BINTANG KECIL

3.1K 362 61
                                    

Aku turun lebih dulu dari dalam mobil, lalu menggendong Padmaya karena gadis kecil itu belum bisa turun sendiri. Kemudian Cak Wawan memarkirkan mobil, aku berjalan menggandeng Padmaya masuk kerumah.
Ada sesuatu yang ku bawa di tangan kananku, tanpa terasa aku telah tersenyum.




"Mama!!"

Gadis kecil itu berteriak nyaring. Kemudian berlari dengan riang menuju ibunya yang sedang duduk memangku laptop.
Mantan kekasih ku itu meletakkan laptop nya di meja lalu menyambut kedatangan putrinya dengan senyum.
Ia memeluk gadis kecil itu dan menciumi wajahnya. Entah mengapa melihat itu semua membuat aku merasa terharu.

Aku masih berdiri didepan pintu. Sesuatu yang ada dalam genggaman ku aku remas pelan. Aku merasa berdebar. Haruskah aku memberikan nya?


"Hari ini belajar apa saja?"


Dari sini aku masih mendengar suaranya. Padma Lintang sedang memangku putri nya.

"Kami diajari menggambar dan bernyanyi" gadis kecil  itu menjawab.

Padmaya masih berusia 4 tahun. Ia baru saja dimasukkan ke sekolah dan sekarang duduk di bangku TK 0 Kecil. Namun dia sangat cepat memahami apa yang diajarkan oleh gurunya. Dia juga sering belajar berhitung dan menulis ketika dirumah. Ibunya lah yang mengajarkannya nya. Tidak heran di kelas nya ia menjadi murid paling pintar.

Dengan sedikit keraguan aku melangkah masuk, menghampiri mereka yang masih asyik bersenda gurau. Padma Lintang sedang melepaskan rompi seragam sang anak.
Aku merasa jantungku berdebar kencang. Entah karena ragu ataukah takut ditolak.

"Nyonya?"

Ia menoleh kearah ku, tapi aku tidak berani menatap matanya. Aku selalu lemah setiap kali bertemu pandang dengan nya.

"Ya?"  Ia bersuara.

Dengan ragu aku mengulurkan sesuatu dari tanganku.  "Saya tahu anda sangat menyukainya, jadi saya membelikan nya tadi". Ia menatap bungkusan ditanganku lalu menatapku. Hingga beberapa saat tanganku berada di udara karena ia tidak memberikan respon apapun.

Terselip rasa nyeri didalam dadaku. Kini aku tahu bahwa ini adalah sebuah penolakan. Harusnya aku tahu malu. Sadarlah Mahika Maya.

Aku menurunkan tanganku yang sejak tadi terulur kearahnya. Dadaku yang sakit membuat tanganku bergetar. Jemariku meremas bungkusan itu dengan kencang. Rasanya aku tidak lagi memiliki muka. Kemana aku harus menyembunyikan rasa malu ku?

"Maaf ... Saya sudah lancang.." suaraku menjadi tidak stabil. Kurasa ia pasti menyadari nya. "Saya akan membuangnya"

Aku baru saja hendak berbalik, namun tiba-tiba ia menangkap tanganku. Aku menoleh padanya dengan jantung yang berdebar.

Mata kami bertemu pandang, kali ini ia tidak membuang pandangannya seperti yang biasa ia lakukan.
Tatapan itu masih terasa sama seperti dulu. Masih terasa hangat dan penuh dengan cerita. Aku bisa melihat semua nya dengan begitu jelas. Sebenarnya apa yang kamu rasakan Lintang? Apakah selama ini kamu selalu membuang pandanganmu dariku hanya untuk menyembunyikan segalanya?

Kami sama-sama tak bersuara. Kami hanya berkomunikasi melalui mata. Aku bahkan dapat merasakan getaran kecil dari tangannya yang masih mencengkeram pergelangan tangan ku.

"Aku akan memakannya" ucapnya memecah kesadaran.

Ia mengambil alih bungkusan itu. "bantu Padmaya mengganti baju" ucapnya kemudian. Ia melangkah pergi ke dapur membawa bungkusan itu. Meninggalkan aku bersama si gadis mungil yang sibuk bernyanyi.

"Padmaya, ayo Bibi bantu ganti baju" ucapku sembari menghampiri nya.

"Mama kemana?" Tanya nya.

"Mama biar makan dulu. Ganti baju nya sama Bibi saja ya? Nanti kamu juga langsung makan" ucapku. Aku memakaikan kaos berwarna pink dengan gambar putri Disney padanya. Ia hanya menurut. Sesekali ia bertanya hal hal yang membuat nya penasaran. Aku akan menjawab sebisaku.







Sebenarnya aku membantu Padmaya mengganti baju  tidak sampai 5 menit. Gadis mungil itu tidak mau makan dan memilih untuk menonton televisi. Aku pun pergi ke dapur, namun saat aku kesana, aku melihat Padma Lintang yang sedang melamun. Bungkusan berisi makanan itu masih sama seperti sediakala.

"Biar saya saja yang siapkan. Nyonya tunggu saja di meja makan" ucapan ku membuatnya tersentak dari lamunan.
Tapi ia menurut dan membiarkan ku disini. Aku menyiapkan makanan ini sekaligus membuatkannya minuman.






"Silahkan"

Aku meletakkan semangkuk soto tanpa sayur dan hanya bihun beserta suwiran daging ayam. Soto dalam sajian seperti itu adalah makanan kesukaannya. Lalu ia makan ditemani segelas es jeruk nipis. Aku turut menyediakan nya.
Dua hal sederhana yang menjadi favoritnya.

Ia terdiam beberapa saat ketika melihat dua hal itu. Jika kamu mengingat nya, aku juga mengingatnya Lintang. Dulu aku sering membuatkan nya untukmu. Kamu akan makan dengan lahap.

"Terimakasih" begitu singkat. Aku pun mengangguk dan berlalu pergi.






Aku berdiri dibalik dinding. Memperhatikan dirinya secara diam-diam. Dia hanya menatap kedua hal didepannya tanpa menyentuhnya.
Aku merasa sedikit ngilu saat menyadari ia hanya berbohong. Nyatanya ia tidak memakannya. Sadarlah Mahika Maya. Seharusnya kamu tahu diri.

Aku hendak melangkahkan kaki ku untuk pergi, tapi langkahku terhenti saat mendengar sebuah isakan. Aku kembali menoleh padanya. Ia yang saat ini menunduk, menyembunyikan wajah diantara kedua tangan diatas meja. Pundaknya berguncang. Kini aku sadar ia tengah menangis.

Ingin sekali aku menghampiri nya. Menenangkan nya seperti dulu sewaktu ia bersedih. Tapi aku bukan lagi siapa-siapa baginya.

Aku hanya bisa diam terpaku ditempatku berdiri. Menemani nya dalam jarak.
Lintang, mengapa kamu menangis? Apakah kamu mengingat tentang kita?


_____


"Mau ikut!"

Aku yang sedang menyiram tanaman tak sengaja mendengar teriakan Padmaya. Ah, rupanya ia sudah bersama ibunya didepan garasi.
Gadis mungil itu nampak marah.

"Mama mau ke pabrik sebentar. Nanti kalau kamu ikut, kamu akan capek. Kamu dirumah saja sama Bibi Maya ya?" Padma Lintang memberikan pengertian.

"Papa sibuk kerja, mama sibuk kerja! Begitu terus tiap hari!" Ia sedang merajuk. Gadis kecil itu langsung berlari masuk kerumah tanpa mendengarkan ucapan ibunya. Aku melihat Padma Lintang yang hanya bisa menghela nafas lelah.


"Dia pernah berkata pada saya jika sedang merindukan kedua orang tuanya yang sibuk bekerja. Katanya ia ingin pergi berlibur bersama"

Ia menoleh saat mendengar ucapanku. Ia menyibakkan rambut hitam nya dengan kasar. Berdiri bersandar di mobil putihnya. Memandang lurus ke depan.

"Dia pasti merasa kesepian karena kami sibuk bekerja" ucapnya tanpa memandang ku. "Aku pergi dulu, tolong jaga anakku dengan baik" lanjutnya.

Aku mengangguk.
Menatap ia yang masuk ke mobil dan berlalu pergi.









Aku berhasil menghibur gadis kecil ini. Ia yang sejak tadi merajuk sekarang mulai berceloteh riang. Sepertinya ia telah melupakan rasa marahnya pada sang Ibu.

"Bibi punya sesuatu untukmu" ucapku.

"Apa itu?" Ia pun penasaran dan terbangun dari karpet didepan televisi.

"Bagaimana kalau mulai sekarang Bibi memanggil mu Bintang Kecil?" Aku berkata sambil tersenyum.

"Kenapa Bintang Kecil?" Ia bertanya dengan ekspresi wajah yang menggemaskan.



Aku memberikan panggilan itu bukan sembarangan.
Nama ibunya adalah Lintang, yang mana dalam bahasa Jawa artinya bintang.  Dan ia sangat mirip dengan ibunya, itulah mengapa aku menganggapnya sebagai Padma Lintang versi kanak-kanak.
Bintang Kecil sangat cocok untuknya.

Ia tersenyum riang "aku menyukainya!" Ia berseru kegirangan.

BERSAMBUNG

dimari ada yg nonton Blank the series kagak?



"PELET" Mahika Maya (GxG)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang