Chapter 11

10.1K 992 36
                                    

Aku menatap nanar layar laptop yang sedang terpamapang di depanku. Mataku sudah sangat berat, seakan-akan memintaku untuk segera mengistirahatkannya. Jam dinding sudah menunjukan pukul satu pagi. Tapi aku masih belum bisa tidur karena harus mengerjakan tugas sialan yang diberikan Mrs. Gray.

Jangan bayangkan bahwa aku sudah melesaikan semua tugas itu. Karena pada kenyataannya, dari 200 halaman yang harus kubuat hanya satu lembar yang berhasil kutulis dengan susah payah dalam kurun waktu sekitar enam jam. Hal yang sangat memalukan sekaligus mengesalkan. Aku bahkan sudah menghabiskan dua gelas kopi untuk ini.

Menggigit bibir bawah seraya mengetuk-ngetukan jari pada meja tulis, aku sama sekali tidak bisa berpikir mengenai topik tugas yang ini. Aku kembali mengerling pada jam dinding yang berada di depanku lalu menghela napas.

Aku menutup laptopku dan berjalan ke kamar mandi untuk sekedar cuci muka. Otakku sudah benar-benar tidak mau berfungsi sekarang. Ini sangatlah memusingkan. Aku dapat mengerjakan soal sejarah dengan benar, tapi aku sama sekali tidak bisa membuat essay 200 lembar karyaku sendiri. Usahaku untuk membuat essay selama enam jam penuh sepertinya sia-sia.

Aku tidak boleh menyalin sejarah Romawi dan Yunani dari internet. Aku juga tidak boleh menyalinnya dari modul materi kuliahku. Biasanya aku cukup bisa merangkai kata-kata, tapi saat ini aku benar-benar stuck. Aku bahkan lupa mengenai sebuah tradisi kuno masyarakat sana yang seharusnya cukup mudah untuk kutebak.

Yang kuingat malah tentang sebuah teori mengenai tuhan yang mereka sembah. Ada yang mengendalikan air, api, udara da juga tanah. Tapi setelah kembali dipikirkan, aku tahu kalau pemikiranku yang itu sangatlah kacau. Aku terdengar seperti sedang membicarakan acara kartun yang mempunyai banyak kekuatan elemen dibandingkan dengan tugas sejarahku ini.

Menghembuskan nafas kesal, aku pun mengabil sebuah buku materi sejarah untuk kubaca. Sepertinya hal ini dapat sedikit membantu. Paling tidak, aku bisa mengembalikan ingatan tentang materi sehingga bisa merangkai kata-kata untuk essay itu. Aku perlu udara segar, jadi kulangkahkan kaki menuju balkon apartemen.

Tanpa Liz, apartemen ini sangat sepi di malam hari. Bels sudah tidur jauh sebelum aku menulis. Ia beralasan lelah setelah mengepak barang-barang kami sebelum ke sini. Jadi, aku juga tidak punya alasa untuk mencegahnya tidur awal.

Aku duduk di balkon dengan sebuh buku tebal di tanganku. Mataku menatap pemandangan kota yang tampak indah di malam hari. Banyaknya bangunan dengan setiap lampu yang dinyalakan terlihat seperti hamparan bintang. Bintang yang berada di permukaan bumi  bukan seperti bintang yang biasa kulihat di langit. Tapi tetap saja hal itu terlihat indah.

Sudah sangat lama aku tidak melihat semua ini. Biasanya, pada jam ini aku sedang ada di luar bersama yang lain. Bersama para brengsek untuk melakukan balap liar. Menikmati sorak sorai penonton yang memekakan telinga. Berdesakan serta berebut jalan ketika polisi mengetahui keberadaan kami.

Menyenangkan.

Udara malam menyentuh kulit telanjangku. Aku tidak kedinginan dan justru menikmatinya. Kuhirup napas nalam-dalam ketika semua ingatan tentang masa laluku kembali terngiang.

Sejak dulu aku tidak akan pernah menyangka akan memiliki hidup yang seperti ini. Menjadikan balap liar sebagai tumpuan hidup.  Maksudku, senakal-nakalnya aku dulu, aku tidak akan pernah berpikir untuk ikut balap liar dan bergabung dengan orang-orang seperti mereka.

Dulu, aku memang sedikit serampangan dan suka mencoba hal baru yang menantang. Terkadang aku juga bertengkar dengan orang tuaku karena mereka melarang apa yang kuinginkan. Aku hanya menggemari sport. Aku senang melihat mobil dan motor yang beradu kecepatan di jalan raya. Hanya saja, aku masih mempunyai batas sehingga tidak berniat mencoba terjun ke dalam sana. Aku sama sekali tidak terpikir untuk menggunakan kemampuan menyetirku sebagai jalan mengikuti balap liar.

Protect You || Malik [au]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang