MENINGGALKAN TUHAN

4.3K 430 37
                                    

"Dia banyak berubah Mas. Sudah gila dia itu!"

Narwastu berseru kesal dalam sambungan telepon nya. Di seberang, kakak laki-laki nya yakni Ramayana tengah mendengarkan curhatan mengenai adik bungsu mereka, Padma Lintang.

"Kita memang selama ini tidak tinggal serumah. Dia cuma pulang kampung kalau ada waktu libur. Tapi kita tahu kan bagaimana keseharian dia di kota? Kita kan setiap hari berkomunikasi, Eyang Putri juga menjaga Lintang baik baik. Eyang Putri selalu bilang ke kita kalau Lintang itu anaknya tidak pernah neko-neko, tutur katanya baik dan tidak pernah membentak orang lain, tidak mungkin Eyang Putri berbohong. Tapi sekarang sama aku saja berani. Jangankan sama aku, sama Bapak dan Ibu saja berani membentak bentak. Kami tidak tahu harus menghadapi dia seperti apa!" Ucap Narwastu panjang lebar. Dia memijit keningnya merasa pusing oleh adiknya.

"Sudah cukup lama dia tinggal di rumah dan kembali berkumpul sama keluarga kita. Tiga bulan kan? Bagaimana dia dirumah?" Tanya Ramayana dari seberang.

"Dia baik baik saja Mas tidak pernah neko-neko, tidak pernah marah-marah, tidak pernah membentak aku ataupun Bapak dan Ibu, dia kuliah dengan giat, rajin sembahyang, kalau ada waktu senggang dia rajin ke kebun buat belajar mengelola, dia suka membantu tetangga yang membutuhkan, dia ramah sama siapapun. Para tetangga yang suka bilang ke kami kalau Lintang memang baik. Artinya perbuatan dia diluar sana  mendapat nilai plus dari orang-orang" seru Narwastu.

Ramayana belum terdengar membalas ucapan adiknya. Dia sendiri sebenarnya memang tidak dekat dengan adik bungsunya. Selain ia yang harus mematuhi tugas negara dan juga tidak tinggal serumah, dia jarang memiliki obrolan dengan Padma Lintang.
Saat Lintang pulang kampung, dia tetap berada di markasnya. Kadang dia hanya mendapat cuti sebentar, tidak lebih dari seminggu. Tentunya kebersamaan keduanya amat sangat kurang. Itulah yang membuat dia tidak mengenal bagaimana adik bungsunya.

"Sejak kapan anak itu mulai menunjukkan perbedaan?" Tanya Ramayana.

"Hampir sebulan terakhir. Aku agak lupa kapan tepatnya. Tapi kalau tidak salah beberapa hari setelah dia sembuh dari sakit" Narwastu menjawab.

"Dia sakit? Sakit apa?" Tanya Ramayana.

"Demam tinggi Mas. Sering mengigau sewaktu tidur.  Awalnya dia pulang kerumah sehabis Maghrib, tidak tahu darimana. Dan pulang kerumah dengan ketakutan, katanya lihat Buto ijo di dusun sebelah" jawab Narwastu.

"Masa habis lihat Buto ijo bisa langsung berubah. Kalau sakit masih wajar. Diluar sana banyak kok orang yang jatuh sakit akibat lihat memedi (hantu)" ucap Ramayana.

"Ya tidak tahu juga lah Mas. Kami pusing sama dia. Kenapa sifatnya bisa berubah se drastis itu? Seperti tidak mungkin tapi memang begini yang terjadi" ucap Narwastu kesal.

"Bulan depan mungkin aku akan pulang. Biar nanti aku coba nasehati dia. Sekarang aku tutup telepon nya"

Ramayana menutup sambungan telepon nya dengan adik keduanya.

Narwastu masih duduk di kursi ruang tamu. Orangtuanya sedang ada urusan diluar. Sebenarnya mereka sama-sama pusing mencari Lintang. Pergi sejak semalam sampai sekarang menjelang ashar masih belum juga pulang. Tetangga pun tidak ada yang melihat gadis itu. Yang melihat keberadaan Lintang hanya tukang becak motor yang lewat tadi pagi. Itu pun memberi informasi setengah setengah.

Beberapa saat kemudian ia melihat pintu terbuka, Padma Lintang muncul dan berjalan santai menuju kamar nya. Narwastu yang melihatnya pun berdiri.

"Masih tahu pulang juga kamu? Ku kira sudah minggat" teriak Narwastu.

Padma Lintang menoleh dan mendapati kakaknya menatap tajam kearah nya.

"Oh, ada orang rupanya" celetuknya santai.

"Kamu tuh ya! Pergi dari semalam sampai jam segini baru pulang. Punya perasaan sedikit dong! Tidak kasihan sama orang tua yang kamu bikin kalang kabut! Pergi itu pamit, bukan kabur begitu saja!" Teriak Narwastu.

"Mbak tuh tidak bisa ya sehari saja tidak usah marah-marah? Ada saja yang dikritik tiap hari. Selalu saja menuduhku berubah berubah berubah! Berubah apa nya sih? Orang begini begini saja kok dibilang berubah!" Ucap Lintang kesal.

Narwastu baru menyadari sesuatu. Ia berjalan mendekati Lintang dan meneliti nya dengan jeli.

"Pakaian siapa yang kamu pakai?" Tanya Narwastu. Ia memperhatikan pakaian yang dipakai Lintang. Ia belum pernah melihatnya.

"Yaaa punyaku lah" jawabnya.

"Sepertinya bukan. Aku belum pernah lihat. Lagipula semalam kamu pergi tidak pakai pakaian ini. Kamu mau berbohong ya?" Tanya Narwastu dengan curiga.

"Ini punya Anindhita" Padma Lintang masih mengelak.

"Hahaha kamu mau berbohong? Kamu pikir aku bodoh? Keluarga Anindhita bilang kalau kamu tidak ada disana, sebentar pun tidak. Padahal kamu ada di dusun Gantoeng kan? Ada dirumah siapa kamu?" Tanya Narwastu. Ia bersedekap dada menanti jawaban adiknya.

Padma Lintang masih diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Kalau ia berkata jujur bahwa sejak semalam ia berada di rumah Mahika Maya, kakaknya pasti akan semakin banyak memberondong nya dengan berbagai pertanyaan. Apalagi orang rumah pasti tidak menduga kalau ia bisa mengenal dekat janda itu dan sekarang malah memiliki hubungan istimewa.

"Kenapa diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaan mudah? Atau sedang mencari alasan untuk berbohong?" Narwastu menatap sinis pada adiknya yang kentara sekali jika ia sedang kebingungan.

"Alah cuma pakaian saja dibahas serius. Aku capek mau tidur" gadis itu beranjak pergi.

"Ini sudah sore Lintang! Harusnya kamu mandi dan sholat ashar!" Teriak Narwastu.

"Sholat besok-besok juga  masih bisa kan. Santai saja mbak tidak usah ribet" ucapnya santai.
Gadis itu sudah masuk ke kamarnya.

"Ya Allah Lintang. Anak itu juga semakin malas bersembahyang. Kamu itu kenapa sih?" Gerutunya.

_

Didalam kamarnya Lintang baru saja bangun tidur tepat saat adzan Maghrib menggema. Ia tidak menghiraukan teriakan ibunya diluar kamar yang menyuruhnya sholat.
Ia merasa kesal. Ia pun bangkit lalu mengambil mukena ditempat biasa ia meletakkan. Tapi bukannya ia gunakan untuk sholat, ia justru meletakkan mukena itu di kardus tempat ia menyimpan barang barang bekas. Lalu membawa nya keluar untuk ia letakkan di gudang.

Ia tidak membutuhkan benda itu. Untuk apa?

Beberapa saat kemudian, ia kembali ke kamar dan merebahkan tubuhnya di kasur. Ia membuka galeri foto di ponselnya. Menatap foto Mahika Maya yang tersenyum kearah kamera.

Kalau tidak kuliah atau bertemu Mahika Maya, kerjaan nya dirumah hanyalah memandangi foto Mahika Maya sembari tersenyum senyum sendiri seperti orang gila. Setiap harinya seperti itu.
Ia akan langsung marah-marah kalau ada yang mengganggunya.

"Cantik sekali kekasih ku ini. Aku beruntung bisa memiliki nya hehe wajah nya cantik, badannya bagus, jadi tidak sabar untuk bisa mandi bersama nya. Tiga hari kenapa terasa lama sekali?"

Ya, setiap hari nya seperti itu. Tersenyum sendiri seraya memandangi foto Mahika Maya. Bahkan kebiasaan itu sampai membuat nya sering lupa dengan tugas kuliah nya.
Ia tidak pernah mau lagi pergi ke kebun. Dan yang lebih parahnya, ia meninggalkan Tuhan. Ia tidak pernah mau sholat atau mengaji seperti dulu. Ia tidak pernah lagi bersembahyang.
Yang ada dalam otaknya hanya lah Mahika Maya.

BERSAMBUNG

sekali lagi, tulisan ini terinspirasi dari kisah nyata om gw yg terkena pelet. Efek buruknya juga gw tulis atas pengalaman dari om gw sendiri. Jadi gw gk mengada ada ya gaes.
Bahkan gw sempet searching, salah satu efek buruk dari pengaruh pelet itu memang membuat korban nya jauh dari Tuhan.

Typo dikit gk ngaruh

Part selanjutnya masih mengetik

"PELET" Mahika Maya (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang