Setelah pertemuan tak terduga yang berujung pada suatu hal yang sungguh menyentak jiwa, Heiran sama sekali tiada bisa menutupi kegelisahannya. Hati dan pikirannya seolah memiliki jalurnya sendiri sehingga wanita tersebut hanya terlihat berjalan pelan menatap kosong. Meski raganya berada di sini, tapi perhatiannya berpusat pada hal lain. Hal yang telah berlalu yang seharusnya Heiran tiada perlu memikirkannya kembali atau pun mengingatnya walau sesaat.
Akan tetapi kendati demikian, tetap saja apa yang baru saja dia alami sedikit pun belum menguap dan masih terpatri jelas di dalam pikiran yang kemudian terefleksi jelas di wajahnya. Sampai-sampai, di kala dirinya merenung di sudut sofa seorang diri seraya memijat pelipisnya pening, kehadiran seseorang yang semenjak kedatangan wanita tersebut netranya tiada berhenti mengekori tentu sampai tiada dirasakan.
Hanya terfokus bagaimana Hoseok bisa mengenal sang ayah dan tahu kediamannya di Paris tersebut. Mencoba mengingat kembali dalam diamnya apakah Heiran pernah menceritakan hal ini sebelumnya. Mengabaikan eksistensi seseorang yang seharusnya Heiran juga tak luput akan hal itu.
Begitu merasakan usapan pelan menyapa di atas bahunya di mana kala itu Heiran mengenakan dress berwarna putih dengan bahu yang sedikit terbuka, Heiran pun menyambut usapan tersebut. Merasakan hangatnya tangan besar yang serasa memberi ketenangan itu dengan senyum kecil. Sedikit lega, rasa-rasanya, di saat seperti ini, pria tersebut sama sekali tiada henti memberikan dukungan. Tahu benar betapa kacaunya perasaannya saat ini.
Dan penuh perhatian, pria yang kini siap memberikan bahunya untuk sandaran pun duduk di sebelah Heiran. Bertanya dengan lembut akan keadaannya hari ini.
“Bagaimana pertemuanmu dengannya? Apa kau baik-baik saja?”
Refleks dengan menarik napas pelan, kini Heiran menjatuhkan kepalanya tepat di bahu sang pria. Menyelipkan jari-jemari tangannya di antara jemari sang kekasih. Berusaha menyelaraskan kata-kata yang rancu dan terus bergelayut di dalam kepalanya. Entah bagaimana harus menjelaskannya. Kejadian hari ini begitu tiba-tiba dan sulit sekali dicerna. Walau di waktu bersamaan, di kala Heiran memejamkan mata, jejak rasa perih di tangannya kembali berdenyut.
Tidak mampu membayangkan bagaimana dengan yang merasakannya secara langsung cambukkan dari cemeti tersebut. Betapa dengan keras dan mudahnya, benda itu menyapa permukaan kulit punggung seseorang yang dalam situasi seperti ini pun, Heiran bisa membayangkan bagaimana ekspresi Hoseok yang melindunginya. Terlebih pelukan eratnya yang turut menahan nyeri sekaligus napasnya, sungguh Heiran yang merasa begitu jahat tidak bisa memaafkan sang ayah.
Walaupun Hoseok dengan rela menerimanya dan mengatas namakan hal tersebut sebagai bagian dari dampak kesalahannya sendiri, tetap saja, Heiran tiada membenarkan sikap sang ayah. Padahal dulu sang ayah begitu lembut walau begitu posesif. Namun, sejak hari itu, serasa kelembutan tersebut tiada lagi berada di tempatnya.
Entah harus bagaimana. Heiran sama sekali tidak bisa mendefinisikan kegusarannya. Terlalu bingung akan beberapa perasaan yang saling datang silih berganti lalu berbaur dan memengaruhi suasana hatinya. Mengombang-ambingnya dalam rasa sesak bak labirin yang satu pun tiada memberikan jalan keluar. Bukannya membaik, akan tetapi justru semakin buruk kala memikirkannya.
Sehingga suara pelannya pun menimpali. Sembari menatap kosong ke arah depan tanpa memberikan fokus.“Bagaimana aku bisa merasa baik. Dalam satu hari, dua pertemuan yang tidak mengenakkan harus dipaksakan padaku. Mungkin ... Hobie Oppa tidak terlalu ... yah, kau tahu, aku sejujurnya begitu enggan bertemu dengannya. Tapi ... bertemu dengan satu orang lagi, seluruhnya terlalu membingungkan. Sangat ... memilukan, Vin.”
Bahkan dalam menjelaskannya, ada getaran lain yang begitu ambigu. Sampai-sampai, Vincente masih belum menemukan inti dari perasaan Heiran. Begitu rancu dan mengambang.
“Apa maksudmu dengan membingungkan dan bertemu dengan satu orang lagi? Apa dia membawa seseorang?”
“Dari pada membawa seseorang, lebih tepatnya ... dia mengantarku bertemu seseorang. Kau mungkin bisa menyebutnya gila. Tapi ... sungguh, aku tidak menyangka dia mengungkap segalanya di depan Daddy. Dia mengakui segalanya Vin atas apa dia lakukan padaku. Dan ... sebelum saat itu, di mana untuk pertama kalinya setelah sekian lama akhirnya aku kembali menginjakkan kakiku di sana, dia menggunakan tubuhnya untuk menahan kemarahan Daddy padaku. Tanpa peduli dengan rasa sakitnya, Hoseok Oppa menerima cambukkan Daddy begitu saja. Dan itu membuatku buruk.”
Sungguh, walau Heiran begitu benci dan marah serta begitu kecewa dengan pria tersebut, tapi bagaimana Hoseok melindunginya, sungguh benteng keangkuhannya agar terus bersikap dingin pun serasa melumer. Leleh begitu saja akan perlindungan yang begitu heroik tersebut.
Membuat Vincente yang mendengarnya pun terdiam. Sangat menyayangkan sikap Tuan Sargas walau pun di waktu bersamaan, Vincente juga merasa bahwa hal tersebut merupakan balasan yang pantas atas apa yang Hoseok lakukan. Sebelum pada akhirnya, Vincente yang menoleh pun tersentak, apa sekeras itu cambukkan tersebut hingga Heiran juga tak luput.
“Hei, tapi ... kau bilang Hoseok melindungimu, lalu kenapa gaun bagian depanmu terdapat bercak darah?”
Sontak Heiran menarik kepalanya dan menegakkan tubuhnya. Meski selanjutnya netranya mengamati gaunnya yang memang terdapat darah di sana. Heiran yang mengerutkan kening pun mencoba mengingat. Yang terkena kala itu adalah tangannya. Lalu mengapa dadanya beradarah.
Seketika itu, Heiran pun terenyak. “Hobie ....” teringat kala itu Hoseok mengenakan kemeja berwarna hitam. Tentu, darah pun akan samar dan lesap bila yang menyerapnya berwarna gelap.
Lalu Heiran pun menoleh pada Vincente di mana pria itu pun menunduk dengan seulas senyum miris penuh arti. Melihat binar mata Heiran yang berkaca-kaca perlahan berkabut.
***
Tiada terasa, hari menjelang malam. Bulan pun naik menenggelamkan sang mentari. Setelah pertemuannya dengan Heiran, selama itu, sepeninggalnya dari kediaman wanitanya, Hoseok hanya berputar-putar dengan mobilnya tanpa arah menyusuri setiap jalan di Paris. Merenung dalam pesakitan yang begitu menyesakkan.
Entah sudah berapa jam dia habiskan dengan kegamangan seperti ini. Begitu merasa lelah, dia pun memutuskan kembali. Dan begitu kembali, dirinya disambut dengan mimik wajah seseorang yang begitu menuntut penjelasan. Ya, walaupun kehadirannya di sini pun juga atas permintaannya.
Khawatir, tentu tidak ada yang bisa menutupi ekspresi ini. Terlebih akan suatu perasaan yang khusus yang tidak mampu untuk ditutup-tutupi. Perihal yang sama sekali tidak bisa disembunyikan begitu saja. Meski seharusnya, bila bukan karena memiliki perasaan, tentu Hyeri tidak akan bersikap setakut ini. Tapi ini, apa yang dia dapati benar-benar membuatnya tercengang. Tidak menyangka bahwa dunia yang mereka tinggali begitu sempit.
Hoseok hanya memejamkan mata dalam duduknya dengan begitu pasrah sementara Hyeri hanya memperhatikan dari tempatnya berdiri. Sama sekali tidak ingin mengganggu kerja sang dokter yang dipanggil secara khusus untuk menangani Hoseok. Menjahit lukanya yang berada di balik hastanya. Luka memanjang yang Hoseok ciptakan di saat frustrasi dan jalan buntu.
Sudah setengah jam Hoseok bertahan dalam posisinya tanpa bergerak. Menunggu dirinya segera dilepaskan. Begitu sang dokter memberikan perban perekat guna menutupi luka sebagai sentuhan akhir, barulah Hoseok membuka matanya. Memandangi luka yang dia ciptakan atas emosinya.
“Aku sudah menjahitnya dengan sangat rapi agar tidak menimbulkan bekas. Walaupun tidak sepenuhnya, aku berharap untuk proses kesembuhannya tidak terlalu terlihat. Untuk itu, sering-seringlah ganti perban dan usahakan agar tidak lembab. Aku akan memberi obat pereda nyeri bila terasa sakit. Jadi pastikan Anda menjaga kebersihan lukanya Tuan Seong.”
“Merci beacoup.”
Tanpa banyak bicara, sang dokter pun undur diri. Kali ini benar-benar meninggalkan Hoseok dengan Hyeri di sana. Dan begitu dirasa eksistensi sang dokter telah menghilang, Hyeri pun menuntut penjelasan.
“Apa kau gila? Kau ingin mengakhiri hidupmu?!”
Hoseok menghela napas samar tidak langsung menanggapi. Beralih ke ujung kaki ranjang dan duduk di sana. Membuka kancing kemejanya satu per satu dengan menggunakan satu tangannya yang lain. Begitu berhati-hati dengan tangan kirinya yang terluka. Merebahkan tubuhnya di sana seraya melemparkan sesuatu dari balik celananya begitu dia menanggalkan kemejanya.
“Dari pada itu ... bantu aku mengoleskan salep pada lukaku agar tidak membekas. Aku sudah menahannya sampai detik ini.”
Hyeri mengernyitkan dahi. Mengambil salep berbentuk tabung kecil memanjang itu tepat di bawah kakinya dengan napas naik turun dan berjalan mendekati Hoseok. Menuruti setiap ucapan pria tersebut sembari memperjelas penglihatannya meski sejak tadi dia menunggu. Mencoba menangkap maksud dari ucapan pria tersebut.
Begitu melihat dalam jarak dekat, Hyeri membeliakkan mata. Mendapati sebuah luka memerah akibat sebuah cambukkan yang memanjang tepat di bagian tulang dada walau tidak terlalu banyak. Dan seketika, Hyeri yang terkejut pun mencecar. Bertanya dengan penuh selidik.
“Apa yang terjadi padamu? Siapa yang melakukan ini padamu? Bisa-bisanya kau terluka dengan cara seperti ini! Haruskah kita mencari tahu siapa yang melakukan ini padamu dan melaporkannya?! Benar-benar tidak bisa di maafkan!”
Lagi-lagi Hoseok hanya menghela napas kasar. Tidak terlalu memedulikan ucapan itu dan tetap menjawab seraya memejamkan mata. Sungguh, disentuh sekecil apa pun, Hoseok tidak menampik rasa perih yang ditimbulkan. Benar-benar nyeri hingga Hoseok mengeratkan rahangnya menahan sakit. Tidak heran dengan sikap Hyeri yang begitu cerewet.
“Tidak perlu menelusuri atau pun mencarinya. Aku memang pantas mendapatkan ini,” ucapnya lemah. Mengakui kesalahannya dan sama sekali tidak mempermasalahkan hal tersebut. Apa yang dia rasakan saat ini, memang setimpal dengan apa yang telah Hoseok lakukan. Jadi Hoseok sama sekali tidak mencoba membela diri atau pun cuci tangan dengan maksud mengelak. Mengakui segala sikapnya yang memang begitu buruk.
“Luka cambukkan begini kau bilang pantas?” Hyeri menaikkan sebelah alisnya tanpa habis pikir dan merasa tidak bisa mendiamkannya begitu saja. “Benar-benar yang melakukannya begitu kejam.”
Sehingga, tanpa ingin adanya pertanyaan lebih lanjut, pria tersebut berusaha menjelaskan. Entah segala yang dia ungkapkan nantinya akan dapat diterima utuh atau tidak.
“Aku mengakui kesalahanku pada ayah Heiran. Dan kau tahu ... pemilik Brand Soliscte? Ternyata beliau adalah ayah Heiran.”
Satu detik, dua detik. Hingga detik ke tiga, sontak Hyeri menghentikan pergerakannya yang sedang mengobati luka. Menatap Hoseok yang masih memejamkan mata. “Tuan Sargas? Ayah Heiran?” ada sesuatu yang terdengar mustahil, akan tetapi dari bagaimana Hoseok bicara, sepertinya tidak ada keraguan di sana.
Dan Hoseok, membenarkannya dengan penuh penegasan. “Hm. Begitulah faktanya. Saat aku mengunjunginya, aku mendapati foto keluarga di mana ada Heiran di sana. Aku tidak tahu alasan Heiran melarikan diri. Dan bahkan ... aku tidak mengetahui apa pun tentang dirinya. Tapi yang aku tahu ... aku begitu pantas mendapat perlakuan ini dari Tuan Sargas. Karena ... sangat wajar, bila seorang ayah begitu marah bila seseorang telah merusak putrinya.”
Hyeri mengernyitkan dahi. Heran akan ucapan Hoseok yang terdengar ambigu. “Maksudmu?”
Hoseok sengaja menghadirkan jeda sejenak. Menarik napas panjang seolah menata hatinya. Tidak bisa menjelaskan terlalu banyak karena segalanya memang begitu rumit adanya. “Setelah malam itu, aku telah menghamilinya tanpa sadar,” ujarnya lemah yang seketika itu seopah menghadirkan kilat bagi Hyeri.
Hyeri semakin membeku begitu mendengar penjelasan Hoseok yang begitu serius. Dan tanpa melihat bagaimana ekspresi Hyeri kala itu, Hoseok meneruskan.
“Sayangnya ... kami kehilangan anak kami. Tuan Sargas menghakimi Heiran hingga wanitaku mengalami keguguran. Setelahnya kecelakaan nahas menimpanya dan hal itu semakin menekan kandungannya.”
Lagi, rasa yang menekan kembali menjepit dadanya. Menggerus hatinya membentuk lorong. Begitu pilu bila mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystery / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...