Chapter 24 (2)

7 3 12
                                    


Di saat Heiran sedang berbelanja di sebuah supermarket untuk mengisi isi kulkasnya yang telah kosong sebagai persediaan, sesekali Heiran yang masih merasa tidak tenang beralih fokus mengecek layar ponselnya dengan langkah pelan, di mana kali ini ia memilih berdiri di dalam lorong tempat makanan instan di pajang.

Berdiri selama beberapa detik dengan tetap merapatkan diri ke sisi etalase agar tidak mengganggu pengunjung lain yang juga hendak berbelanja. Lagi-lagi kedua bahu Heiran tampak merosot begitu melihat tampilan layar ponselnya yang sama sekali tidak menunjukkan apa pun. Hanya menampilkan foto dirinya bersama Hoseok yang itu pun mendapatkannya harus setengah mati, hingga Hoseok sendiri yang bersedia mengabulkan permintaan Heiran.

Ingin mengabaikan, tapi ini sudah tiga hari. Benar-benar Hoseok sama sekali tidak menghubungi Heiran. Di balik masker wajahnya yang terpasang, Heiran mengerucutkan bibirnya. Menatap acak ke arah lain tanpa menitik fokuskan pada hal apa pun.
Apa dia benar-benar marah akan ucapanku? Apa ia merasa begitu cemburu dengan Vincente? Tapi dia kan juga bersalah. Ulang tahunku saja tidak ingat. Malah menyalahkan orang yang memiliki acara lain.

Sontak Heiran kembali memasukkan ponselnya ke dalam mantel yang ia kenakan, walaupun tak dapat dipungkiri bahwa ada sedikit rasa kekecewaan di sana. Berusaha mengabaikan kembali hal tersebut meski sejujurnya, ia begitu rindu. Bahkan sangat merindukan kegemasan Viona yang sedikit menghiburnya.

Tanpa Heiran sadari, hanya dengan membayangkannya saja sudah mampu menciptakan seulas senyum tipis. Akan tetapi di lain pihak, di waktu bersamaan ia juga tetap tidak habis pikir, baru kali ini bertemu pria yang begitu egois. Rasa-rasanya apa yang terukir dalam pandangan Heiran selama ini sedikit mulai berubah begitu keduanya sering berinteraksi.

Terlebih, Hoseok lebih sering menanyakan perihal putrinya ketimbang dirinya, padahal keduanya berada dalam tempat dan situasi yang sama.

Sama sekali bukan seperti pasangan kekasih yang saling menanyakan kabar satu sama lain atau bahkan membahas mengenai hubungan keduanya layaknya pada umumnya. Melainkan seperti seorang wali yang menanyakan kabar putrinya yang selama ini telah ia asuh.

Bila mengingat hal tersebut, Heiran jadi merasa iri terhadap Viona dan ingin berada di posisinya. Menjadi sosok yang lebih diprioritaskan dari hal apa pun. Namun, sisi rasionalnya dalam hati seolah memberitahu. Heiran tahu bagaimana rasa sakitnya bila tidak memiliki figur seorang ibu. Terlebih kenangan masa lalu yang sama sekali tidak bisa ia singkap barang sejenak, jadi wanita tersebut memilih diam dan berusaha mengerti. Memahami segala hal yang dialami Hoseok. Seolah mengedepankan kebahagiaannya adalah suatu kewajiban. Namun, ia lupa akan perasaannya sendiri yang juga memerlukan sentuhan.

Di sisi lain, di tempat yang berbeda, tanpa meminta izin dari sang tuan rumah untuk masuk, pria itu memilih menanggalkan mantel berwarna abunya yang ia kenakan di sandaran kursi kayu tepat di ruang makan. Mengedarkan pandang guna menyusuri sekelilingnya yang tampak sepi. Sama sekali tidak ada eksistensi sang tuan rumah yang begitu ia harapkan.

Terdiam, ia hanya bisa menghela napas samar di tengah kesunyian yang hening dengan pikiran yang entah seperti apa bentuknya. Meski tidak terlihat, ada suatu rasa yang terus mengetuk pintu hatinya sehingga enggan memperoleh ketenangan.

Di tengah perasaan yang pasang surut, pria itu beralih menuju lemari pendingin, berharap menemukan sekaleng bir yang disinyalir mampu mengurangi jenuh. Entah mengapa, mood-nya hari ini masih seburuk kemarin, sama sekali tidak mengalami perubahan. Muak, ada tekanan yang menjejal dalam kepala hingga terasa berat. Ingin sedikit melegakan pikiran penatnya yang terasa sempit demi kelonggaran sesaat.

Namun, begitu ia mendapati apa yang ia cari dengan nyaris sepasang netranya menyusuri satu lemari pendingin itu, sekilas pria tersebut menemukan sesuatu yang langsung membuatnya tercenung. Terenyak dalam satu waktu, lalu tanpa sadar mulai menghubungkan setiap kejadian, sebelum pada akhirnya ia berhasil menarik kesimpulan bersamaan dengan helaan napas kasarnya. Semakin merasa bodoh akan sensitivitasnya yang dirasa kurang.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang