Di dalam mobil yang masih melaju normal menyusuri jalanan yang berkelok, kecanggungan kembali bergelayut di tengah keheningan yang menyelimuti. Entah bagaimana harus mendefinisikannya. Pikiran rasional sama sekali tidak cocok diterapkan dalam kasus seperti ini. Atau lebih tepatnya, untuk saat ini, sisi perasaan jauh lebih mendominasi dari pada akal sehat.
Sesungguhnya bukan bagi sang pria, melainkan hal ini lebih dirasa oleh sang wanita di mana dirinya semenjak tadi meremas kedua tangannya dalam pangkuan tanpa seorang pun memperhatikan. Duduk dalam perasaan gelisah, tak nyaman. Entahlah, paling tidak, mungkin untuk pikiran wanita itu sendiri.
Padahal sejak tadi ia telah berusaha mengatur jalurnya napas agar tetap normal. Namun, meski situasinya kali ini telah berubah, akan tetapi sensasi yang ditinggalkan masih terpatri kuat. Berusaha mengalihkan pandangan dengan menatap keluar ke arah pepohonan yang tampak berjalan melewati dirinya. Walaupun tetap, aliran darahnya kali ini mengalir lebih deras sehingga degup jantungnya pun bertalu-talu di luar kendalu. Berharap, pria di sisinya sama sekali tidak mendengar bunyi irama dari degup jantungnya yang sudah tidak beraturan dan terbilang sinting.
Sial! Heiran merutuk bermonolog dan menjadikan bibir bawahnya sebagai korban gigitan dari gigi putihnya yang tajam. Walaupun, wanita itu tidak menggigitnya dengan serius, akan tetapi tetap saja, kegusarannya semenjak tadi sama sekali tidak terkikis barang sedikit pun.
Sedangkan sang pria, walau dalam diamnya, ia terus memperhatikan. Meski pun beberapa waktu lalu ada saat dirinya dibuat ketakutan karena kondisi Heiran yang tiba-tiba tidak sadarkan diri.
Apa aku terlalu terburu-buru dan mengejutkannya? Batin sang pria sembari melirik sekilas. Mencuri pandangan hanya untuk melihat bagaimana wanita di sampingnya. Terlalu banyak spekulasi yang melintas, akan tetapi kejadian pagi ini benar-benar masih ingin membuatnya tertawa. Tidak menyangka, kekasihnya bisa sepolos itu dan jauh sangat berbeda dari malam itu.
Seketika itu, pria tersebut menyunggingkan senyum geli. Kelewat sering sampai suara kekehan yang ditahan pun sama sekali tiada luput dari rungu Heiran. Sontak Heiran melirik, melayangkan protes meski dirinya begitu malu.
“Wae? Kenapa Oppa terus tersenyum? Apa kau pikir aku ini lucu?!” tidak tahu bagaimana ekspresi dan parasnya terlihat sekarang. Yang jelas, rasa panas yang membuat kedua pipinya bersemu pun sama sekali tidak terelakkan. Benar-benar kejadian pagi tadi sangat memalukan bagi seorang Heiran.
Tidak langsung menanggapi, Hoseok hanya menggelengkan kepalanya, heran. Masih tak percaya dengan apa yang terjadi. “Ani ... aku hanya tidak menyangka kau akan embh—”
Belum sempat Hoseok menyelesaikan sisa kalimatnya, Heiran telah membungkam bibir pria tersebut dengan menggunakan tangannya. Sehingga walaupun sedikit, laju kendaraan sempat bergeser. Sama sekali tidak bisa menjadikannya candaan walau sejujurnya Heiran rasanya ingin melenyapkan diri dari sana. Mengapa pria ini sama sekali tidak memahami perasaan Heiran yang kini benar-benar gugup.
“Oppa! Berhenti membahasnya!” Teriak Heiran yang semenjak tadi menahan diri. Merasa apa yang terjadi tidak perlu diperjelas. Terlebih di dalam sana, bukan hanya ada Heiran dan Hoseok sendiri. Melainkan masih ada telinga anak kecil yang pasti juga turut menyimak obrolan yang ambigu tersebut.
Hoseok dengan lembut mengurai tangan Heiran dari bibirnya. Mengangguk paham dan tetap menghormati. Walaupun jujur, entah mengapa dari interaksi yang seperti ini, Hoseok merasakan sesuatu yang sulit dijelaskan. Terlalu intens, bahkan untuk dirinya sendiri. Perasaan familier, akan tetapi memiliki getaran yang berbeda.
Bersamaan dengan mengendalikan kemudinya agar tidak membahayakan, pria itu mengalah. “Aku tahu. Maaf jika aku mengejutkanmu. Tapi jujur, pagi ini kau membuatku takut.”
Tentu Hoseok merasa takut. Tidak menyangka Heiran akan pingsan di saat dirinya tengah membelai kekasihnya seraya memeluknya. Ingin mendekap wanita itu lebih dalam walau berakhir dengan hal yang tak terduga. Niat hati ingin bercumbu seraya meredakan kemarahan sang puan, justru Hoseok dibuat panik sendiri. Sehingga, tak kuasa pria itu menahan geli begitu mendapati pernyataan Heiran yang tanpa harus wanitanya bicara, refleks tubuhnya telah menjelaskan segalanya. Sangat jauh berbeda dari malam itu bagaimana Hoseok dan Heiran yang saling mendekatkan diri di mana sang pria seolah melepas sisi liarnya walau tetap, sampai detik ini Hoseok berusaha agar tidak menyentuh Heiran lebih jauh.
Sama sekali tidak ingin menjamahnya sebagaimana dirinya dengan wanita lain di belakang Heiran.
Shit! Dalam hati Hoseok mengumpat. Bila mengingat itu, sepertinya dirinya yang terlalu berengsek jika sampai melakukan hal itu pada Heiran. Terlebih, kekasihnya benar-benar wanita yang baik dan memang memahami dirinya. Tidak memaksakan kehendak dan bersikap penuh perhatian pada putrinya.
Sedangkan tanpa diketahui oleh Heiran, sifat bebas Hoseok, segalanya berbanding terbalik. Bila mengingat hal itu, Hoseok yang merasa dirinya tidak sebaik kekasihnya hanya bisa menertawakan dirinya sendiri. Berpikir bagaimana hatinya yang masih bimbang itu membalas perasaan Heiran yang jujur selalu berhasil membuatnya berdebar. Meski terkadang, Hoseok berusaha menampiknya.
Vivian, lagi tanpa sepengetahuan Heiran, Hoseok kembali menyebut nama itu di dalam hati. Dalam sekejap, ekspresi Hoseok berubah drastis. Merasa menyesal walau entah perasaan itu lebih mendominasi ke arah mana. Yang jelas, bila sudah seperti ini, pria itu berusaha mengalihkannya pada hal lain. Dan tentu, untuk membuatnya lebih baik, ia memilih Viona sebagai penggantinya.
“Oppa, maaf aku hanya ....”
Saat Heiran ingin menanggapi, raut wajah Hoseok yang berubah dengan ketegasan dan muak di sana pun membuat Heiran tiada melanjutkan. Terlebih jawaban Hoseok yang dengan segera menyela dan menimbulkan getaran aneh yang membuat hatinya berdesir.
“Sudahlah. Berhenti membahasnya. Tujuan kita kemari untuk menyenangkan Viona. Jadi berhenti membahas mengenai hal kecil yang terjadi di antara kita.”
Bibir Heiran semakin terkatup rapat. Terlebih perubahan Hoseok yang terasa dingin. Seketika itu, kegugupan Heiran yang tenggelam dalam rasa malu pun menguap. Beralih dengan hatinya yang menciut bak seorang anak kecil yang baru saja dimarahi oleh ayahnya. Sehingga, Heiran memilih bungkam dan melupakan apa yang terjadi.
Sepanjang perjalanan, senyum ceria Hoseok hanya tertuju pada putrinya. Dan selama itu hanya putrinya yang diajak bicara. Sesekali Heiran ikut menimpali di kala ada cela, ingin melihat apakah Hoseok akan bersikap biasa seperti semula atau tidak. Namun, saat wanita itu berusaha berbaur, sepertinya Hoseok seolah menyingkirkannya. Sama sekali tidak menanggapi kehangatannya di sana dan tetap memberikan ekspresi yang sama.
Heiran menarik napas pelan. Berusaha menata hatinya sendiri yang serasa sempit. Tetap tersenyum walau menekan batin. Meski sekilas, Heiran melihat kemarahan juga di sana di mana kedua netra Hoseok yang tajam bergetar nanar. Sehingga, merasakan perutnya serasa dipilin, Heiran kembali diam. Merasa kali ini dirinya berada di tempat yang salah.
Selang setengah jam, mereka tiba di sebuah tempat di mana dari atas sana panorama yang tersuguh di alam berada dalam satu frame. Birunya laut, hijaunya hutan, desiran angin dan tentu kabut tipis bak selimut samar menyelimuti, segalanya berhasil menyejukkan pandangan mata bagi siapa pun yang melihatnya. Termasuk beban berat karena masalah pun untuk sejenak bergeser dari tempatnya. Terkikis dan tergantikan dengan apa yang baru saja dijangkau oleh indra penglihatan di mana permukaan jaringan epidermis yang tertempa angin pun turut merespons.
Kala itu Heiran sengaja melangkahkan satu kakinya turun dari mobil lebih dulu begitu tangannya berhasil membuka pintu. Hanya melalui ujung kakinya, ia bisa memperkirakan berapa suhu sore hari itu di mana langit masih terlihat berawan tanpa adanya mentari di sana. Hanya goresan sekilas cahaya kuning pucat di mana tumpukan awan jauh lebih mendominasi. Meski pertanda hujan, dalam hati Heiran berharap mungkin langit akan cerah layaknya sore di musim semi.
Ya, walaupun mungkin suasana hatinya tidak setegar dan secerah itu. Dan seperti hal yang telah dia prediksi, Hoseok lebih fokus dengan putrinya begitu Heiran mengerlingkan pandang. Menjatuhkan atensi penuh pada sang putri dengan merapikan jaket bulu berwarna putihnya agar semakin rapat membungkus sang buah hati. Lalu mengusap sayang puncak kepala Viona dengan perhatian.
Seulas senyum simpul pun tanda sadar menggantung di wajah Heiran. Teringat bagaimana masa kecilnya yang tervisual dalam sekejap. Di antara sisi yang terasa dingin, masih ada sisi yang terlihat begitu hangat.
Dengan segera, Hoseok pun meraih salah satu tangan putrinya untuk digenggam. Lalu menggandengnya menuju tempat yang jauh lebih tinggi dari area parkir tersebut. Meskipun, walau hanya dari atas sana saja, pemandangan yang terlihat sudah cukup bagus. Akan tetapi tetap, semakin tinggi tempat yang dijangkau, tentu semakin jelas pula hamparan alam yang terlihat.
Sehingga, kala itu Heiran hanya mengekori dengan memasukkan kedua tangannya ke dalam mantel bersamaan dengan suara deru mesin mobil berwarna merah yang berhasil menarik atensi. Memelankan langkah Heiran yang tanpa sadar justru mengawasi.
Semula Heiran berpikir, mungkin mobil tersebut adalah pengunjung lain yang tak ada bedanya dengannya saat ini. Namun, bagaimana suara klakson dibunyikan sekali guna menyapa dan begitu mobil tersebut terparkir sempurna, barulah Heiran menyadari, bahwa yang baru saja keluar dari kuda besi tersebut adalah seseorang yang selama ini selalu berada di sisi Hoseok berikut dengan rutinitasnya yang selalu menjadwalkan bagaimana presensi pria tersebut dalam setiap acara. Lebih tepatnya, perihal pekerjaan.
Dalam balutan mantel berwarna putih di bawah pinggang dengan ikatan simpul yang sempurna membentuk pita di sisi kiri, wanita tersebut tampak berjalan dengan santainya di atas sepatu wedges yang dia kenakan. Membiarkan surainya diterpa halus oleh embusan angin. Semakin mempercepat langkah guna mengikis jarak dan menyapa Heiran.
Heiran pun pada akhirnya diam di tempat, sebelum tangan yang lentik itu telah menahan tepat di lengannya dengan seulas senyum ramah. Seraya menurunkan kaca matanya, dia berucap.
“Akhirnya, senang bisa bertemu denganmu, Nona. Aku berharap Hoseok dan putrinya kali ini tidak menyusahkanmu.”
Wanita itu pun beralih memandang ke arah Hoseok. Tidak menunggu bagaimana Heiran akan menanggapinya dan justru mengalihkan fokusnya pada sosok di sana. Di mana lambaian tangan kecil telah menyambutnya dengan antusias. Mau tak mau, wanita itu pun turut melambai. Menunjukkan ekspresi cerianya yang semestinya memang ditunjukkan pada anak kecil.
Menyamakan dunia keduanya walaupun perbedaan usia sangat kentara.
Dari tempatnya berdiri, bahkan wanita itu dapat mendengar teriakan sambutan dari gadis kecil itu. Betapa kedatangannya mungkin ditunggu tanpa disadari.

KAMU SEDANG MEMBACA
UNTOUCHABLE
Mystère / ThrillerSecarik kertas bernoda darah yang ditemukan di antara beberapa benda lain yang berserakan di lantai di sebuah unit apartemen seorang wanita oleh Seong Hoseok, menuntun instingnya untuk mencari kebenaran di balik kematian seorang model sekaligus seor...