Chapter 40

10 2 22
                                    

Heiran yang terduduk lemas di sisi ranjang sembari menekuk kedua lututnya menyibakkan surainya ke belakang, frustrasi. Menatap gamang pada langit-langit di atasnya yang membisu.

Sama seperti pikiran kalutnya yang menyebabkan dirinya seperti ini. Berpikir, mencerna apa yang baru saja terjadi. Bukankah harusnya ia merasa lega? Tapi mengapa rasanya terimpit?

Bola matanya yang selalu berbinar ceria beberapa waktu lalu seolah kehilangan sinarnya, meredup. Mendadak pening begitu terjebak dalam perdebatan di mana untuk pertama kalinya keduanya sama-sama terbakar emosi. Hanya bisa menjadikan sisi ranjang tersebut sebagai sandaran terbaik bagi kepalanya yang terasa berat.

Hening, bahkan di tengah kesunyian ruang tersebut embusan napas Heiran terdengar menyakitkan. Sesak, ruang yang lengang itu pun serasa perlahan menyempit berusaha mengimpit dirinya.

Seketika itu, bayangan kelabu menggerus jiwa kembali hadir dan saling tumpang tindih, berbaur. Termasuk kepergian ibunya hingga alasan mengapa dirinya melarikan diri pun tak luput menekan memori.

Rumah, Heiran bergumam.

Kembali terdiam setelahnya begitu membayangkan satu kata yang sederhana itu. Hal yang kelihatannya begitu kecil dan ringan, akan tetapi tampaknya memang begitu rumit. Semula ia berpikir, mimpinya yang melompat keluar menjadi nyata akan menjadi awal kesembuhan hingga Heiran menemukan kenyamanan dan terlarut dalam kebahagiaan di dalamnya.

Betapa tidak semua orang mampu mendapatkan dan melewati fase yang hampir bagi sebagian banyak orang hal itu adalah mustahil. Mengencani figur yang dipuja oleh banyak penggemar dan hanya ada satu yang mendapatkan tempat istimewa. Namun, bila seperti ini, berada di dalam ruang lingkup kekasihnya, semakin jauh Heiran masuk, semakin membuat Heiran bergidik ngeri.

Sepertinya, apa yang terlihat hanya sisi terluar dari banyak sisi yang belum terbuka. Masih ada banyak misteri dalam kegelapan yang baru saja tersingkap dari diri Hoseok. Dan ini adalah satu di antara beberapa hal yang mungkin Heiran tidak tahu.

Tanpa sadar, hati kecilnya terus memprovokasi berbisik lirih. Teringat kembali bagaimana wajah frustrasi Hoseok dengan beban berat di kedua pundaknya yang mungkin hadir tanpa ia inginkan, atau bahkan ia prediksi. Harus menjadi ayah tunggal bagi Viona di tengah situasi yang benar-benar menjadikan Hoseok sebagai korban.

Kala itu, sisi rasional Heiran masih berperang dengan fakta yang baru ia alami. Betapa kenyataan yang baru saja terjadi menciptakan perdebatan di dalam sana. Di satu sisi, bila ia melihat dari bagaimana Hoseok bersedia berperan sebagai seorang ayah atas putri yang bukan merupakan darah dagingnya, hal tersebut benar-benar meluluhkan perasaan Heiran. Namun, ketika ia mendapati hal yang demikian, mengapa hanya untuk memaafkannya benar-benar sulit.

Sesak, setiap tarikan napas yang Heiran ambil terasa begitu sakit. Saat itu Heiran mengusap wajahnya, lelah. Sama sekali tidak bisa berpikir dan tetap bangkit mendorong dirinya guna mengemasi barang. Sepertinya berdiam diri dalam vila tersebut hanya membuatnya tak mampu berpikir jernih dan terjebak dalam pesakitan. Benar, wanita itu membutuhkan ruang untuk menyendiri sehingga ia bisa berpikir dan mampu menentukan keputusan.

Syukurlah, ketika Heiran tiba di kamarnya Viona telah bangun dan bergelayut pada ayahnya. Sehingga, begitu sudah seperti ini, gadis kecil itu tidak akan melihat apa yang Heiran lakukan. Bahkan ia pun telah menemukan alasan yang tepat untuk keluar dari vila tersebut.

Begitu selesai mengemasi barang, Heiran pun dengan segera menarik koper kecilnya sembari memutar kenop pintu. Betapa dalam sekejap, lagi-lagi langkah Heiran mau tak mau harus terpaksa berhenti. Sang tuan rumah telah berada tepat di depan pintu seolah menunggu.

Dalam beberapa detik, netra keduanya sempat beradu pandang. Seolah masih memastikan, mencari celah guna memperbaiki situasi yang terjadi. Namun, tidak ada satu pun yang melintas. Sehingga keduanya masih bergeming, hingga suara nyaring seorang gadis kecil menginterupsi.

“Bibi, apa bibi mau pergi?” gadis kecil itu sekilas mendapati barang bawaan Heiran yang telah terkemas rapi. Lalu kembali memandang Heiran. “Bibi mau ke mana?” tanyanya polos, dengan binar mata bening yang terpercik sedikit rasa menyayangkan. Padahal baru semalam mereka tiba. Namun pagi ini, Heiran telah berkemas rapi. Ingin meninggalkan tempat tersebut dengan terburu.

Saat itu Heiran menarik seulas senyum. Mengusap pipi Viona dan beralasan. “Ada pekerjaan yang harus dilakukan. Jadi sepertinya, bibi tidak bisa lagi bermalam.”

“Padahal Viona masih ingin bermain dengan Bibi Heiran. Kenapa hanya sebentar?”

Melihat kekecewaan tersebut, Hoseok pun menarik perhatian gadis kecilnya agar beralih padanya. “Vi ... bisa bermain dengan paman Namjoon sebentar? Ada hal yang harus Daddy bicarakan dengan Bibi Heiran, hm? Bila kau tidak keberatan, tentunya.”
Saat itu Viona yang tanpa pertimbangan pun mengangguk. Lalu berlari guna mencari sosok yang ayahnya sebut. Begitu Viona berlalu, Heiran pun memutuskan untuk melanjutkan langkah. Akan tetapi, Hoseok segera menahannya. Meletakkan satu tangannya tepat di atas tangan Heiran yang masih menggenggam erat pegangan tas bawaannya.

“Aku sudah bilang ingin bicara denganmu, kan? Bisakah kita bicara sebentar?”

Lagi netra keduanya saling berserobok. Kali ini Heiran melihat adanya permohonan di sana. Sehingga dengan berat hati, akhirnya Heiran sedikit mengikis dinding yang sempat ia bangun dengan memantapkan hati. Tetap memberikan Hoseok kesempatan untuk bicara dan menyediakan rungunya.

Di sinilah Heiran dan Hoseok. Di dalam kamar yang semula dihuni oleh Heiran dan Viona semalam di mana Heiran kini sedang terduduk di sisi ranjang dan Hoseok berlutut tepat di depannya. Seraya menggenggam erat kedua tangan wanitanya yang semenjak tadi masih berusaha meloloskan diri. Namun dengan kukuh, Hoseok tetap meraih tangan hangat tersebut walaupun hati kekasihnya tidak demikian. Masih dingin, seperti pertengkaran yang sempat terjadi.

Hoseok mengusap lembut punggung tangan Heiran. Terfokus pada yang digenggamnya sembari menata hatinya yang telah kacau berantakan. Berusaha memosisikan dirinya sebagaimana seorang pria yang berusaha meluluhkan hati kekasihnya. Meski Hoseok mengakui, untuk pertama kalinya, ia memohon pada seorang wanita. Seseorang yang merupakan kekasihnya sendiri yang memang sudah seharusnya bila Hoseok memperlakukan dan bersikap baik.

Dengan merendahkan hatinya menyesal, Hoseok pun menyingkap kesunyian yang memilukan tersebut.

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang