Chapter 71

6.2K 719 109
                                    

Sorry for any typo(s)

__________________________________

"Kak, kau ... serius?"

"Bawa saja kopermu, Bels," ujarku tanpa menoleh pada Bels. "Kita berangkat satu jam lagi. Jangan sampai tertinggal pesawat atau Bi Jeanny akan menyuruhmu memanen kebun apelnya sendirian."

Bels menggerutu, namun ia tetap membuka pintu taxi, mengikuti apa yang kulakukan. Setelah membayar, aku dan Bels berjalan ke dalam bandara. Adikku yang satu ini jelas sekali terlihat murung. Tapi aku tidak bisa melakukan apa pun untuk membatalkan niatku ke New York. Lagi pula, memang ada yang harus kuselesaikan di sana.

"Jadi, kau rela menjual mobilmu hanya untuk menemui Jeanny?" tanyanya saat kami sudah sampai di ruang tunggu.

"Aku tidak mungkin membawa mobil untuk menyebrangi benua," jawabku datar. "'Lebih baik dijual dan membeli yang baru. Selesai."

Bels memutar bola matanya lalu mengeluarkan ponsel. Ia terlihat menghubungi sesorang. Mungkin temannya. Entahlah, aku sendiri merasa tidak enak padanya karena harus memaksanya pindah sekolah. Hal yang berat memang, tapi haruskan aku meninggalkan ia di sini? Tidak mungkin. Bels sama sekali belum bisa mengurus diri sendiri. Aku bahkan tidak percaya padanya jika ia ingin praktek masak di dapur. Karena, dulu Bels pernah hampir menghanguskan dapur kami sewaktu membuat kue.

"Aku kemarin punya kenalan baru," ujarnya tiba-tiba.

Aku yang sedang terdiam pun menoleh. "Laki-laki atau..."

"Perempuan," gumam Bels cepat.

"Lalu?" aku mengangkat alis, merasa tidak biasa dengan sikapnya sekarang. Bels kurang suka menceritakan teman-temannya kecuali kalau hal itu mendesak.

"Namanya Safaa," ia menerawang ke depan. "Safaa Malik. Kurasa kau mengenalnya?" tanya Bels sambil tersenyum sok tidak bersalah.

"Kalian bertukar nomor ponsel?" ujarku mengabaikan ucapannya. Meskipun sejujurnya aku sangat terkejut dengan apa yang barusan ia katakan.

"Sayang sekali ... tidak," Bels memberengut. "Safaa terburu-buru pulang. Padahal kalau aku punya kontaknya, aku bisa mengorek informasi tentang kakaknya."

Aku menghela nafas lega ketika mendengar peryataannya. Paling tidak, mereka hanya bertemu dan tidak bertukar nomor telepon. Aku juga sangat bersyukur bahwa Bels tidak terlalu tergila-gila pada sosial media, sehingga kesempatannya untuk bisa menghubungi Safaa sangatlah tipis. Lagi pula, semenjak ponselku yang hilang, kami jadi tidak sering menghubungi orang.

Aku hanya menitipkan pesan pada tetangga Liz tentang kepergian kami ke USA. Liz tahu tentang Bi Jeanny meskipun ia hanya kuceritakan mengenai wanita itu ketika Bibi masih ada di Finlandia.

"Kak, bagaimana kalau Zayn ke sini dan meminta kita tidak pergi?"

"Tidak mungkin, ia sudah mening-" aku menahan kata itu terlepas dari mulutku, lalu memanglingkan pandangan ketika Bels menyipitkan matanya.

"Tidak mungkin, Bels. Ini dunia nyata, bukan seperti film-film yang kau tonton." Gumamku membuatnya tidak kembali bertanya.

Benar bukan apa kataku? Ini dunia nyata yang rumit. Kita tidak bisa menyelesaikan permasalahan semudah apa yang ditayangkan di layar kaca. Di sana memaafkan sangatlah mudah asal kau diberi benda kesukaanmu. Tapi di dunia nyata tidak. Mana ada barang pecah yang bisa diperbaiki seperti saat barang itu masih utuh? Pasti ada saja bekasnya.

Pada layar kaca kau bisa pura-pura salah mengirim pesan lalu orang yang kau suka akan menyambutnya dengan baik. Setelahnya kalian akan sering berkirim pesan dan berlanjut ke tahap selanjutnya. Tapi, di realita tidak akan semudah itu. Bisa saja orang yang kau suka hanya membaca pesanmu tanpa membalasnya. Bisa saja ia membalasnya dengan perkataan singkat. Atau yang lebih sering, mereka akan mengabaikannya.

Protect You || Malik [au]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang