Extra Chapter 9

12 3 7
                                    

“Biar aku gantikan. Seharusnya Anda beristirahat saja, Dad.”

Nada bicara yang begitu tenang dan sarat akan perhatian itu menyela di antara suara alat penunjang kehidupan yang kini terpasang di tiap titik vital dari sang putri. Bersamaan dengan sentuhan pelan yang menyapa di pundak agar menyadarkannya yang sempat terlelap. Ya, walau saat dirinya melirik ke arah arloji, sudah terlewat setengah jam sepertinya dirinya sempat tertidur.
Bagaimanapun, kabar kecelakaan nahas yang menimpa putrinya itu berhasil memorak-porandakan perasaannya sebagai seorang ayah. Dan dari sekian banyak hal, hanya memori kematian yang selalu terpatri di dalam benaknya.

Sesal, mungkin rasa itulah yang tepat untuk merefleksikan segalanya. Tanpa mengalihkan tatapan sendunya dari sosok yang kini seolah merobek hati kecilnya, pria itu menimpali.

“Apa ada kabar dari Seong Hoseok? Bagaimanapun aku tetap berkewajiban memberitahunya. Dia datang padaku dan meminta putriku hari itu.”

Meski saat mengingatnya, Asher begitu marah atas sikap Hoseok yang memang terbilang kurang pantas. Tapi setelah peyakinannya, dan selama itu, Asher mencoba untuk percaya, bahwa ucapan putrinya benar. Definisi memberikan kesempatan kedua. Meski setelahnya dirinya juga cukup terkejut akan pemutusan kontrak kerja sama itu secara sepihak. Masih berpikir, hal apa yang mendasari keputusan Hoseok yang telah diterimanya cukup baik itu.

Seketika itu, sosok pemuda di belakangnya hanya terdiam. Tidak tahu bagaimana harus merespons. Kenyataannya, banyak hal yang Heiran tutupi untuk ayahnya sendiri. Bahkan sampai detik ini, pikiran Tuan Sargas terlalu naif atas apa yang selama itu menimpa putrinya. Walau pada dasarnya, keduanya sama-sama memiliki dasar penikiran lain akan penilaian mengenai seseorang.

Sehingga dengan bersikap setenang mungkin, pemuda itu menimpali.

“Aku sudah mencoba menghubunginya. Tapi nomornya tidak aktif. Beberapa hari lalu aku juga mendengar bahwa Seong Hoseok telah memutus kerja sama dan mengundurkan diri sebagai BA dari Brand milikmu, Dad. Apa sebelum itu, memang ada masalah?”

Pria paruh baya itu tampak mengambil waktu sejenak guna merenung. Benar-benar mencoba mengingat, apakah ada dari tindakan dan ucapan yang menyinggung perasaan pria tersebut. Kecuali satu cambukkan yang memang dinilai kurang pantas atas sikapnya.

“Dia pernah melindungi Heiran dari cambukkanku yang kelewat keras. Apa karena itu dirinya bersikap seperti ini terhadap putriku, Vin? Tapi, tidak seharusnya juga dia bersikap demikian atas apa yang dia ambil dari putriku.”

Pemuda yang tak lain dan tak bukan adalah Vincente hanya terdiam. Tidak cukup yakin dengan pernyataan tersebut. Meski dirinya cukup tercengang sekaligus tidak menutup kemungkinan akan hal itu. Hanya saja, bila mengingat apa yang Hoseok lakukan terhadap Heiran selama ini, sepertinya hal tersebut tak cukup kuat untuk menjelaskan segalanya. Tetap berharap, adanya kemungkinan lain yang jauh lebih masuk akal.

Saat itu Vincente menepuk pundak Tuan Sargas. Seolah melalui sentuhan itu, Vincente ingin memberi penguatan. Mencoba membujuknya agar ayah Heiran tetap beristirahat.

“Pulang dan istirahatlah sejenak, Dad. Aku akan menjaga Heiran.”

Hanya itu bentuk perhatian yang sedikit menciptakan penenangan. Meski dalam situasi ini cukup sulit untuk merasa seperti itu.

Sehingga, setelah menimbang cukup lama, Tuan Sargas pun bangkit berdiri. Begitu perlahan sampai-sampai Vincente pun turut menahan kedua lengannya. Tidak heran, di saat seperti ini, Tuan Sargas masih bergetar di mana tidak seorang ayah mana pun yang mampu melihat titik terendah dari buah hatinya.

Bagaimana pun ini bukan pertama kalinya bagi Tuan Sargas terjebak dalam situasi serumit ini. Tetap terbayang akan mendiang istrinya yang juga mengalami kecelakaan lalu lintas.
Dalam diamnya Vincente memperhatikan setiap pergerakan Tuan Sargas. Bagaimana wajah kuyu ayah Heiran menatap putrinya dengan penuh harap. Satu tangannya terulur, menggenggam tangan putrinya yang masih terpasang infus. Dengan berat hati, bibir lemah itu pun berucap.

“Hei. Mungkin sikap ayah terakhir kali begitu keterlaluan. Tapi semata-mata apa yang ayah lakukan hanya untuk mendidikmu. Mungkin sikap ayah salah, tapi bukan seperti ini yang ayah harapkan darimu, Hei. Kehilangan ibumu sudah cukup menyiksa batin ayah. Dan hanya kau yang ayah miliki sekarang. Bangunlah Nak.”

Netra Tuan Sargas yang sudah berkaca-kaca sejak kemarin kembali meluruhkan derai gerimis. Benar-benar berharap atas doanya untuk ke sekian kalinya. Dan pemandangan pilu itu turut menyiksa batin Vincente. Di atas brankar rumah sakit itu Heiran telah terbaring lemah di mana kedua kelopak matanya tertutup sempurna. Lalu bagaimana sebuah tangkupan alat bantu pernapasan yang menutup hidung dan mulut Heiran, sungguh, Vincente ingat benar bagaimana kondisi ibu Heiran jauh lebih memilih kembali dalam pangkuan Tuhan.

Vincente mengulum bibirnya. Lagi memberi penguatan. “Biarkan Heiran beristirahat sebentar, Dad. Aku akan menjaganya,” ulangnya sekali lagi di mana pria paruh baya itu hanya mengangguk. Lalu mengikuti dekapan Vincente yang menggiringnya keluar dari ruang ICU.

***

Tepat keesokan harinya, untuk pertama kalinya Hoseok melewati kehidupan rumah tangganya. Dan tentu, Hoseok lebih banyak diam terhadap istrinya ketimbang putri kecilnya. Dan di saat ada kesempatan, di mana kini keduanya berada di ruang makan, Amber hanya memperhatikan. Kebiasaan Hoseok yang entah belum pernah dilihatnya.

“Sejak kapan kau menyukai aktivitas membaca buku?”

Dari judul buku yang dibaca Hoseok saja, Amber bisa melihat bahwa buku yang dibaca suaminya adalah buku self improvement. Tahu benar akan isi dari buku tersebut. Dan tanpa mengalihkan fokusnya dari lembaran yang dia baca, Hoseok menimpali singkat.

“Sama sekali bukan urusanmu.” Singkat dan juga dingin.

Amber seketika mengerling. Seseorang harus mengingatkan prianya bagaimana untuk bersikap. Terlebih atas usaha yang Amber lakukan. Meski sejujurnya, sikap Hoseok yang memilih tidur di kamar yang berbeda cukup menyinggung perasaannya. Dan dengan malas, refleks dirinya pun kembali memecah kesunyian.

“Aku sudah menyiapkan hidangan untukmu. Paling tidak hargai usahaku sedikit,” tukasnya sinis.

Dan dengan tenang, Hoseok lagi-lagi menimpali. Meski kali ini dirinya memilih untuk menutup bukunya dan menatap Amber. Bukan tatapan yang teduh penuh kasih, melainkan tatapan penuh kebencian dan begitu menusuk. Dengan entengnya, bibir tipis itu berucap.

“Aku sudah katakan padamu. Tidak perlu berusaha untukku. Aku akan makan masakanku sendiri atau keluar bila aku mau. Jadi tidak perlu mengharapkan apa pun.”

Tanpa sadar di bawah sana tangan Amber mengepal. Kali ini tak kalah nanar memandang suaminya yang kini beralih memainkan ponsel. Sungguh, bukan kehidupan pernikahan seperti ini yang dia harapkan. Namun, wanita itu berusaha sabar, meski pada akhirnya emosinya meluap.

“Kenapa tidak di hunianmu yang lama? Kenapa harus yang baru, padahal aku tidak memintanya.”

Hoseok yang masih menggulir layar ponselnya tetap merespons, meski begitu enggan dan sama sekali tiada menaruh minat.

“Kau berpikir ini hadiah pernikahan? Tidak. Aku hanya ingin hunianku tidak ada kenangan baru berisi kau di dalamnya.”

Amber mengernyitkan dahi. Tersentak akan pernyataan yang didengarnya.

“Kau masih berharap Heiran kembali padamu dan hunian itu miliknya?”

“Bahkan aku akan memberikannya secara cuma-cuma pada wanitaku. Bukankah ini yang kau mau? Menikah denganku? Sudah aku lakukan. Bahkan aku sudah katakan padamu, perasaanku hanya sebatas dengan anak itu, tapi bukan dirimu,” tandasnya tajam. Memberikan penegasan di sana.

Amber semakin menegakkan dagunya. Sedangkan Hoseok kala itu sedang membuka sebuah laman. Sampai sebuah judul yang tertera dalam ponsel pintarnya membuat netranya membeliak dan meremas jantungnya. Pria itu membaca dengan lamat. Sumpah demi apa pun, Hoseok merasa atap langit-langit rumahnya seolah runtuh menimpa dirinya.

Pening, Hoseok menggelengkan kepalanya berusaha menolak. “Tidak. Tidak seperti ini lagi.” Mendadak wajah Hoseok berubah pucat. Lalu bangkit berdiri meninggalkan Amber.

“Hoseok-ah. Apa yang terjadi? Aku belum selesai denganmu.”

Wanita itu pun bangkit turut mengekori Hoseok. Dalam penglihatannya, pria itu tampak tergesa  mengemasi barangnya. Bahkan Amber masih bertanya-tanya. Mengapa suaminya mendadak seperti orang kesetanan.

“Hoseok-ah, apa kau dengar aku?! Kau mau ke mana?!” wanita itu berusaha menarik atensi Hoseok yang masih mengabaikan. Bahkan meliriknya pun tidak.

“Paris!” tukasnya singkat.

Dan lagi mendengar nama kota tersebut, Amber dikuasai amarah. “Kau masih ingin menemui dirinya?! Sadarlah kau sudah memiliki istri dan juga anak!”

Hoseok sama sekali tidak berhenti. Mengambil paspornya begitu selesai mengemasi barang. Pikirannya kala itu masih begitu kacau. Berharap dirinya segera berpindah negara dalam waktu singkat. Namun, dirinya sadar, butuh beberapa jam perjalanan sampai dirinya tiba di sana.

Untuk ke sekian kalinya, Hoseok merespons dengan datar. “Pernikahan tidak akan menghalangi perasaanku terhadapnya. Sudah aku katakan padamu, aku miliknya. Meski aku tidak berharap agar dia kembali padaku. Hanya sebatas kertas, kau sama sekali tidak memiliki hak mencampuri hidupku!”

“Kau berengsek Hoseok-ah!”Makinya yang memekik.
Kali ini Hoseok yang telah selesai bersiap hanya menyeringai sinis. Menatap Amber sejenak sebelum benar-benar meninggalkan rumah tersebut.

“Seperti kau baru mengetahuinya saja.”

Seketika itu Amber bergeming. Tidak menyangka suaminya jauh lebih memilih wanita seperti Heiran.

Di dalam mobil, Hoseok meminta seseorang orang yang bisa dia percaya untuk menyiapkan keperluannya. Meski panik, nada bicaranya masih berusaha setenang mungkin. Dengan tergesa, Hoseok memacu laju mobilnya menuju bandara. Begitu panggilannya tersambung, ia berucap.

“Tolong lihat bagaimana kondisinya di sana. Informasikan apa pun yang kau dapat.”

Panggilan pun terputus. Sedangkan yang di seberang sana dirinya hanya terdiam. Memejamkan mata dan merosot. Mengumpat jengkel pada sosok itu begitu dirinya mendapati sesuatu.

“Mau sampai kapan agar kau berhenti berulah, Hyung-ah? Apa kematian Vivian sama sekali tidak memberimu pelajaran?”






















😭😭😭😭Mbak Hei... ayo bangun... kasian papanya ih.

See u on next part yag👀👀👀

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang