Chapter 27

8.5K 918 15
                                    

“Kak, please…” rengek Bels untuk ke sepeluh kalinya.

Menghembuskan nafas lelah, aku pun menoleh padanya. “Besok kau ujian Bels” ujarku seakan-akan kalimat itu sudah menjelaskan cukup banyak hal kepadanya.

Bels mengerang, “Iya iya, aku tau”dia mengecek jam tangannya dan kembali menoleh padaku. “Aku janji, tidak akan pulang malam seperti dulu” rayunya lagi.

Aku memandanginya yang masih tetap berusaha merayuku agar mau mengijinkannya keluar. Keluar dalam arti bersenang-senang dengan teman-temannya. Jujur saja, aku sama sekali tidak keberatan dengan itu. Tapi terakhir kali Bels melakukan itu, dia pulang sangat malam sehingga membuatku  dan Liz sangat cemas. Terlebih saat itu dia setengah mabuk.

Kalian ingat bukan jika aku sangat membenci alkohol?

“Tidak boleh mabuk” ucapku tegas. Bels mengangguk.

“Tidak akan pulang malam” ucapku lagi. Bels mengangguk lagi.

“Tidak boleh bersama teman lelaki, tidak boleh membuatku cemas, tidak boleh mengendarai motor atau mobil sendirian, tidak boleh-“

“Ba-ik-lah Kak” potong Bels cepat, dia memutar bola matanya.

“Asal kau tau, tidak ada teman lelaki nanti. Dan aku akan menumpang mobilnya Zoey kau tidak perlu cemas,” jelasnya. Dia lalu kembali mengecek jam tangannya, sedikit berdecak lalu beangkit dari sofa. “Aku pasti sudah di tunggu oleh mereka di bawah. Tenang saja Kak, aku akan menuruti semua apa yang kau mau. Untuk ujian besok, aku sudah belajar sejak pagi. Sekarang, ijinkan aku keluar?”

Aku berdiri mengimbanginya, walaupun sedikit ragu aku tetap memperbolehkannya keluar. Aku tau, mengekangnya bukanlah hal  yang baik.

Dengan itu, aku berjalan beriringan Bersama Bels sampai pintu apartemen. Sebelum dia keluar, aku mengingatkannya sekali lagi akan semua laranganku. Dia hanya mengangguk tidak sabaran, sesudahnya dia pergi dengan langkah lebar seolah-olah takut jika aku akan berubah pikiran dan tidak mengijinkannya keluar. Dasar anak itu.

Sebelum menutup pintu, aku melihat Zayn yang baru saja keluar dari lift. Namun belum sampai melihatku dia di hampiri oleh seorang petugas apartemen, mereka berbincang sehingga Zayn masih di situ.

Saat aku masuk kembali ke apartemen, tiba-tiba aku teringat akan satu hal. Aku ingat bahwa aku belum mengembalikan jaketnya yang dulu sempat di pinjamkan padaku, dan jaket itu sekarang sudah terlipat rapi di lemari kamarku.

Karena itu, aku pun melesat masuk ke dalam kamar dan mencari jaket yang ku maksud. Aku tersenyum kecil saat menemukannya, aku teringat saat aku akan mencuci jaket ini. Saat itu aku tidak sengaja mendekap jaketnya sehingga aku bisa mencium aroma yang melekat di jaket tersebut.

Aroma wangi khasnya, maskulin. Aku tau itu, dan entah kenapa aku juga menyukainya. Tapi sekarang sudah tidak ada karena mungkin aku mencucinya terlalu bersih. Jadi, aku memutuskan untuk menyemprotkan sedikit parfumku ke jaket itu.

“Tidak buruk” ucapku setelah sedikit mencium aroma parfum yang keluar. Lebih baik seperti ini dari pada tidak wangi sama sekali, mungkin malah akan berbau lemari karena aku terlalu lama menyimpannya. Dan hal itu pasti akan menjadi salah satu hal yang menyebabkanku lagi-lagi di komentari oleh Zayn.

Aku melangkah lebar-lebar untuk keluar apartemen. Takut jika Zayn sudah tidak di sana lagi.

Tapi kurang satu langkah dari pintu, aku merasakan ponsel ku bergetar di saku celana jeans selututku. Aku mengeryit dan mengambil ponsel tersebut, ternyata ada sebuah pesan dari Liz. Ah, bagaimana bisa aku sampai melupakan seseorang yang satu ini?

Protect You || Malik [au]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang