Chapter 20

12 3 3
                                    

Sesuatu yang terasa dingin tiba-tiba saja mengusik tidurnya. Awalnya ia berpikir bahwa sengatan tipis yang terasa familier itu hanyalah bagian dari mimpi di mana di dalam sentuhannya, harusnya terasa hangat mengingat tangan itu terasa lembut di setiap indranya. Sesuai dengan apa yang ia ingat terakhir kali.
Namun sayang, semakin rasa dingin itu menyengat lehernya, di waktu bersamaan dengan embusan napas berat, hatinya tersadar bahwa sentuhan itu bukanlah bagian dari bayangan indah di bawah naungan ketidaksadaran. Melainkan sesuatu yang nyata yang ingin mendorongnya agar segera terbangun.

Dengan enggan, pria itu pun melenguh. “Eungh, berhenti menggangguku,” racaunya yang masih enggan untuk membuka mata dan ingin melanjutkan tidurnya barang lima menit saja.
“Ini sudah pagi Yoon. Kau yang memintaku datang kemari untuk menyelaraskan komponen lagu yang masih setengah jadi itu. Kuharap kau tidak lupa,” ingatnya sembari menarik kembali minuman yang selalu disukai Yoongi, Americano dingin di pagi hari.

Batinnya yang masih ingin memejamkan mata beberapa menit lagu seolah memberontak dan berperang dengan pemikiran rasional sadarnya. Sayup-sayup, dengan kepala pening, Yoongi berusaha membuka matanya. Melirik ke arah jam digital yang terpampang jelas di dalam layar ponselnya yang baru ia sentuh.
Waktu masih menunjukkan pukul 07.30 pagi. Tentu masih terlalu dini bagi sosok ini mengganggu dirinya. Namun mau apa dikata, memang dirinya yang kemarin yang memintanya datang.

“Tepat waktu sekali. Biasanya kau akan memberiku kelonggaran waktu setengah jam lagi untuk tidur,” gerutunya kali ini sembari melakukan peregangan. Mencoba melawan rasa kantuknya yang masih terus menggelitiki dirinya. Tidak sadar bahwa semalam dirinya justru tertidur dalam posisi tertelungkup menghadap meja kerjanya.

Pantas saja salah satu tangannya terasa kebas. Ternyata ia menjadikannya sebagai bantalan ternyaman di saat dirinya terisak. Ya, bila mengingat hal itu, Yoongi jadi kembali menghidu aroma khas besi yang memuakkan.

Sial! Umpatnya dalam hati. Berusaha meredakan nyeri di bahunya yang berbanding terbalik dengan apa yang Yoongi rasakan. Kala itu sang tamu hanya memilih duduk di sofa berwarna abu milik pria tersebut, tidak ingin banyak berkomentar, walaupun untuk sekilas, ia menemukan jejak sungai kecil yang telah mengering di salah satu sudut kelopak mata Yoongi.

Tentu, tidak ada yang tidak diketahui oleh wanita yang juga seprofesi seperti Yoongi. Akan tetapi, ia tetap pada nalurinya yang memilih diam dan menjaga perasaan sahabatnya itu. Ternyata, walau waktu telah bergulir begitu lama, sama sekali tidak mengikis kenangan sosok tersebut barang sedikit pun dalam pikiran Yoongi.

Sungguh beruntung wanita yang dicintai Yoongi hingga ajal menjemputnya. Atau barangkali, ajal yang dicari dengan meninggalkan luka serta teka-teki yang sampai detik ini masih dirasa rumpang bagi diri Yoongi sendiri.

Tidak tahu, sungguh, wanita tersebut tidak ingin berkomentar sedikit pun yang pada akhirnya justru mengingatkan Yoongi akan rasa sakit itu sendiri. Sehingga hari itu ia hanya memilih diam dan duduk sembari menunggu Yoongi yang masih berusaha meraih kesadarannya. Hingga suara serak khas bangun tidur yang berasal dari Yoongi pun menyapanya.

“Ar,” panggil Yoongi yang masih memunggungi wanita tersebut. Teringat akan sesuatu yang penting.

“Hm, apa ada yang mengganjal pikiranmu?”

Helaan napas berat dari Yoongi kala itu justru menjadi pembuka dalam kesunyian yang beberapa detik lalu sempat terasa. Begitu tak suka akan perasaan yang membalut Yoongi dalam rasa gamang.

Setelah berpikir sejenak, barulah ia kembali angkat bicara. “Bagaimana caranya meminta maaf pada seseorang?”
Untuk sejenak, Arlein terdiam. Bagaimana harus menanggapi pertanyaan Yoongi? Walau tak ingin terlalu berasumsi. Namun, dari bagaimana pria itu bertanya, ada nada yang sarat akan kepiluan. Bahkan Arlein yang mendengarnya justru merasa kelu, tidak tahu bagaimana caranya untuk menanggapi. Ada kegelisahan kembali yang dulu sering Arlein dapati dari sosok ini.

Dan lagi, ekspresi itu hadir dan sempat membungkamnya untuk sebentar. Tidak bisa menemukan kata-kata yang bijak agar tidak menyinggung suara yang terdengar lelah dan rapuh itu. Namun, tidak ingin membuat Yoongi menunggu, ia hanya menjawab sejujurnya yang ada dalam kepalanya. Mengalihkan atensinya dari Yoongi yang masih bertahan di dalam dekapan kursi kebesarannya.

Arlein pun akhirnya menanggapi dengan hati yang begitu enggan. “Aku tidak tahu secara pastinya bagaimana maumu yang jauh lebih mengerti akan situasinya. Tapi bila aku boleh menebak dan dugaanku benar adanya, bisakah kau mengakui bahwa kau begitu merindukannya?”

Jujur, hanya untuk mengatakannya saja segalanya begitu sulit. Hening, lagi-lagi hanya keheningan yang kini mendominasi.
Saat itu Yoongi dengan ekspresi mirisnya tanpa diketahui Arlein pun tersenyum getir.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang