Chapter 3

36 6 2
                                    

“Huft.” Wanita itu mencebikkan bibirnya di kala mengembuskan napas pelannya dengan bingung, seraya melipat kedua tangannya tepat di atas meja. Menjadikan kedua lengannya yang terlipat bantalan yang nyaman bagi kepalanya dengan kedua netra kecokelatannya yang masih terfokus pada sebuah bingkai foto berukuran 3R berdiri tepat di atas meja kecilnya.

Meski tidak sedang berkuliah, tata letak ruang peristirahatannya tersebut tetap memiliki meja belajar kecil yang sengaja ia letakkan di sudut ruangan. Di mana suasananya, menurutnya begitu pas untuk mendapatkan view langit dengan pemandangan kota dari atas unit huniannya tersebut. Merasa bersyukur dan berterima kasih kepada Aeri yang memperkenannya untuk tinggal dalam satu atap.

Awalnya Heiran tidak pernah mengira, pertemuannya dengan Aeri yang terlihat tampak biasa dari luarnya ternyata begitu memiliki pengaruh di dalam. Nasib mujurnya yang kala itu masih bingung akan aksi pelarian dirinya, kini di tengah kebingungan itu ia seolah menemukan rumah baru.

Bukan suatu visual yang benar-benar berwujud bangunan, melainkan suatu perasaan yang menyapa dan meraih dirinya hingga dirinya memiliki perasaan aman dan nyaman. Ya, perasaan itulah yang kini terjalin di tengah persahabatan keduanya yang lebih mirip persaudaraan.

Padahal, dulu tinggal di dalam satu ruang kecil sewaannya juga tidak begitu buruk baginya. Tapi siapa mengira, perbincangan singkat yang pada akhirnya merajut tali persaudaraan itu menggiring Aeri dengan sebuah ajakan tidak terduga. Aeri justru ingin supaya huniannya tidak terasa sepi setelah berkunjung dalam hunian kecil miliknya. Semula, Heiran hanya berpikir mungkin hunian milik Aeri yang juga bekerja sebagai pelayan di sebuah kafe memiliki kapasitas cukup besar untuk dihuni oleh dua orang.

Ternyata, gambaran akan hunian sederhana yang dua kali jauh lebih besar dari pada satu kamar hunian miliknya sendiri, melebihi dari ekspektasinya. Begitu bersyukur, bahwa sahabatnya ini memiliki kerendahan hati dengan nilai-nilai kebaikan yang begitu terpuji. Di mana, meski Aeri bisa digolongkan sebagai keluarga berada, akan tetapi sikapnya lebih mirip dengan tidak ingin menonjolkan apa yang ia miliki. Hanya menunjukkan bahwa terlepas dari segala yang Aeri miliki, sosok Aeri inilah yang lebih ingin diperkenalkan pada Heiran. Walaupun dalam hati, terlepas dari kebaikan Aeri terhadapnya, Heiran merasa bersalah di waktu bersamaan.

Suatu rasa akan Ketidakjujuran yang seharusnya bisa ia tunjukan pada Aeri di awal pertemanan itu dimulai. Namun, hatinya yang kala itu masih bergejolak dengan pertentangan batin yang begitu menyiksa, membuatnya menahan diri. Hanya menampilkan dirinya yang seperti ini. Sosok sederhana dengan sikap yang sopan dan baik. Paling tidak pandangan seperti itulah yang dilihat Aeri pada sosok Heiran.

Jauh mengesampingkan dari hal tersebut, kini pikiran Heiran yang lain yang begitu sarat akan keinginan mau tak mau turut berbaur dalam kegamangan yang saling tumpang tindih. Terlepas dari masalah yang sudah ada, kali ini pikiran Heiran yang begitu sederhana akan tetapi tidak sesederhana itu hanya tertuju pada keinginan kecilnya yang begitu ingin menghadiri dan terlibat dalam acara fansign tersebut.

Bertemu sosok model yang begitu ia kagumi yang tanpa sadar memberinya motivasi dalam menjalani hidup. Heiran pun mengulurkan jari telunjuk tangan kirinya sembari mengusap pinggiran bingkai tersebut. Bertanya-tanya akan jawaban yang hingga detik ini Heiran masih belum menemukan jalan keluarnya.

“Bagaimana caranya aku bisa bertemu denganmu? Jika aku menggunakan seluruh tabunganku, aku bisa bangkrut akan kemungkinan yang tipis itu. Tapi, jika saja aku memiliki jaminan tersendiri agar aku bisa benar-benar bertemu denganmu, mungkin aku tidak terlalu menyayangkan tabunganku yang telah kupergunakan.”

“Huh, aku harus bagaimana, hah?”

Seolah foto tersebut adalah makhluk visual yang dapat menanggapi Heiran, wanita tersebut bersikap seolah sosok dua dimensi itu akan turut berbicara padanya. Memberikan solusi agar Heiran dapat menjangkaunya. Namun, tetap saja hal tersebut begitu mustahil dan semakin membuat Heiran merasa bimbang. Memaksa kerja otak kecilnya agar terus mencari cara dengan berpikir keras.

Melihat bayangan Heiran yang tampak terduduk lesu, Aeri yang sedari tadi mengamati dari luar pun segera mengetuk pintu kamar Heiran di mana sebagian kepalanya telah menyusup ke dalam.

“Boleh aku masuk?” tanyanya akan pertanyaannya sendiri yang segera saja ia memasuki ruang tersebut. Tidak memedulikan tanggapan Heiran yang seharusnya memberi izin masuk. Mengalihkan atensi Heiran yang seketika itu terkesiap melihat kehadiran Aeri.

“Eoh, kau. Tentu saja. Bukankah ini apartemenmu?” dengan sadar diri, Heiran seolah mengingatkan Aeri yang tidak perlu bersikap seperti itu.

Aeri hanya merutuk sebal akan ucapan Heiran yang memang benar adanya. “Haish. Pemilik apartemen bukan berarti boleh mengganggu privasi tamunya, bukan?”

Aeri seketika itu duduk di sisi Heiran dan mengamati foto yang sedari tadi diajak bicara oleh temannya itu. Seulas senyum simpul pun menggantung di kedua sudut bibir Aeri.

“Eonnie, masih memikirkannya, ya?” tanya Aeri lembut. Begitu penasaran akan sosok ini yang mampu mengubah seorang Heiran. Di mana kini, ia menjadikan meja kecil tersebut sebagai tumpuan sikunya yang kini sedang menyangga kepalanya. Menjatuhkan pandangan lurusnya pada Heiran.

Dengan menghela napas berat tanpa mengalihkan wajahnya pada sosok dua dimensi itu, Heiran mengangguk. “Hem. Mau bagaimana lagi,” jawabnya dengan tatapan sendunya. Tersirat keinginan besar, akan tetapi terhalang jalan buntu. “Aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa memenangkan tiket itu bila harus membeli banyak barang. Jika hanya satu, meski mengandalkan faktor keberuntungan, tetap saja kan hal tersebut begitu mustahil,” rajuknya akan kebenaran yang Aeri pun membenarkan. Kemungkinannya terlalu kecil untuk peluang yang ada.

Tidak bisa menghalangi keinginan Heiran yang cukup terbilang wajar. Terlebih di negara mereka ini. Sangat memaklumi mengingat penatnya keduanya dalam bekerja sehingga bisa dibilang, hal ini merupakan suatu hal penghiburan yang begitu kecil. Meski tidak terlihat sesederhana kenyataannya. Reward for herself.

“Lalu, apa Eonnie akan meminta ibu bos untuk membayarkan gaji lebih awal untuk bulan ini?”

“Jika aku bisa melakukannya, aku begitu ingin. Tapi mengingat aku masih memiliki pinjaman bulan lalu, kupikir itu mustahil. Meski ....”

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang