59. JATI DIRI YANG HILANG

186 24 1
                                    

Jangaann lupaaa votee, komen jugaa thankyouu❣️

Semogaa makin suka sama cerita inii yaaa,
Aamiin<3

HAPPY READING!

59. JATI DIRI YANG HILANG

Luka yang tak akan kunjung sembuh itu adalah ketika harus dipaksa ikhlas dan menerima kematian orang tua di saat proses beranjak dewasa.
—Reval Rahandhika

****

Esok harinya, di waktu yang masih pagi-pagi buta. Raka yang sudah berpakaian rapi itu bersiap keluar dari kamarnya. Namun, langkah kakinya tertahan di ambang pintu.

Raka membuang napas pelan. Gue nggak pernah nyangka kalau bunda lo bener-bener pergi secepat ini, Val, batinnya. Tak bisa bohong, Raka pun sangat terpukul dengan kematian Henny sebagai tantenya yang sudah ia anggap layaknya orang tuanya juga.

Percayalah, Raka belum tidur sampai pagi ini. Sepanjang malam ia menaruh khawatir kepada Reval. Memikirkan jalan keluar dari semuanya. Juga merasa bersalah kepada satu sahabatnya tersebut.

"Lo harus tetap baik-baik aja, Val," monolognya.

Setelahnya, Raka pun segera menuruni tangga sekaligus ia juga akan menemui Hery. Karena, ada sesuatu hal yang ingin Raka bahas bersama ayahnya itu.

Suatu kebetulan, seorang pria paruh baya terlihat keluar dari ruang kerjanya. Sehingga langsung mengalihkan perhatian Raka yang juga baru sampai di bawah.

"Yah." Raka berjalan mendekat menghampiri.

"Ada apa, Ka?" tanya Hery ketika putranya itu telah berada di hadapannya. "Ada kabar tentang Reval?"

"Belum. Tapi, Raka yakin Reval sempat pulang ke rumahnya tadi malam," jawab Raka mencoba berpikir positif. "Jangan khawatir." lanjutnya seraya mengusap lengan Hery sesaat.

Pria paruh baya itu mengangguk. Dengan raut wajahnya yang masih setia tampak tidak tenang. "Bunda kamu nggak tidur semalaman, Ka."

Sontak Raka sedikit terkejut. "Kalau gitu biar Raka yang mau nenangin, Yah. Sekarang bunda di mana?" tanyanya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling.

"Udah, nggak perlu. Bunda kamu baru aja tidur, itupun ketiduran," larang Hery.

Raka lantas memberi anggukan, mengiyakan. "Baguslah."

"Raka mau tanya soal masalah sekolah. Soal kelulusan Reval," imbuh Raka begitu teringat tujuan utamanya menemui sang ayah.

"Kemarin pagi, Ayah udah menemui wali kelas kamu, Ayah juga udah jelaskan semuanya," balas Hery.

"Terus gimana? Masih bisa di toleransi, kan?" Raka bertanya sedikit antusias, di sela-sela ekpresi datarnya.

Hery mengembangkan senyuman tipisnya, tangannya terulur memegang bahu Raka. "Intinya aman. Kamu dan anak-anak Vincenzo yang lain jangan terlalu fokus dengan kelulusan Reval, itu sudah Ayah urus."

"Percayakan kepada Ayah," imbuh pria paruh baya itu lebih meyakinkan.

Tak banyak bertanya dan tanpa melanjuti lebih panjang, Raka memilih mengangguk samar. Setidaknya, sedikit melonggarkan suasana hatinya. "Raka percaya sama Ayah."

"Kamu nggak sekolah?" tanya Hery. Pria paruh baya tersebut baru menyadari bahwasanya Raka tak mengenakan seragam sekolahnya.

"Nggak, udah izin. Raka sama anak-anak yang lain rencananya mau urus satu hal lagi." Menggantungkan kalimatnya, Raka membuang napas gusar. "Tentang hubungan Reval yang emang jauh dari baik-baik aja."

STRUGGLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang