Chapter 28

11 4 10
                                    

“Sepertinya aku tidak memiliki muka dan layak untuk bertemu denganmu. Tapi ....”

pria tersebut menggantungkan sebagian ucapannya, menarik seulas senyum tipis. Memandang lurus ke arah pigura yang terpajang di salah satu rak lengkap dengan guci abu sisa pembakaran dari kremasi. Menampilkan sesosok wanita yang tampak sadar kamera dengan senyum terbaiknya kala itu menyambut dunia. Sungguh momen singkat yang melegakan meski kini rasanya berubah ngilu bagi ingatan sebagian orang.
Untuk sebentar, pria tersebut merasakan salivanya tercekat.

Begitu sulit mengungkapkan apa yang terpendam di dalam sana di kala suaranya sendiri terdengar tidak begitu stabil di antara keheningan. Bergetar, menahan amarah yang begitu ia sesali. Terperangkap dalam ruang kosong nan pengap di mana hanya sebatas ilusi.

Entah sudah berapa lama sejak dari kunjungan terakhir kalinya, sepertinya Sudah lama sekali ia tidak datang mengunjungi tempat tersebut walau hanya untuk memberi setangkai bunga.

Lima tahun, tiada terasa waktu telah bergulir dengan melambat. Menghentikan kehidupan seseorang yang turut membeku.
Miris, mungkin ini yang dinamakan merindu tanpa mampu memeluk raga, karena yang ingin didekap bahkan suaranya sekalipun telah menghilang dari dunia. Hanya sisa kepingan kenangan yang hingga detik ini masih berusaha ia genggam. Mengupayakannya agar tidak memudar.

Malu, kala itu hatinya yang memberontak tak mampu untuk menunjukkan wajahnya dengan hormat. Alhasil pria tersebut hanya bisa menunduk, mencoba mengumpulkan kembali kelayakan dalam dirinya. Berusaha menahan embun tipis yang mulai mengaburkan pandangannya. Kembali bermonolog tanpa peduli akan seseorang yang turut ia bawa dan kini menunggunya dalam mobil.

“Kali ini ... aku sungguh-sungguh ingin bertemu denganmu Vi. Maafkan aku.”

Pria tersebut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket bomber berwarna hitamnya. Kembali memandang lurus paras yang begitu ia rindukan. Berusaha menunjukkan ekspresi terbaiknya di kala hatinya sendiri begitu hancur.

Mendengkus getir bila mengingat sisa memori yang masih terus menggerus batinnya. Mencelus, bahkan dalam jarak yang seperti ini pun, rasa-rasanya pria tersebut telah kehilangan sebagian dari fungsi persendiannya. Berdiri masih sama layaknya bagaimana ia menghadiri kremasi pada hari itu. Walau hanya dari kejauhan, pria tersebut sama sekali tidak mampu menunjukkan dirinya untuk penghormatan terakhir kali.

“Mungkin, kata maaf tidak akan mampu mengubah apa pun di mana kau sendiri telah berada di antara ribuan bintang hanya untuk mengawasiku. Namun, hati kecilku yang begitu tak tahu diri ini ... masih tetap berusaha untuk menggapai maafmu. Maaf, untuk banyak hal yang pada akhirnya telah mendorongmu untuk melakukan hal ini. Kau benar, aku pengecut. Aku terlalu egois hanya untuk menjalani hidupku. Tapi ... bila boleh berkata jujur, hariku yang dulu seperti musim semi di tengah teriknya matahari. Hanya tidak bisa mengungkapkannya padamu yang sungguh ....”

Pria dalam balutan jaket bomber tersebut pun kembali mengatupkan bibirnya rapat. Berusaha menahan gemuruh badai yang terus menghantam pusat dadanya. Tidak mengerti, apa lagi yang harus ia ucapkan. Terlalu banyak kenangan yang pada akhirnya menenggelamkan dirinya sendiri. Namun sedetik pun, ia tidak pernah menyesali apa yang sering kali hadir di tengah rutinitas kesibukannya secara tiba-tiba.

“K-kau ... selalu ingin mendengarku memujimu, bukan? Maaf bila sikapku terlampau dingin terhadapmu. Namun tetap saja, kan? Pada akhirnya kau meninggalkanku dalam musim dingin yang panjang. Apa kau sudah merasa bahagia dengan meninggalkan aku sendiri di sini? Apa kau di sana masih memikirkan aku di sini dalam sedikit ingatan milikmu? Mungkin ... bila kau mengizinkan, bolehkah aku bersikap egois?”

Pria tersebut tersenyum miris. Menanggapi sendiri apa yang terucap darinya. “Tidak. Aku tidak ingin bersikap egois untuk memintamu kembali. Hanya memintamu untuk melihatku dari atas sana. Kali ini ... sekali lagi ... aku yang memintamu menunggu sampai aku bisa bertemu dirimu kembali. Selama itu ... bisakah kau mengawasiku? Sepertinya malaikat mautmu sedang berusaha membawaku padamu. Tapi aku tidak takut untuk menghadapi apa yang kau hadapi untuk menyiksaku. Justru sebaliknya ... seandainya benar ia adalah utusan Tuhan untuk menghukumku, maka agar bisa bertemu denganmu, aku bersedia dengan perasaan rela.”

Lagi, pria tersebut tersenyum. Kali ini sembari mengusap bingkai foto tersebut dengan menahan sakit. Seandainya saja, pria tersebut masih berharap untuk sekali lagi menyentuh paras wanitanya. Akan tetapi, ia sadar benar akan bagaimana kondisinya.

“Vi ... banyak hal yang sesungguhnya ingin aku beritahukan dan berbagi padamu. Segalanya ... aku selalu berusaha mengingat apa pun yang pernah terjadi dalam kehidupan kita di mana napasmu masih turut andil di dalam hidupku. Dan dengan meyakininya aku ... tidak hanya merindukanmu, Sayang. Sangat rindu ... sampai-sampai rasa sakitnya mendera seluruh tubuh. Aku rindu saat-saat aku menghabiskan waktu dan berdebat denganmu. Aku rindu di saat mendekapmu dan merasakan hangatnya kehadiranmu. Jika bisa ... walau untuk sesaat, aku akan menahanmu untuk tetap tinggal.”

Nyeri, tiba-tiba saja pria tersebut kehilangan rongga di dalam dadanya. Namun, sebisa mungkin, pria tersebut berusaha mengungkapkan apa yang ia rasakan.

“Tapi ... seperti yang aku ucapkan sebelumnya, aku tidak ingin bersikap egois untuk memintamu kembali yang telah merasa tenang di sana. Mari saling mengawasi dan aku berharap, kau juga merindukanku. Kali ini tunggu aku. Aku akan berusaha untuk sering mengunjungimu. Aku ... sangat menyayangimu Vi. Nah ... aku pergi dulu. Mari saling merindukan. Terima kasih, dan maaf telah melukaimu.”

Pria tersebut pun meraih bingkai foto yang terpajang dan memberinya sebuah kecupan sekilas. Walaupun hanya sedikit, ia berharap dapat sedikit mengobati rasa rindunya. Sebelum pria itu berakhir mengegah langkah dan meninggalkan krematorium.
Langkah demi langkah beratnya kembali memijak bumi. Sembari merenung, apa lagi yang akan menantinya di depan. Masih dalam naungan awan kelabu, pria tersebut pun kembali masuk ke dalam mobilnya. Mengusik keheningan bagi seseorang yang semenjak tadi telah sabar menunggu. Dengan menoleh pada pria yang baru tiba dan duduk di sampingnya, sosok tersebut pun berucap.

“Sudah merasa lebih baik? Apa dia senang melihatmu?” tanyanya dengan suara yang begitu lembut. Berusaha tetap berhati-hati menjaga perasaan seseorang yang di dalam benaknya masih merasa abu-abu. Bahkan untuknya sendiri, bagaimana membayangkan ekspresi sosok yang raganya tak lagi bisa terlihat. Hanya mampu mengekspresikannya dalam bayang.

Mulanya sang pria tampak tak yakin. Bergeming di tempat di mana punggungnya masih terasa panas dan membiarkan kesunyian menyelimuti. Bagaimana harus mengekspresikan diri di tengah kemelut ketidakpastian akan perasaannya sendiri. Tidak ada kata baik setelahnya saat menemui sang pujaan hati yang teramat dirindu.

Ingin sekali melarikan diri dari kenyataan, atau lebih tepatnya memungkiri kenyataan yang begitu pahit. Harus rela menelannya meski begitu sulit. Dengan santai dan sikap datarnya di mana di waktu bersamaan, pria tersebut turut menata hatinya setelah menimbang sejenak,  sang pria pun menjawab.

“Aku harap kunjunganku sedikit melegakan perasaan kami satu sama lain. Am, apa menurutmu aku harus mencari tahunya?”

masih memandang lurus ke depan, pria itu tiada bergeming dari posisinya. Masih memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan setelah ini. Bertanya pada sosok wanita yang dibawanya yang tak lain dan tak bukan adalah rekan kerja sekaligus sahabat baiknya, Amber Kim.

Amber pun tak langsung menjawab. Masih berusaha mencari kemungkinan yang sifatnya aman. Meski dirinya sendiri, juga tidak yakin.

“Aku tidak tahu hal ini bisa dijadikan saran terbaik untukmu atau tidak. Tapi akan lebih sulit bila setelah apa yang terjadi kau masih bersikap menahan diri dan tetap diam saja. Bila kau ingin mengetahui siapa seseorang yang menerormu dan kau merasa ia memiliki hubungan dengan Vivian atau tidak, kupikir kau perlu menyelidikinya dengan bantuan pihak yang tepat. Kau bisa menyewa jasa salah seorang detektif swasta untuk melindungi dan mengawasimu. Dengan begitu, sang detektif akan tahu siapa saja orang-orang yang mengawasimu dari jarak jauh.”

Amber kala itu berusaha memberikan saran terbaik dalam sudut pandangannya. Meski begitu ia mendengar apa yang sahabatnya katakan atas apa yang menimpanya, jujur, wanita tersebut juga merasa khawatir.

Bagaimana bila orang yang diam-diam mengawasi pria ini benar-benar berbahaya dan memiliki maksud jahat? Tentu sesuatu yang buruk akan menimpa sahabat baiknya. Namun bila tidak, ada motif apa sampai-sampai sang peneror begitu mengejar sahabatnya tanpa jeda? Mulai dari paket misterius dengan dominan bercak darah, hingga kaca mobil yang pecah. Di mana tidak untuk bertujuan merusak kaca mobilnya, melainkan menunjukkan suatu sketsa yang begitu pria itu kenali.

Meski waktu kejadian tidak secara langsung tetapi berjeda, tentu hal ini sungguh menarik atensi. Menciptakan suatu asumsi hingga otak berpikir untuk berspekulasi. Sama sekali tidak bisa dianggap sebagai hal yang biasa dan pantas untuk dibiarkan begitu saja. Harus ada yang bisa dilakukan. Lebih tepatnya, pria ini harus mengambil langkah serius untuk memastikan dirinya aman.
Pria tersebut mengulum bibir bawahnya sebentar. Sesekali menjilatnya samar hanya untuk melembapkan bibirnya yang terasa kering. Sepertinya, ia harus menanggapi ini sebagai ancaman serius. Meski apa yang diberikan tidak terlalu membuatnya takut.

Setelah berpikir di dalam keheningan yang menekan, dengan menghela napas samar, pria tersebut pun membuat keputusan.

“Akan aku pikirkan.”

Sembari memikirkan cara, pria tersebut pun menyalakan mesin mobilnya hingga deru suara mesin yang mulus pun terdengar. Lalu kembali memecah desiran angin di mana tak lama berselang, hujan pun turun dengan deras. Membasahi jalanan beraspal dan menurunkan kabut tipis di tengah lampu sorot yang berusaha menerangi jalan.




























🙃🙃🙃aku juga bakal bantuin mikir kok.
Sini peluk puk puk🐒🐒🐒🌻🌻🌻
Malming guys...

Ujan deres di sini, kalian lagi ngapain...
Hujannya syahdu, jadi bisa nulis.
Thanks dah mampir.
Jangan lupa voment.
Semoga mengobati rindu yag🙃🙃🙃

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang