Chapter 45

12 3 6
                                    

Silaunya cahaya mentari perlahan mulai merangkak menembus ke dalam tirai yang sengaja hanya diciptakan sedikit celah terbuka. Walau samar, tetap saja, cahaya yang menyoroti mata tetap mengganggu bagi wanita yang masih berbaring di atas tempat tidurnya.

Perlahan kedua kelopak mata Heiran pun mulai bergetar. Sebelum kedua iris kecokelatannya meraih bayangan langit-langit yang masih terlihat abu. Walaupun masih belum tersadar sepenuhnya. Namun, Heiran tahu bahwa kini dirinya telah berada di dalam ruang yang lain. Ruang kamar Hoseok di mana aroma maskulin khas seorang Seong Hoseok menguar begitu kuat. Menyapa indra penghidu Heiran yang masih berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Wanita itu pun berusaha menggerakkan tubuhnya. Akan tetapi sedikit saja ia melakukan pergerakan, rasa ngilu bercampur nyeri mendadak hadir. Berpusat tepat di titik sensitif miliknya.
Sungguh, pagi ini Heiran merasakan sekujur tubuhnya terasa imbasnya. Begitu lemas seolah kehilangan daya. Kala ia mengerjapkan kedua netranya guna mempertajam penglihatannya, suara berat yang begitu familier mengusik rungunya. Tepat berada di sampingnya di mana kala itu, Heiran mendapati kekasihnya yang bertelanjang dada sedang duduk menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. Segera mematikan puntung rokoknya yang baru beberapa waktu lalu ia hisap dan segera menjatuhkan atensi kepada Heiran.

“Sudah bangun?”

Dengan rasa sakit nan lelah mendekap tubuhnya, Heiran yang merasa lemah hanya bisa turut balas memandang. Sebelum pada akhirnya ia pun membalas.

“Hm.”

“Apa sakit?”

Heiran masih menatap kekasihnya. Berusaha membaca apa yang pria itu pikirkan. Namun, sikap diamnya membuat sang pria sama sekali tidak terbaca. Sehingga Heiran menimpali.

“Menurutmu?”

“Beristirahatlah. Kau tidak harus bangun pagi hari ini.”

Hoseok pun bangkit berdiri. Betapa dengan santainya Hoseok turun dari ranjang dan meraih handuk kimononya yang seketika itu membuat Heiran bersemu. Berusaha mengalihkan perhatian meski bayangan semalam kembali bergelayut. Di mana rasa ngilu dan nyeri yang ia rasakan semakin membuat bayangan tersebut jelas nyata adanya. Sampai-sampai, gelenyar hangat pun kembali mengalir memenuhi dadanya. Merambah turun, dan membangunkan kupu-kupu di dalam perutnya kembali beterbangan.

Heiran pun meneguk salivanya samar. Meski ekspresinya yang sudah mirip dengan kepiting rebus tertangkap jelas oleh Haseok. Dengan berkacak pinggang, Hoseok pun bertanya.

“Kenapa pipimu merah? Kau malu?”

Heiran yang gelagapan tertangkap basah gugup berusaha mencari alasan. Namun, yang ada ia sama sekali tidak menemukan kata apa pun untuk menjawab. Justru mengerlingkan pandangannya menghindar.

Saat itu bibir tipisnya pun refleks berucap. “Semalam ... apa ....”
Belum sempat Heiran menjawab, Hoseok yang telah berbalik dan berjalan menuju lemari pakaiannya pun menandas. Kali ini nada bicaranya tidak sebiasa dan selembut tadi. Justru terkesan dingin dan angkuh.

“Anggap saja semalam tidak pernah terjadi. Aku dan kau hanya sama-sama berada di bawah pengaruh alkohol. Jadi tidak perlu mengingatnya.”

Baru saja Heiran merasa dirinya diterbangkan begitu tinggi, dalam sekejap Hoseok mengempaskannya. Menimbulkan denyut nyeri yang lain yang kini bukan di bawah sana yang terasa sakit, tapi juga hatinya yang ingin menjerit.

Saat itu, dengan lemah, Heiran berusaha membuka mulut. Meski sikap Hosoeok benar-benar menjatuhkan harga dirinya.

“Apa ini jawaban yang ingin kau berikan padaku? Setelah apa yang terjadi semalam dan kau berpikir tidak berarti apa pun?”

Hoseok menarik napas dalam. Sedikit pun tiada niatan untuk berbalik atau pun terlihat peduli. Meski sejujurnya, ucapan Heiran berhasil mengambil tempat di dalam pikirannya di mana apa yang Hoseok tunjukkan saat ini berbanding terbalik dengan benaknya yang jauh berada di dalam sana. Hanya berusaha tidak menunjukkannya di tengah gemuruh perasaannya sendiri.
Tetap meraih salah satu pakaiannya agar keluar dari lemari.

Sesungguhnya, Hoseok sendiri merasa begitu bingung dan bimbang dengan perasaannya sendiri. Di satu sisi semalam ia mengakui keberadaan Heiran sebagai miliknya. Namun, di sisi lain, di kala ia terpejam, bayangan Vivian turut hadir dalam mimpinya sehingga berpikir apa yang baru saja terjadi padanya bersama Heiran adalah suatu pengkhianatan dan sekaligus kesalahan. Selama ini Hoseok begitu menjaga diri agar tidak ada seorang pun yang dapat merasakan dirinya.

Tapi semalam, sungguh Hoseok kehilangan sisi rasional dan berpegang pada naluri kelaki-lakiannya yang pada akhirnya justru terjebak dan terlena menyerahkan diri ke dalam Heiran. Hal yang selama ini berusaha dia tahan agar tidak turut melebur dalam pelukan wanita mana pun. Meski sejujurnya, dirinya sendiri juga secara sadar begitu menikmati aktivitas semalam. Benar-benar mendekap Heiran dalam pelukannya dan melebur menjadi satu.

Akan tetapi, Cih! Sial! Hoseok mengumpat dalam hati. Begitu tidak menyukai dirinya yang tidak memiliki pendirian.

Tiga detik berlalu dan Hoseok tidak memiliki jawaban. Saat itu Heiran berusaha menarik dirinya dan memungut pakaiannya yang telah berada di sofa. Ingin segera mengenakannya dan memilih meninggalkan tempat tersebut.

Akan tetapi, dengan segera Hoseok menahan pintu kamar mandi di mana Heiran hendak berganti pakaian. Namun, dengan tatapan yang sulit diartikan, Hoseok berusaha memberikan pengertian. Walau hatinya sendiri sedang berperang di dalam sana. Begitu kesal tanpa tahu siapa yang harus bertanggung jawab akan hal ini.

“Kumohon. Untuk sekarang beri aku waktu untuk berpikir. Berhentilah memulai perdebatan denganku. Sungguh, untuk saat ini aku sama sekali tidak memiliki penjelasan apa pun untukmu. Meski aku tahu kau terluka dan dengan bodohnya aku berharap pengertian darimu. Tapi ... bisakah kita mengambil waktu sejenak? Di sini aku berusaha memutuskan yang terbaik untuk itu. Jadi beri aku waktu untuk mempertimbangkan.”

Sungguh, kali ini Hoseok benar-benar memerlukan ruang berpikir untuk perasaannya sendiri. Meski tahu, apa yang diucapkannya akan membuat wanitanya kecewa.

Dan benar, seketika itu awan kelabu bak menaungi tepat di atas Heiran yang seketika itu menunduk. Betapa dirinya kini terlihat begitu bodoh. Seulas senyum getir pun hadir tanpa diminta. Menimbulkan denyut nyeri yang menyesakkan.

“Oppa ...kau selalu mengatakan bahwa usia kita terpaut lima tahun. Aku tidak tahu bagaimana pola pikir seorang pria terhadap seorang wanita. Tapi apa kau mengerti? Kau telah mengambil sesuatu yang berharga milikku!” Heiran meninggikan suaranya di akhir. Hanya untuk menghalau rasa panas yang pada akhirnya membuat air matanya meluruh. Begitu sulit memahami situasi di mana tak seorang pun mampu menjelaskannya pada Heiran.

Hoseok menelan salivanya samar. Merasa perdebatan ini tidak akhirnya. Saat itu Hoseok yang menyibakkan surainya ke belakang tersenyum miris. Paham benar akan maksud ucapan wanitanya yang menuntut penjelasan.

Dengan memejamkan mata dan menimbang sejenak, ia pun menegaskan. Meski tahu apa yang terdengar bisa dibilang kurang pantas.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang