Chapter 46

7 2 16
                                    

[Kau di mana?] tanya seseorang dengan suara beratnya di seberang sana seperti biasanya. Terus memberi perhatian meski yang diberi perhatian seolah menolak kehadirannya. Ya, walaupun tidak bisa dibilang serius dengan menolak. Lebih hanya, tetap menjaga hubungan yang ada tanpa ada keinginan untuk meningkatkan hubungan itu lebih jauh. Sehingga pria yang berada dalam balutan jaket kulit hitamnya yang dipadukan dengan celana jeans berwarna senada masih terus menempelkan benda pipih itu di telinganya. Berharap dapat menemui orang yang diteleponnya hari ini.

Sedangkan yang di telepon, wanita tersebut sedang berjalan pelan menuju suatu ruangan. Dengan mantel berwarna kecokelatan dan syal seputih salju yang membalut lehernya, Heiran dengan elegan menghadiri acara yang telah ia setujui. Bagaimana pun dia telah berjanji untuk hadir dalam acara festival Viona di mana gadis kecil itu akan tampil.

Tanpa terburu, Heiran menjawab santai. “Sedang menghadiri acara Viona, wae?”

Helaan napas kasar dengan decapan kecewa mengiringi. Tak ayal bila Heiran yang di sini dapat menyadari kekecewaan itu. Sehingga untuk meyakinkan bahwa segalanya masih berjalan baik, Heiran memastikan.

“Kenapa? Apa kau ada perlu denganku?”

Kali ini sebuah tarikan napas dalam dengan nada ragu terdengar. Namun, Heiran masih menanggapinya dengan santai.

[Tidak. Hanya ... kau benar-benar berperan seperti ibunya saja. Apa dia tidak bisa menjaga putrinya sendiri? Bila anak adopsi menyusahkan, tidak perlu membebani diri dengan hal yang pada akhirnya di-handle orang lain.”

Ketika mengucapkannya, nada bicara pria tersebut terdengar sinis. Akan tetapi, Heiran tidak menghiraukannya. Tetap bersisikukuh atas apa yang telah ia pilih.

“Vin, apa kau meneleponku hanya untuk memperdebatkan hal ini?”

[Tentu tidak. Aku ingin berjalan-jalan denganmu. Hanya itu saja. Jadi bila diizinkan, aku akan menemuimu sekarang.]

“Memangnya kau tidak memiliki jadwal?”

Kali ini Heiran yang masih berjalan di lorong menuju gedung serbaguna sekolah Viona pun menghentikan langkahnya. Menunggu jawaban Vincente di seberang sana. Selama itu, banyak pemandangan para orang tua yang satu per satu mulai mengisi ke dalam. Saat itu, tanpa sadar Heiran seolah memosisikan dirinya sebagai Viona. Pasti ada alasan mengapa Viona ingin dirinya hadir dalam acara tersebut. Mungkin, walau hanya sekali, dia ingin merasakan bagaimana dirinya diperhatikan dalam setiap kegiatannya. Sehingga, bersamaan dengan suara yang di seberang sana menanggapi, Heiran melirik bunga yang ia bawa pada salah satu tangannya yang bebas. Merasa senang bisa memenuhi janji kecil itu dan memberikan arti yang begitu bermakna.

[Hari ini aku tidak ada jadwal pemotretan. Sebentar lagi urusanku di sini berakhir. Jadi sebelum kembali, aku masih ingin menghabiskan waktuku bersamamu. Apa kau tidak keberatan?]

Sejujurnya di kala Heiran mendengarkan hal tersebut ada sesuatu yang tiba-tiba saja ditarik keluar dari dalam hatinya. Betapa dalam sekejap, Heiran seperti menemukan ruang kosong yang sepertinya tanpa sadar selama ini telah diisi oleh kehadiran Vincente. Bagaimana pun, Heiran sama sekalj tiada memungkiri perhatian yang diberikan oleh sahabatnya tersebut.

Bahkan, bila Heiran ditanya secara jujur, hanya pria itu yang sanggup membuatnya tertawa lepas di tengah penatnya realitas yang ada. Sehingga walaupun beberapa bulan, kehadiran pria tersebut yang jauh-jauh sampai menyusulnya membuatnya terkesan. Membayangkan hari-harinya setelahnya akan berjalan tanpa Vincente, sepertinya Heiran akan sedikit merasa hampa sekarang.

Namun, Heiran memilih diam. Tidak mau mengungkapkan apa yang ia rasakan walaupun dirinya yakin, bila ia bicara pada Vincente, maka pria itu akan tinggal. Sehingga, dengan bahu yang merosot di mana lawan bicaranya tidak melihat, Heiran berusaha menarik seulas senyum tipis. Berpura-pura kecewa walaupun itu kenyataan.

“Hah ... bagaimana ini?” ucapnya dengan suara yang dibuat-buat. “Kenapa ucapanmu membuatku bingung di waktu bersamaan.”

[Maksudmu?]

“Ya ... maksudku, sebentar tadi kau ingin bertemu. Lalu mengatakan urusanmu hampir selesai dan akan segera kembali. Bukankah dengan begini, pertemuan ini seperti perpisahan?”

[Masih ada satu bulan lagi sebelum pekerjaanku benar-benar selesai Hei. Jadi tak perlu kecewa begitu.]

“Kalau begitu mari bertemu. Aku akan mengirimkan alamat sekolah Viona setelah ini.”

[Baiklah. Aku tunggu pesan darimu.]

Panggilan pun berakhir. Heiran pun segera mempercepat langkahnya begitu selesai mengirim pesan singkat melalui ponselnya. Lalu segera menempatkan diri di dalam aula yang cahayanya telah padam di mana hanya lampu sorot yang terfokus pada panggung yang kini menjadi pusat perhatian.

Setelah mendengar sambutan dan pembacaan susunan acara, Heiran pun terhanyut dalam pertunjukan yang dipentaskan. Mulai dari paduan suara anak-anak, pembacaan puisi hingga tiba saatnya drama singkat yang kini diperankan oleh Viona.

Dalam balutan pakaian peri berwarna pink, Viona tampak ahli memerankan perannya sebagai peri penjaga hutan bersama teman-temannya. Heiran pun bertepuk tangan. Berusaha menunjukkan kehadirannya pada Viona. Viona yang menyadari keberadaan Heiran pun tersenyum riang. Semakin memerankan perannya dengan baik.

Satu jam berlalu dan pertunjukkan pun usai, Viona dengan langkah girangnya menggenggam salah satu tangan milik Heiran. Sedikit pun senyumnya tiada surut dari kesenangan yang membuncah sampai-sampai Heiran yang turut tersenyum pun bertanya.

“Woah kau kelihatan gembira sekali. Ada apa, hm? Apa karena berhasil menjadi peri hutan dengan baik?”

“Hm,” dia mengangguk mantap. “Vi senang Bibi bisa hadir. Jadi Vi tidak perlu berdebat lagi mengenai orang tua.” Suara khas anak kecil dengan binar polosnya terpancar dari gadis berusia lima tahun tersebut. Meski kali mat di akhir membuat Heiran penasaran.

“Orang tua?” Heiran menekankan. Menaikkan sebelah alisnya memastikan. Memperhatikan Viona yang masih memandang lurus ke depan.

“Hm, orang tua. Selama ini Viona selalu diejek karena tidak memiliki ibu dan hanya memiliki Daddy. Bahkan di beberapa acara, teman Viona tidak pernah bisa melihat Daddy. Jadi mereka berkata kalau Viona berbohong. Tapi kali ini mereka diam, karena tahu Viona memiliki Bibi yang baik.”

Betapa seketika itu Heiran terdiam. Tidak menyangka, dunia anak-anak yang dipikirnya begitu sederhana dan hanya dipenuhi oleh kegembiraan ada hal yang seperti itu. Padahal mereka sama sekali tidak dapat memilih ketika mereka dilahirkan dalam keluarga yang utuh atau tidak.

Dengan lembut, Heiran mengusap puncak kepala Viona dengan sayang. Lalu memberikan penghiburan bagi gadis kecil itu.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang