Happy reading-!!
.
.
.
.
Gelap dan sunyi menyelimuti ruangan ini. Hujan pagi ini mengguyur kota Jakarta dengan derasnya seakan mendukung perempuan yang meringkuk di atas kasur itu untuk menangis lebih keras.
Bulir bening mengalir deras membasahi pipi dan pelipis Freya, enggan untuk berhenti. Isak tangis itu terdengar memilukan. Perempuan itu memeluk tubuhnya sendiri yang bergetar hebat.
Untung saja kamarnya kedap suara, jadi tak akan ada yang mendengar jika dia sedang menangis. Puluhan notifikasi pesan serta panggilan tak terjawab dari Alga, hanya diabaikan oleh Freya. Perempuan itu sedang tak ingin berbicara dengan laki-laki yang sudah merusaknya.
Freya meraih bingkai foto di atas nakas dan mengusap wajah pria yang tersenyum lebar di sana. Jemarinya bahkan sampai gemetar.
"Freya gagal, Pa. Freya enggak bisa jaga diri. Freya udah rusak. Freya dirusak sama laki-laki yang Freya anggap bisa jaga Freya, Papa." Gadis itu menangis sesenggukan mengadu pada Ayahnya.
Ia peluk erat bingkai foto itu dengan air mata yang terus mengalir tanpa jeda. Lelah menangis, Freya tertidur dengan mata bengkak.
Waktu terus berjalan, hingga pada malam hari pukul tujuh, Freya terbangun dari tidurnya. Dia mengecek jam pada ponselnya, kemudian mengucek pelan matanya. Mata bengkak itu menatap kosong pada langit-langit kamarnya.
Freya dikejutkan dengan suara pintu kamarnya yang terbuka tiba-tiba. Ia menoleh ke kanan dan mendapati Gilang berdiri di sana dengan menenteng kantong plastik hitam di tangan kirinya. Ia tersenyum lebar pada Freya, namun gadis itu tak membalas senyumannya.
"Gue bawain snack nih buat lo." Ujarnya seraya menutup pintu.
Freya mendudukkan dirinya, dan Gilang duduk di tepi kasur dengan kaki yang dilipat. Mata laki-laki itu menyipit kala melihat mata bengkak Freya.
Ia berujar, "lo abis nangis?"
Tak ada jawaban. Lantas laki-laki itu menangkup kedua pipi Freya agar perempuan itu menatapnya. "Lepasin." Ucap Freya pelan seraya menepis tangan Gilang.
"Dipukul Tante Sherina lagi?" Gilang bertanya. Ia tak akan berhenti sampai Freya menjawabnya.
"Bukan." Jawab Freya. Ia memandang ke arah lain, enggan menatap wajah Gilang.
"Terus kenapa, Frey?" Tanya Gilang. "Siapa yang bikin lo nangis? Siapa yang nyakitin lo? Bilang ke gue, Freya."
Tanpa menoleh, perempuan itu menjawab, "bukan urusan lo, Gilang."
"Urusan gue. Siapapun yang berani bikin lo nangis, berurusan sama gue." Sahutnya.
Freya menghela napas. "Can you stop? Gue lagi enggak pengen bahas ini."
Gilang diam dengan mata yang terus menatap Freya yang enggan menatap matanya. Sepupunya ini selalu saja menyimpan masalahnya sendiri tanpa mau menceritakan padanya.
Laki-laki itu menghembuskan napas pelan. "Oke, gue pulang kalo gitu. Take your time, Frey."
Freya tak menjawab maupun menoleh pada Gilang. Perempuan itu hanya diam dengan pikiran yang berkecamuk di kepalanya. Hingga Gilang keluar dari kamarnya, barulah Freya menatap ke arah pintu yang sudah tertutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALGANTARA
Teen Fiction"Kenapa badai dateng ketika gue udah jatuh sama dia." -Freya "Gue benci kalo liat wajah lo, tapi gue rindu saat lo nggak ada di samping gue." -Algantara Antara cinta, benci dan dendam yang harus mereka hadapi. Begitu banyak masalah yang menghampiri...