Chapter 24 (1)

7 3 3
                                    

Tiga hari, terhitung sejak kejadian malam itu yang tidak mengenakkan, rasanya ada sebagian hal yang hilang dari semesta pria tersebut. Semesta seorang Seong Hoseok yang tiba-tiba saja terasa rumpang. Meski tidak benar-benar kosong, akan tetapi membuatnya tercenung.

Dalam balutan kemeja berwarna hitamnya, Hoseok sedang terduduk di balik meja bar mini set yang ia miliki dalam apartemennya. Duduk seorang diri seraya menyesap segelas wiski dengan selingan rokok yang masih menyala. Terdiam, mencoba mencerna aka kejadian tersebut.

Benarkah hal ini merupakan kesalahannya? Ataukah Heiran yang merasa tersudut mencari pembenaran sendiri menurut versinya?

Yang jelas, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, entah kapan ia terakhir kali terlibat perdebatan serius dalam suatu hubungan, baru kali ini perdebatan tersebut membuatnya berpikir sekaligus disadarkan akan satu hal. Yaitu sikap egoisnya yang sempat disinggung hari itu.

Sekali Hoseok mengisap batang rokoknya, lalu mengembuskan asapnya ke udara melalui celah belahan kedua bibirnya. Memandang kosong ke arah pemandangan lampu kota yang masih tetap setia menyinari malam, tanpa peduli sekelumit perasaannya yang tiada menentu. Berpadu dalam kesunyian yang menurutnya semakin menyesakkan.

Belum satu masalah yang sedang ia cari kebenarannya, kini bertambah lagi satu masalah yang keduanya memang saling memiliki keterkaitan. Walaupun ranah pembahasannya tidak sama, akan tetapi ia benar-benar membutuhkan situasi yang kembali normal. Benar-benar normal, menurut versi kebutuhannya.

Terlebih suara putri kecilnya yang beberapa hari ini tiada hentinya absen menanyakan keberadaan Heiran, menambah lagi satu daftar pesakitan Hoseok yang mulai menyadari bahwa wanita tersebut telah memiliki tempat di hati Viona. Padahal selama ini, Hoseok bahkan tidak pernah sekali pun Viona menyatakan kata rindu selain dengan ibunya. Dengan Keiyona pun juga tidak pernah.

Mungkin karena eksistensi pertemuan waktunya saja yang berbeda. Batin Hoseok akan kemungkinan yang wajar. Tidak terlalu menanggapi serius ucapan Viona yang sejujurnya membuatnya berdesir. Tidak menyangka keberadaan Heiran sedikit menggantikan eksistensi Vivian yang entah mengapa saat mendengarnya, ada timbul sedikit rasa tidak suka. Sehingga lagi, dengan wajah tegasnya, Hoseok pagi ini berhasil menurunkan awan mendung di atas kepala putrinya. Sedikit menyesal telah membentak putrinya agar tidak terlalu bergantung pada Heiran.

Hoseok pun menghela napas samar. Bingung akan situasi perasaannya yang terus tumpang tindih. Lagi-lagi hanya bisa begini. Termenung seorang diri tanpa adanya teman bicara yang mungkin bisa diajak sebagai bertukar pikiran. Ingin menemui Jimin. Namun, ia tidak cukup memiliki keberanian untuk mendengar analisis baru dari sahabatnya tersebut di tengah batinnya sendiri yang masih berkecamuk.

Tidak. Tidak bisa, bagaimana pun langkah teraman adalah mengurainya satu per satu. Bila terlalu terburu-buru, yang ada hanya menimbulkan kekacauan dan menciptakan kondisi yang tidak diinginkan sekaligus tidak kondusif.

Tenang Hoseok-ah, kau bisa melewati ini. Yakinnya dengan mantap. Kali ini menenggak cairan wiski yang terdapat dalam gelas kristalnya. Mematikan rokoknya dan kembali berpikir.
Di tengah kegusarannya yang begitu kentara sekaligus terbebani, seseorang yang entah sejak kapan sudah turut hadir di sisinya. Mengamati setiap pergerakannya yang tak luput dari pandangannya. Ya, walaupun Hoseok sendiri juga tidak terlalu terkejut akan kehadiran wanita ini.

“Kau jadi tidak fokus tiga hari ini. Sebenarnya apa yang membuatmu jadi merasa terbebani?”

Hoseok hanya menyunggingkan senyum miring. Tahu benar asistennya ini tidak pernah melewatkan momen apa pun. Mengingat malam itu, wanita ini juga berada di sekitarnya. Hanya mengawasi, tidak terlalu dekat. Namun, tahu apa yang terjadi di akhir acara tersebut.

“Menurutmu? Jangan membuatku menjelaskannya karena hatiku sedang tidak ingin.”

Wanita tersebut hanya tersenyum tipis. Kali ini membenarkan posisi duduknya untuk turut menatap pemandangan kota yang tersuguh dari unit apartemen milik Hoseok. Menikmatinya sesaat sebelum menjadi teman bicara bagi Hoseok.

“Apa ucapan Viona sedikit mengganggumu? Sepertinya tiga hari ini ia tidak pernah absen menanyakan mengenai keberadaan Heiran. Sungguh manis sekali.”

Hoseok menandas habis gelasnya. Kesadaran penuhnya masih berdiri di sana. “Bahkan sepertinya ia telah melupakan ibunya.”

“Dari pada melupakan, aku mengoreksi ... lebih tepatnya sosok Heiran-lah yang melengkapi kekosongan Viona selama ini. Meski pengasuhnya juga turut merawatnya, tapi aku yakin, ada sentuhan lain yang tak biasa sehingga Heiran memberikan kesan yang baik. Jadi kau tidak bisa menyalahkan Viona yang merindukannya. Dari pada itu, bukankah lebih baik kau meminta maaf pada Heiran? Yang ia lakukan malam itu hanya menuruti pihak penyelenggara pesta. Jadi kau tidak bisa menyalahkannya. Atau jangan-jangan ... karena model pria berkebangsaan asing itu, kau jadi merasa terganggu? Cemburu, mungkin.”

Wanita tersebut seraya mengedikkan kedua bahunya, di mana Hoseok kala itu sudah mengerling menatap asistennya. Menggelengkan kepalanya akan asumsi naif tersebut.

“Sama sekali tidak ada perasaan begitu,” tandasnya meyakinkan. Walaupun tiba-tiba saja hatinya merasa berdesir. Lagi-lagi perasaan ini hadir tanpa diminta dan sanggup membuat jantungnya mencelus.

Seketika itu, bayangan bagaimana keduanya tampak saling berinteraksi begitu intens lalu bagaimana sang pria menatap Heiran dengan penuh arti, membuat Hoseok menarik napas berat dan masih berusaha menampik akan ucapan Hyeri yang sepertinya tidak salah. Bahkan bila mengingatnya, Hoseok masih merasa begitu jengkel akan hal tersebut.

Sampai-sampai, Hyeri yang melihat kedua tangan Hoseok menggenggam begitu erat gelas kristalnya yang sudah kosong hingga menampilkan urat nadinya pun terkekeh geli. Melihat perasaan Hoseok yang sama sekali tidak tersinkronisasi.

“Sepertinya kau harus bicara dengan Heiran. Aku yakin ada kesalahpahaman di antara kalian. Kebetulan perwakilan dari pihak brand yang menyewamu membatalkan sesi pemotretan besok karena ada perubahan dalam eksekusinya nanti sebagai penambahan. Jadi sepertinya kau bisa menggunakan waktumu untuk itu. Akhir pekan yang terjadi tanpa diduga. Benar-benar tidak ada pekerjaan.”

Hyeri pun bangkit berdiri, ingin segera meninggalkan Hoseok dan memberinya ruang berpikir. Baru dua langkah Hyeri menjejakkan kakinya, Hoseok telah berucap tanpa berbalik, menghentikan langkah Hyeri.

“Apa kau datang hanya untuk memberitahuku ini? Padahal bisa saja kau menghubungiku dengan ponsel.”

“Akan lebih baik melihat kondisi hatimu yang sebenarnya. Sepertinya kau memikirkan pertengkaran kalian terakhir kali. Jadi perbaikilah, agar kau tidak menyesal.”

Hyeri pun benar-benar memilih pergi. Kembali meninggalkan Hoseok bersama kesunyian yang kembali menyelimuti. Di dalam duduknya, Hoseok masih bergeming di tempat. Memandang tipis bayangan samarnya yang tercetak pada kaca jendelanya. Sedikit merenungi ucapan Hyeri yang merupakan saran terbaik dari segalanya.

























😌😌😌benar. Dari pada nanti menyesal lho Seok.

Huray...
Akhirnya bisa up karena besok libur.
Ehem. Kira2 dia bakal gimna nanti?
Stay tune yag.
😄😄😃😃

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang