Chapter 9

11 4 6
                                    

“Apa tidak ada baju yang lainnya untuk diperagakan?”
Seorang pria kala itu melayangkan protes pada seorang wanita sembari melipat kedua tangannya di dada, defensif. Melihat sejak tadi dari tempatnya berdiri, bagaimana wanitanya harus bergaya sesuai instruksi dengan pakaian yang bisa dibilang irit bahan sehingga harus menampilkan sedikit beberapa bagian sensual yang begitu ditekankan.

Sampai-sampai dalam diamnya yang memperhatikan setiap pergerakannya dari yang terkecil hingga terlihat begitu kentara, pria tersebut ingin sekali menghancurkan seluruh kamera yang baru saja digunakan untuk membidik pose wanitanya yang justru tampak tidak keberatan.

Alih-alih merasa risi. Sosok tersebut justru terlihat menyukai dan tampak terbiasa dengan pakaian tersebut. Menikmati setiap gerakan yang harus ia visualkan sebelum pada akhirnya memandang intens pada kamera. Beberapa kali sengaja membuka sedikit bibirnya seolah ingin memunculkan aura sensualnya yang begitu seksi dan berani.

Pria tersebut pun hanya bisa menahan emosinya, hingga sesi pemotretan berakhir. Sebelum pada akhirnya mencecar wanitanya agar mau mematuhi perintahnya meski pun ia tahu, akan seperti apa pembicaraan mereka yang selalu saja berujung pada perdebatan.

“Ini bagian dari pekerjaan. Harusnya Oppa mengerti.”

Pria tersebut mengerlingkan pandangannya, muak. Tahu benar menasihatinya hanya akan buang-buang tenaga dan berakhir percuma, mengingat sikap wanitanya yang begitu bebal, keras kepala, dan sulit sekali diberi pemahaman bila hal tersebut sudah berkaitan dengan profesinya. Selalu saja akan mengatakan profesionalitas di atas segala-galanya bila hal tersebut memanglah hal yang begitu ia sukai.

Mau diberi masukan seperti apa pun, bila ia menganggapnya masih dalam ranah yang wajar, maka ia akan menampiknya. Tetap berpegang teguh atas apa yang ia yakini.

“Cih! Mengerti katamu? Pakaian yang kau kenakan itu bagiku tidak manusiawi. Terlalu irit dan nyaris ... telanjang!” tekannya sembari menghela napas sebelum meneruskan. “Lihatlah bagaimana kau harus memamerkan bagian tertentu dari tubuhmu dalam pose yang jujur, seharusnya kau hanya menunjukkannya bagi orang yang benar-benar pantas melihatnya.”

Pening, seketika itu pria tersebut kehilangan kata-katanya di kala wanitanya hanya memandangi dirinya dengan datar. Turut melipat kedua tangannya di dada dan kali ini masih berbalut dengan piama kimononya. Mengingat sesi pemotretan hari itu belum berakhir.

“Sudah?” ucapnya dengan datar. “Harus berapa kali aku memperingati dan mengatakannya padamu bahwa yang aku lakukan adalah demi profesiku, di mana aku harus tetap bersikap profesional atas kontrak yang aku setujui selama ini.”

“Woah, lihat ini! Apa itu termasuk dengan menyetujui mengenakan gaun malam, hingga lingerie dan menyisakan pakaian dalam? Cih, kau mengumbar aset yang seharusnya hanya ....”

“Hanya apa?” tanya Vivian kala prianya memutuskan berhenti.
Pria tersebut justru mengerlingkan pandangannya semakin gusar hingga harus mengalihkan atensinya. Tak kunjung mendengar jawaban, lagi-lagi Vivian bertanya.

“Hanya apa?”

Sosok tersebut kali ini hanya menghela napas kasar. Sebelum pada akhirnya kedua iris mata mereka kembali bertemu. Terkunci satu sama lain untuk beberapa saat. Berharap untuk kali ini saja wanitanya mau mendengarkan. Namun, pria tersebut tahu, bahwa usahanya sia-sia. Hingga akhirnya, ia pun menjawab pasrah. Tidak menemukan kata yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya.

“Terserah!”

Ia pun ingin mengambil langkah. Namun, Vivian secara sempurna menahan kedua lengan kekarnya.

“Kau cemburu?” tanya Vivian kali ini dengan wajah polosnya. Terukir samar senyum tipis yang ingin sekali menertawakan prianya.

“Apa itu penting?! Sepertinya kau menyukainya.”

Maksud pria itu kali ini bukan mengenai profesi wanitanya. Tetapi mengenai busana yang dikenakan oleh wanitanya. Vivian pun menggerakkan kakinya guna berdiri di hadapan sang pria. Lalu, dengan senyuman menggoda, ia pun mengarahkan bibirnya tepat di telinga prianya. Berbisik lirih dan terkesan menimbulkan bunyi desahan.

“Apa malam ini kau akan menghukumku?”

Pria tersebut pun sedikit menoleh, dan mendapati kembali warna iris mata wanitanya yang begitu ia sukai. Warna abu kemerahan yang mirip dengan warna amber.

Seketika itu, pria tersebut pun menyuguhkan smirk-nya. “Malam ini akan kubuat benar-benar kau tidak bisa lari dariku.”

“As you want, Sir. Aku tidak keberatan.”

Dari bagaimana ingatan itu berputar, sontak pria tersebut yang baru saja tenggelam dalam mimpinya, mau tak mau terbangun. Di mana tepat di akhir sebelum ia membuka matanya, ia melihat bayangan sosok tersebut kembali dalam keadaan mengenaskan. Deru napasnya kali ini begitu memburu hingga sekujur tubuhnya dipenuhi peluh dingin.

Berat, rasa-rasanya setiap embusan napasnya terasa begitu sakit. Dalam kesunyian ruang kamarnya yang gelap, pria tersebut berusaha menstabilkan deru napas sekaligus degup jantungnya yang masih bertalu-talu. Lagi-lagi kenangan itu yang hadir dalam mimpinya.

Kedua netranya kala itu masih tertuju pada langit-langit kamarnya yang kosong. Hingga tanpa sadar, kedua bola matanya perlahan berkabut. Dengan segera, pria tersebut menutupi wajahnya dengan satu lengannya.

Tubuhnya yang baru saja seolah kehilangan daya dan lemas bak energinya terserap habis, hanya bisa bergumam dalam rasa sesak yang begitu nyeri. Sebuah pernyataan rasa sesal yang ia tahu, mau diucapkan beberapa kali pun, sosok itu tidak akan pernah kembali.

“Mianhae, Vivian. Maaf.”

***

“Ini jadwal pemotretanmu hari ini. Dan di file berikutnya, adalah hal yang kau minta.”

Saat itu Hyeri menyodorkan layar tabletnya tepat di depan penglihatan Hoseok. Membiarkan pria tersebut meninjau pekerjaannya sebelum pria tersebut mengangkat pandangannya.
“Lalu bagaimana dengan dia hari ini?”

“Seperti biasa, ia selalu menunggu dan merindukanmu. Gadis yang sangat manis dan penurut.”

Hoseok tanpa sadar tersenyum kecil. Sembari masih memperhatikan manajemen waktu yang telah diatur untuknya.

“Apa hari ini aku memiliki waktu untuk menemuinya?”

Saat itu Hoseok kembali menjatuhkan fokusnya pada deretan daftar jadwal pekerjaan yang akan ia lalui untuk hari ini. Melihat waktu seolah mencari celah di sela kepadatan rutinitasnya yang bisa dibilang nyaris tidak memberikan kelonggaran dalam hidupnya untuk beristirahat sejenak. Namun, apa pun itu, Hoseok tetap menjalaninya dengan senang hati mengingat ini adalah pekerjaan impiannya.

Meski beberapa tahun terlewat, dan bila ia kembali pada masa tersulit itu, segalanya jujur, sempat terasa hambar. Seolah ia kehilangan dari separuh jiwanya yang memiliki alasan mengapa ia tetap bertahan dalam profesi tersebut dan terus menjalaninya. Kendati demikian, di antara kesukaran yang telah ia lalui, kali ini ia bisa kembali menghadapi profesinya dengan begitu serius. Terlepas dari apa pun yang memang, Hoseok tidak akan semudah itu melupakannya.

Hyeri yang melihat keseriusan Hoseok dalam mempelajari materinya untuk pemotretan hari ini, akhirnya menimpali.

“Sepertinya tidak untuk hari ini. Kecuali, kau benar-benar akan diam-diam mengunjunginya setelah pulang kerja.”

“Kalau begitu aku akan memilih opsi tersebut. Tetap menyediakan waktuku untuk gadisku agar ia tidak menderita dan merasa terabaikan.”

Saat itu Hoseok kembali menyerahkan tablet berukuran 10 incinya pada sang asisten. Bergegas berganti baju untuk melakukan pemotretan hari itu.





























Aku gak liat... terserah siapa gadismu.🤣🤣🤣🤣😉😉😉
Btw thanks dah mau mampir yag...
Kira-kira kalian bakal team mana...
Vivian or Heiran🌻🌻

UNTOUCHABLETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang