EMBUN DI UJUNG RUMPUT

2.3K 321 24
                                    

Sepasang mata perlahan mengerjap tepat pada saat matahari mulai meninggi. Meskipun begitu, ia tak mampu merasakan cahaya hangatnya seperti biasa. Tempat itu terasa pengap, bahkan rasanya untuk bernafas saja terasa sempit.

Di lantai yang dingin dan berdebu, tubuh ringkih itu tertelungkup tanpa belas kasih. Seluruh tubuhnya terasa remuk, bahkan untuk sekedar menggerakkan jemari saja rasanya sangat berat.

Kepalanya terasa pening, penglihatan nya buram dan berkunang-kunang.
Di pipinya yang memerah, terdapat bekas airmata nya yang mengering. Sudut bibir nya sobek dengan darah yang juga telah mulai mengering.

Tubuhnya terasa kaku, ia kesulitan untuk bergerak. Hanya mata nya saja yang mampu membuat gerakan. Meski begitu, pandangan nya nampak begitu kosong.

Mata yang lemah itu kembali meneteskan air mata. Berlinang dan berjatuhan ke lantai yang kotor. Hatinya yang teramat sakit terasa memar membiru. Seperti diremas oleh tangan tak terlihat. Dadanya terasa sangat sesak. Sesak oleh rasa marah, sakit dan benci yang menumpuk dan menjadi satu.

Ia sudah selayaknya setetes embun yang menggantung pada rerumputan. Begitu rapuh dan lemah. Hanya dengan satu kali jentikan jari, ia akan terjatuh membasahi tanah tanpa bekas.
Dan akan lebih parah saat diinjak-injak oleh manusia yang selalu merasa dirinya paling berkuasa di muka bumi.

'Kak Maya...'

'Kak Maya....'

'ini sangat sakit kak...'

Apakah kisah cinta nya harus berakhir saat ini? Apakah cintanya harus berakhir ditangan ayahnya sendiri?
Tidak, ia tidak akan sanggup menjalani hidup tanpa perempuan itu. Ia bisa gila, ia akan gila, benar-benar gila.




Narwastu berjalan menghampiri ibunya yang masih setia duduk didepan pintu gudang. Sang ibu terus menangis, memanggil manggil anak bungsunya yang tidak menjawab panggilan nya sedikit pun. Khawatir nya menjadi berkali-kali lipat mengetahui tidak ada suara apapun dari dalam.

"Bu, Ibu istirahat di kamar saja ya? Dari semalam Ibu disini terus, nanti Ibu bisa sakit" ucap Narwastu.

Ibunya hanya duduk diam dengan kaki yang ia selonjorkan. Wajahnya menjadi sembab karena terus menangis. Bibirnya bergetar, ingin bersuara tapi seolah suaranya sudah habis.
Narwastu tidak tega melihatnya. Airmata nya ikut berlinang.

"Biar saja Ibu sakit... Ibu ingin menemani Lintang... Kasihan Lintang, dia sedang sakit.. dia sendirian, dia pasti kedinginan..." Ibunya meracau dalam pelukan Narwastu. Suaranya terbata-bata.

"Iya Bu, aku tahu. Tapi Ibu tidak boleh seperti ini. Kalau Lintang tahu Ibu seperti ini pasti dia akan sedih Bu. Aku sudah sedih karena keadaan Lintang, aku tidak mau Ibu ikut sakit" ucap perempuan itu lirih.


Diam-diam dari tangga, Juragan Abhinawa memerhatikan anak dan istrinya.
Apakah dengan semua keadaan ini hatinya masih akan tetap sekeras batu?
Bahkan batu saja bisa pecah karena tetesan air. Ia membuang nafas kasar, kemudian kembali turun dan pergi keluar rumah.



"Ibu sekarang istirahat ya? Aku janji aku akan membujuk Bapak supaya membebaskan Lintang" ucap Narwastu.

"Kamu janji?"

"Aku janji Bu"

Dengan perlahan, Narwastu memapah ibunya menuju ke kamarnya. Perempuan paruh baya itu terlihat begitu lemah setelah tenaga nya terkuras habis karena menangisi anak bungsunya semalaman.





Tepat pada pukul sembilan pagi, Narwastu membaringkan ibunya diranjang. Menyelimuti nya dan membiarkan nya beristirahat.
Sebenarnya ia sendiri pun sama. Semalaman ia tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan adiknya.
Ayahnya memukuli nya berkali kali dan mengurung nya didalam gudang. Bagaimana kalau kesehatan Lintang semakin memburuk? Seharusnya Lintang mendapatkan perawatan.
Setega itu ayahnya membiarkan anak kandung nya sendiri terluka parah, terkapar sendirian di ruangan yang pengap.

"PELET" Mahika Maya (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang