN DAN PERISTIWA

218 33 1
                                    

Jangaann lupaaa votee, komen jugaa hihiii thankyouu❣️

Semogaa makin suka sama cerita inii yaaa, Aamiin<3

HAPPY READING!

43. HARI KELAHIRAN DAN PERISTIWA

Jerman, pukul tujuh malam lewat sepersekian menit. Di salah satu ruangan rumah sakit lantai atas sana, terdapat seorang pria paruh baya dan Henny yang merupakan pasien itu terbangun dari tidurnya karena merasa bagian tenggorokannya begitu nyeri.

Tubuhnya yang sangat kurus nan ringkih itu berjam-jam terbaring lemas di brankar. Dari balik alat ventilator yang berfungsi untuk membantunya bernapas, Henny berusaha mengeluarkan suaranya.

"Hei." Serak, pelan, nyaris tak terdengar karena tidak jelas. Namun, Hery yang semula memejamkan matanya di sofa itu langsung menegakkan tubuhnya, lalu bangkit mendekati Henny.

"Ada apa? Butuh sesuatu?" tanya Hery dengan pelan, agar mudah dimengerti.

"Jam tanggal," ujar Henny setelah beberapa saat.

Pria paruh baya itu mengangguk, paham. Lalu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.

"Jam tujuh malam lebih lima belas menit. Tanggal 26 September kalau di sini." Hery berujar, mengeja.

"Indonesia," kata Henny, lagi.

Pria paruh baya itu lantas berpikir sejenak. Ia mengerti dengan apa yang di maksud. Karena, bukan sekali dua kali Henny bertanya hal tersebut.

"Kalau di Indonesia, sekitar jam 1 dini hari, tengah malam. Sudah berganti hari. Berarti, di sana tanggal 27 September."

Wanita paruh baya dengan kupluk di kepalanya itu mengerjap, mencoba memahami. Selang beberapa detik, bibir pucatnya membentuk lengkungan tipis, dibarengi sudut matanya yang tergenang cairan bening.

"Teringat Reval?" tebak Hery sudah tahu. "Dia di Indonesia sana baik-baik saja. Tidak lama lagi dia lulus sekolah. Kamu harus bertahan demi dia."

Tidak ada jawaban apapun. Henny menghembuskan napas pelan secara perlahan. Hembusannya itu terasa berat dan susah. Hery dapat melihat kerinduan yang begitu lekat dalam pancaran kedua bola mata wanita paruh baya tersebut.

Selanjutnya, Hery berinisiatif merogoh saku celananya—mengeluarkan benda pipih miliknya, mengotak-atiknya sejenak. Lalu, diarahkan kepada Henny.

"Ini foto anakmu," beritahu Hery. "Di sebelahnya itu ada Raka, anak saya, keponakan kamu. Reval di Indonesia bahagia, sehat."

"Tapi, dia tetap butuh kamu sebagai bundanya," imbuhnya menjelaskan.

Henny mengangguk, menatap layar ponsel itu begitu lekat dengan senyumnya. Di sana, terlihat foto Reval dan Raka yang diambil oleh Widya ketika dua anak lelaki itu menerima raport, beberapa bulan lalu.

Dirasa cukup, Hery pun menjauhkan benda pipih itu. Disusul dengan Henny yang kembali bersuara.

"Surat."

Kali ini, Hery menatap wanita paruh baya itu dengan kerutan di dahinya, bingung. Ini pertama kalinya setelah dua tahun Henny mengucapkan kata tersebut. "Surat? Aku tidak mengerti."

Tangan kanan Henny yang gemetar itu terangkat. Menunjuk ke arah dada Hery, tepatnya di bagian saku kemeja yang dikenakan oleh pria paruh baya tersebut.

Lantas Hery pun menyentuh sebuah bulpoin yang tergantung pada saku kemejanya, lalu menariknya. Dan di saat itu juga ia mulai mengerti.

"Kamu ingin membuat Surat? Untuk Reval?" tebak Hery, yang langsung diangguki oleh wanita paruh baya tersebut.

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang