Chapter 29

7 3 20
                                    

Dengan bantuan kedua tangannya, wanita bersurai panjang dengan warna yang serupa dengan kedua iris matanya pun berusaha merapikan surainya yang sedikit berantakan ke belakang punggungnya. Berusaha mengusir pengap karena minimnya atmosfer akan kunjungan para pengunjung yang hari ini begitu padat.

Sedikit dapat bernapas lega di tengah waktu rutinitas yang seharian itu telah menyita seluruh waktunya. Meski tidak benar-benar seharian, mengingat hari itu ia mendapatkan shift malam.

Kedua netranya pun menyapu seisi ruangan tersebut. Memandangi jumlah para pengunjung yang mulai berkurang. Akhirnya, malam ini sepertinya wanita tersebut memiliki kelonggaran waktu menjelang waktu pulang.

Waktu menunjukkan pukul 20.30 malam. Dan satu setengah jam lagi, mereka akan benar-benar menutup kafe tersebut. Di sela waktu yang senggang, seseorang pun menepuk pelan punggung wanita yang sedang berdiri di balik meja kasir tersebut. Menyadarkannya dari lamunan akan indahnya hamparan kasur empuk seraya membaringkan tubuhnya di atas sana.

Meregangkan otot dan meluruskan tulangnya yang terasa sakit seraya memejamkan mata.

“Tak perlu khawatir. Sebentar lagi juga waktunya pulang.”
Sontak wanita tersebut pun menoleh, menjatuhkan atensi pada sosok yang begitu baik di matanya di mana sosok tersebut kini berada di samping kirinya.

“Haish, bukan begitu. Hanya saja, aku merasa khawatir, apakah malam ini bisa pulang tanpa guyuran hujan atau tidak.”

Padahal musim semi telah tiba, akan tetapi masih saja ada hujan di malam hari. Seolah akhir-akhir ini, musim memang tidak ingin diprediksi. Mengubah suasana sekitar termasuk suasana hati seseorang. Entah, apa benar hal ini yang sesungguhnya ia khawatirkan.

Sontak sosok tersebut terkekeh. Menepuk pelan lengan wanita yang berada di sampingnya dan merangkulnya dengan hangat.

“Eonnie, bagiku ... kau yang misterius ini tidak lupa, kan? Sepertinya aku ingat benar, kau sudah tidak menggunakan transportasi umum lagi untuk pulang. Bahkan kau juga tidak pulang lagi ke kediaman kakakku. Kau tahu, aku jadi rindu saat-saat menghabiskan waktu denganmu, Heiran Eonnie. Tapi, sepertinya ... sejak kau memiliki Hoseok oppa, kau jadi lupa padaku.”

Gadis tersebut menunjukkan ekspresi cemberut. Mencebikkan bibirnya sedih karena memang ia merasa rindu. Sejak tidak ada Heiran, apartemen yang ia tinggali benar-benar terasa sepi. Namun, akhir-akhir ini pun, sang kakak juga selalu hadir untuk bermalam. Walau tetap saja, intensitas kehadirannya masih bisa di hitung jari. Seminggu dua kali. Itu pun bila sang kakak tidak sibuk.

Heiran hanya terkekeh. Menurunkan tangan adiknya yang begitu manja.

“Jangan membuatku merasa bersalah. Maafkan aku jika sepertinya begitu sibuk. Tapi ... kita masih bertemu di sini, bukankah hal itu sedikit mengobati kerinduanmu?”

Meski hanya beberapa jam tiap harinya, Heiran yakin, kedekatan keduanya tiada berkurang. Walaupun di waktu bersamaan, Heiran juga mengakui akan kehadirannya yang jauh lebih banyak bersama Viona ketimbang Aeri. Sungguh, Heiran juga merasa rindu akan hari-hari yang menyenangkan itu. Tapi tidak tahu, kapan Heiran dapat melalui saat-saat seperti itu lagi dalam hidupnya. Hanya bisa berharap, ia dapat melewatinya lagi.

“Hanya sedikit. Tidak terlalu banyak. Eoh,” Aeri pun menegakkan tubuhnya. Teringat akan sesuatu, sembari menyerahkan secarik kertas. Menyodorkannya pada Heiran yang seketika itu hanya terfokus pada selembar kertas tersebut.

“Apa ini?” tanya Heiran di waktu bersamaan.

Aeri mengedikkan kedua bahunya. Menyandarkan kedua tangannya di pinggiran meja barista. “Entahlah. Seseorang di ruang VIP memberikan ini padaku. Dan ia ingin aku menyampaikannya padamu. Meski aku penasaran bagaimana wajahnya di balik masker tersebut.”

“Apa Hoseok oppa?” tanyanya bersamaan dengan hatinya yang turut berdesir kala menyebut nama tersebut. Selalu saja, intensitas Hoseok kini sanggup menjungkir balikkan perasaan Heiran.

“Sepertinya bukan. Ia tidak seperti warga negara Korea Selatan. Lebih mirip orang luar negara. Matanya ... aku hafal benar bagaimana cara pandang Hoseok oppa. Tapi ini lain ... meski perawakannya memang lebih cocok sebagai model.”

“Vincente,” ucapnya lirih di tengah fokus Aeri yang masih mencoba mengingat karakteristik perawakan sosok yang ia temui barusan dan tertangkap jelas dalam pikiran Heiran.

“Siapa?” Aeri yang merasa seolah Heiran mengucapkan sesuatu pun bertanya. Alih-alih ingin mendapat jawaban.

“Ah, tidak. Bukan apa-apa.” Heiran seraya mengibaskan satu tangan, menyangkalnya untuk mengalihkan perhatian. Berharap Aeri sama sekali tidak mendengar apa yang baru saja secara sekilas ia ucapkan.

Seketika itu Heiran beralih membuka secarik kertas berukuran kecil yang sengaja dilipat tersebut. Menyembunyikannya dari jangkauan Aeri yang masih terus memperhatikan sebelum beralih pada apa yang ia genggam. Sontak kedua netranya mengerling, mengeja setiap kata dan hanya pesan singkat yang tergores di sana.

Aku menunggumu. Kau tahu, bila berkenan ... secangkir espresso hangat juga tidak masalah.

Jelas, dari pesan singkat tersebut Vincente ingin menemuinya. Berkedok pesanan yang berujung pada keinginan yang entah apa kali ini ingin pria tersebut sampaikan. Terakhir kali, pertemuan keduanya pun tidak berjalan semulus yang diharapkan karena adanya gangguan. Paling tidak, mungkin seperti itulah pemikiran Vincente yang menggambarkannya dan begitu terusik akan kehadiran Hoseok. Meski jujur, di setiap kali ada kesempatan keduanya bertemu, terbersit rasa risau yang mencekam. Datangnya timbul tenggelam, sampai-sampai Heiran merasa was-was sendiri.

Bukan karena interaksi yang terjadi di antara Vincente dan Hoseok meski hal tersebut salah satunya. Akan tetapi, ada hal lain yang selalu berusaha Heiran hindari. Beruntung, hingga detik ini, tidak ada pembahasan lebih mengenai keluarga Heiran yang pasti masih mencarinya. Berpedoman dengan bantuan Vincente yang kali ini berdiri di pihak Heiran.

Meski Heiran juga penasaran, bagaimana Vincente bisa menyembunyikan keberadaannya dari terakhir keduanya bertemu? Betapa dari sudut pandang ini pun, Vincente benar-benar menepati janjinya. Masih merahasiakan keberadaannya yang enggan untuk pulang.

Terlepas dari hal itu, Heiran hanya menggenggam erat secarik kertas tersebut dalam satu genggaman dan menyelipkannya dengan segera ke dalam saku. Seraya melihat waktu yang ditujukan oleh arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri milik Heiran seraya menghela napas pelan.

Memastikan kembali waktu yang telah bergulir selama perbincangan singkat itu. Masih tersisa beberapa jam lagi sebelum Heiran benar-benar pulang. Dan selama itu, Heiran tetap menunjukkan sikap tenangnya.

Bagaimanapun, Heiran tahu akan posisinya. Tidak ingin bereaksi berlebih yang pada akhirnya hanya akan menarik perhatian Aeri. Selang beberapa saat, kala itu Heiran kembali mengalihkan fokusnya pada Aeri yang telah kembali menanyainya.

“Bagaimana? Apa yang pria itu tulis untukmu, Eonnie? Apa dia berjanji akan mengantarmu pulang?”

Heiran segera menggelengkan kepalanya. Beralih untuk berdiri di balik meja kasir dan mulai menyiapkan pesanan dengan mengatur menu yang tertera pada layar ipad. Bermaksud untuk melakukan transaksi atas nama Vincente dan bergegas menyiapkan pesanannya.

Sembari menyiapkan pesanan, Heiran pun menanggapi. “Mana aku tahu,” Heiran mengawali dengan mengedikkan kedua bahunya tak yakin. “Aku belum memastikannya. Lagi pula, meski kau menjelaskan bagaimana penampilan dan perawakannya, belum tentu juga aku mengenalnya. Tapi sebagai seorang barista yang baik ... aku hanya berusaha memenuhi pesanannya. Tertulis jelas pada secarik kertas yang ia titipkan padamu.”

“Tapi ... bukankah lebih mudah mengatakannya secara langsung padaku bila ia ingin membuat pesanan? Mengapa harus ditulis secara rahasia begitu dan menyebut namamu? Ah ... aku tidak yakin bahwa yang tertulis di sana hanya catatan pesanan. Pasti ada hal lain. Coba, tunjukan padaku,” pinta Aeri tak langsung percaya serta dengan antusias menggelayuti Heiran guna meraih secarik kertas yang telah berhasil disembunyikan.

Aroma khas dari biji kopi yang dihaluskan oleh mesin pembuat kopi pun menguar menusuk hidung. Hanya tinggal meraciknya sedikit menjadi secangkir minuman kopi espresso.

Heiran berusaha menghindar, memperingati Aeri yang begitu keras kepala. Ayolah, siapa yang tidak mengenal Aeri? Heiran tahu benar bagaimana sifatnya yang sudah kelewat penasaran. Meski alasan yang diucapkan Aeri benar secara logika. Namun, Heiran tidak dengan mudahnya mengakuinya begitu saja. Tetap bersikap biasa seolah ia tidak membaca apa pun.

“This is not your business, Ok. Jadi bersikaplah sewajarnya. Mungkin dia hanya teman. Datang dan tak sengaja melihatku, orang yang dikenalnya. Jadi tidak perlu kau khawatir.”

Aeri mengulum bibirnya, mengangguk. “Arasseo. Aku akan diam.”

Heiran tersenyum puas, berhasil mematahkan rasa penasaran Aeri yang nyaris membuatnya kalang kabut. Begitu Heiran selesai dengan aktivitasnya, barulah ia mengantar pesanan tersebut. Membawa nampan dengan secangkir espresso panas di mana Heiran masih lengkap memakai pakaian baristanya. Kemeja berwarna hitam yang sengaja lengannya ia lingkis hingga ke siku lalu apron yang masih melekat di pinggang.

Melewati pelanggan yang mulai meninggalkan kafe di mana keduanya melewati jalur yang sama sebelum Heiran beralih ke ruang yang dimaksud oleh Aeri. Dan benar, tiada diduga, begitu Heiran mendorong masuk pintu kaca transparan tersebut, ia menemukan sesosok pria yang tingginya proporsional tengah terduduk di sudut ruangan. Tampak sedang berkonsentrasi menatap layar ipad-nya seolah mempelajari sesuatu.

Hening, tidak ada lagi eksistensi orang lain selain pria tersebut dan Heiran di sana. Begitu pria tersebut menyadari kehadiran Heiran, seulas kurva elok terukir di salah satu sudut bibir pria tersebut. Membiarkan Heiran melakukan tugasnya yaitu menyuguhkan secangkir espresso yang ia pesan. Sembari melipat kedua tangan serta menyilangkan kedua kakinya.

“Sudah kuduga, kau menangkap sempurna pesan singkat yang kirimkan padamu,” ucapnya seraya meminta Heiran untuk tetap tinggal walau sebentar.

Dalam balutan sweater turtle neck berwarna hitamnya di mana bagian kedua lengannya telah dilingkis mencapai siku, pria yang sudah menanti kedatangan Heiran pun menyambut hangat. Menggerakkan satu tangannya hanya untuk memberi isyarat agar sang wanita berkenan untuk duduk di depannya. Turut menemani sejenak, meski ia mengharapkan ketersediaan waktu yang lebih.

Heiran hanya tersenyum tipis, bersamaan dengan suara dentingan piringan cangkir yang diletakkan di atas meja. Tepat di depan sosok tersebut dan memecah keheningan dalam bunyi yang samar.

Heiran pun tidak menolak, tetapi juga tidak menerima begitu saja. Dengan sikap sopannya yang melayani para pengunjung, Heiran yang telah beralih menggenggam nampan yang dibawanya pun membalas dan tetap memilih untuk bertahan pada posisinya, berdiri. Tahu benar siapa pria yang telah secara khusus datang mengunjunginya di waktu kerja.

“Kali ini apa lagi, Vin? Kau sepertinya tidak bosan  menemuiku,” ucap Heiran dengan jujur yang seketika itu menimbulkan tawa renyah dari seorang Vincente.

Pria yang memiliki tatapan tegas dengan garis rahang yang kelewat sempurna itu pun menggelengkan kepalanya, tiada heran. Begitu puas akan reaksi sahabatnya yang cukup menghiburnya. Sebelum helaan napas samar yang kala itu pada akhirnya yang sanggup menenangkannya. Menimpali sahabatnya dengan santai.

“Hanya di sini aku bisa leluasa menemuimu tanpa bodyguard-mu, kau tahu? Kemarin, tadinya untuk sebentar aku berpikir dapat berbicara dan memiliki waktu luang bersamamu, ternyata yang terjadi justru aku tidak bisa bicara banyak. Tapi kali ini ... aku begitu serius, Heiran.”

Tawa yang semula memecah keheningan dan menciptakan suasana hangat nan santai sebagaimana keduanya saat bertemu kini secara cepat berganti. Tatapan Vincente kali ini tiada gentar sedikit pun. Menyiratkan sesuatu penuh arti. Meski bagi Heiran yang melihatnya masih bisa mempertahankan sikap biasanya. Sedikit pun tidak bergeming, walau di dalam sana, sempat hati seorang Heiran mencelus. Jelas, ada topik lain yang mungkin akan Vincente bahas dalam pertemuan kali ini. Namun, Heiran yang merasa sedikit kurang nyaman akan situasinya pun berusaha mengalihkannya.

“Sepertinya, ini bukan pertama kali aku mendengarnya. Wajah seriusmu ... aku tahu akan selalu berakhir dengan senyum kotakmu.”

Vincente yang semula pandangannya sempat terpaut dengan Heiran selama beberapa detik terpaksa mengalihkannya sejenak, menggigit bibir bawahnya sekilas dan membasahinya, gamang. Walaupun, ucapan Heiran sedikit menyinggung perasaannya.
Bagaimana Heiran bisa berpikir sedangkal itu di kala Vincente di sini benar-benar berkata begitu serius? Sama sekali tidak bisa membicarakan hal yang begitu intens bila gangguan di sekitarnya tiada melenyap. Benar, sosok Hoseok selama ini yang selalu berada di sekitar Heiran di mata Vincente begitu mengganggu.

Tidak, bahkan bukan hanya keberadaan Hoseok. Haish, di dalam sana, pria dengan sorot matanya yang terkesan mengintimidasi itu bahkan tidak menyukai perasaannya yang berbaur abu-abu seperti ini.

Di satu sisi, pria itu tahu apa keinginan hatinya yang begitu mendasar dan kelewat besar. Akan tetap, di sisi yang lain, bukankah ia seharusnya mampu menempatkan diri? Vincente hanya merasa, sebagai seorang sahabat, ia harus bisa membuat Heiran nyaman berada di dekatnya, bukan? Terlebih sudah lama sekali sejak hari itu Heiran meninggalkan rumah, tentu Vincente kali ini perlu bersikap waspada dan berhati-hati agar wanitanya tidak semakin menjauh.

Dengan tenang. Namun, dengan nada menyindir, Vincente berucap. “Lalu bagaimana? Bila aku memberimu sebuah pilihan, apakah kau mau memilihnya?”

“Tergantung atas pilihan yang ada,” jawab Heiran enteng tanpa perimbangan. Alih-alih dapat mencairkan suasana yang terasa tegang tersebut. “Oh, ayolah Vin ... kita seorang sahabat, mengerti? Jangan bersikap seolah-olah kau baru mengenalku.”

“Aku sama sekali tidak bersikap seolah-olah aku baru mengenalmu,” tandasnya mengoreksi. “Yang ingin aku katakan adalah, apa kau tidak merasa? Bahkan pertemuan biasa kita terkesan seperti ... kau tahu, seorang tahanan yang gerak-geriknya begitu diintai karena takut melarikan diri.”

Heiran sontak tersentak, tidak pernah melihat sikap Vincente yang begitu ingin diketahui perasaannya. Biasanya, pria itu memilih diam bila memang ada sedikit perbedaan pendapat dan tetap berusaha menjaga sikap dengan meredamnya sebisa mungkin agar tidak tampak di hadapan Heiran. Namun kali ini, sungguh, Heiran tampak tidak melihat Vincente yang biasanya.

Begitu membuang muka sejenak dari Heiran, pria yang berhasil menciptakan jeda hingga Heiran sendiri dibuat bungkam pun melanjutkan.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang