SAAT DARAH MASIH MENGALIR, JANGAN SIA SIAKAN NYAWAMU

2.2K 320 33
                                    

Dua kaki nya yang lemah melangkah gontai ditepian jalan. Tubuhnya terasa amat lelah namun tak memiliki tempat untuk sekedar melepas penat. Perutnya yang kosong mencoba ia tahan sebisanya. Sekarang, hanya sekedar untuk makan nasi sesuap saja harus berjuang dahulu sedemikian rupa.

Bagai pengembara, ia berjalan tak tentu tujuan. Ia tidak tahu hendak kemana dan harus bagaimana. Walau dalam keadaan sulit sekalipun, ia tak ingin merendahkan dirinya sendiri dengan meminta-minta.

Ia tidak ingat sudah berapa hari ia pergi sejak gubuk derita nya hancur lebur. Selama itu ia bekerja serabutan dengan upah yang amat sangat kecil. Terkadang ia hanya dibayar dengan sepiring makanan. Ia bekerja berpindah pindah. Tak apa, yang penting ia tidak menghiba belas kasih orang sebagai peminta-minta.

Ia duduk di sebuah halte untuk beristirahat. Matahari sangat terik hingga membakar kulit. Kepalanya terasa pening.
Ia masih tidak tahu harus kemana. Ingin mencari tempat tinggal, namun ia tak memiliki uang. Upah dari bekerja serabutan hanya cukup untuk membeli makan.

Ia bersandar dan memejamkan mata. Bukan hanya lelah fisik, ia juga lelah batin. Entah sampai kapan ia harus hidup terlunta-lunta seperti ini.
Seringkali ia berpikir untuk mengakhiri hidup. Entah dengan berdiri ditengah jalan, ataukah berdiri diatas rel. Atau berdiri diatas pagar pembatas jembatan.

Namun ia tak ingin menjadi orang yang bodoh. Ia selalu mengingat pesan dari mantan kekasihnya dulu yang sering berkata "siapapun pastilah dapat merasakan bahwa dirinya hidup saat darahnya mengalir, jangan sia-siakan nyawa mu"

Ia adalah seorang penari yang digilai banyak orang, tapi itu dulu
Sekarang ia hanyalah seorang gelandangan yang fakir.

Saking lelahnya ia pun merasa mengantuk. Namun ia takut saat ia tidur nanti akan ada orang jahat yang datang mengganggu.
Karena meski wajahnya sedikit kusam karena paparan sinar matahari, itu tak dapat menyembunyikan wajahnya yang memang cantik.
Itu juga yang membuat ia sering diganggu oleh orang-orang jahat sejak ia hidup di jalanan.

Saat kantuknya sudah diambang batas, telinga nya yang masih bisa mendengar suara apapun itu mendadak menangkap sebuah suara yang tidak asing.

Ia kembali membuka matanya dan menatap kearah seberang jalan.
Disana, ia melihat tiga orang remaja laki-laki sedang mengamen dengan bermain musik tradisional.

Ia pun berdiri menatap ketiganya.

'haruskah aku bergabung bersama mereka? Tapi aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk berhenti menari'

Tetiba ia diliputi kebimbangan. Ia sudah memutuskan untuk berhenti menari. Tapi setidaknya hanya untuk sementara selama ia masih hidup di jalanan. Hanya untuk sementara, tidak apa.

"Apa aku boleh bergabung?"

Tiga remaja laki-laki yang sedang beristirahat sembari menghitung penghasilan itu pun sama-sama mendongak.
Rupanya Mahika Maya sudah berada disana.
Ketiganya saling melempar tatapan satu sama lain.

"Kami sudah tidak membutuhkan pemusik lagi. Kami bertiga saja sudah cukup" seorang remaja dengan rambut jabrik merahnya menjawab.

"Aku bisa melakukan hal lain. Lagipula aku juga tidak bisa bermain musik" Mahika Maya menjawab.

"Memang nya kamu bisa Nembang (bernyanyi Jawa)?"  Seorang remaja dengan lubang yang menganga di daun telinga nya ikut menimpali.

"Aku tidak cukup mahir Nembang, tapi aku bisa menari" jawab Mahika Maya.

Ketiganya saling berpandangan. Seperti tidak mempercayai ucapan dari perempuan itu.
Mereka meneliti keadaan diri Mahika Maya baik-baik.

"Orang seperti mu bisa menari? Yang benar saja" ucapan dari si jabrik disambut gelak tawa dari yang lain.

"Aku bisa membuktikan nya!" Ucap Mahika Maya cepat.

Tiga remaja itu kembali saling berpandangan. Seolah meminta pendapat masing-masing.

"Baiklah, kamu boleh bergabung. Tapi jika penghasilan yang kami dapatkan tidak ada peningkatan. Kami tidak akan memberimu bagian"
Mahika Maya mengangguk.


********

Keluarga Abhinawa sedang duduk diruang tengah. Disana juga ada Andriyo yang kebetulan pulang karena mendapat cuti.
Sementara Narwastu dan suami nya sudah pulang ke rumah nya.

"Apa tidak sebaiknya tinggal saja disini? Lagipula kamu kan bertugas, Lintang nanti sendirian" ucap Bu Abhinawa pada menantu nya.

"Benar. Tinggal saja dulu disini. Narwastu sudah ikut suaminya, masa kamu juga tidak mau tinggal di sini" ucap Juragan Abhinawa.

Andriyo yang duduk bersama Padma Lintang di sofa panjang pun tersenyum.

"Lintang sekarang sudah menjadi tanggung jawab saya Pak, Bu.
Sudah sepantasnya kalau saya membawa dia bersama saya. Lagipula saya sudah menemukan rumah yang pas untuk kami. Kami sudah berjanji untuk membangun keluarga kecil bersama-sama. Saya tidak mau merepotkan Bapak dan Ibu" ucap Andriyo.

"Aku akan ikut dengan Andriyo. Sudah menjadi hal yang wajar jika istri ikut suaminya" ucap Padma Lintang tegas. Ia sudah muak tinggal dirumah ini.

Kedua orang tuanya menatap nya dengan sorot mata yang meminta nya untuk mengurungkan niatnya pindah.

"Bulan depan kami akan mulai pindah. Maaf Pak Bu, kami hanya ingin hidup mandiri" jawab Andriyo.

Anak dan menantu itu pergi ke kamar. Menyisakan dua orangtua yang sama-sama tak mengerti.
Mereka mulai merasakan kesepian.

"Narwastu sudah ikut suaminya, dan Lintang juga akan ikut suaminya. Rumah ini pasti akan jadi lengang nanti.
Kalau saja Ramayana masih ada, Bapak pasti tidak akan kesepian" ucap Juragan Abhinawa lirih.

"Sudahlah Pak, jangan disesali. Ramayana sudah tenang. Dua anak perempuan kita memang sudah seharusnya ikut suami. Mereka sudah menjadi istri
orang" ucap Bu Abhinawa.

BERSAMBUNG

pendek ya, saya capek habis lembur.

Next part insyaallah besok malam

Typo dikit gk ngaruh

"PELET" Mahika Maya (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang